"Br-Bram?" Bahkan memanggil namanya saja terasa kelu. Mengapa dia bisa ada di sini? Mengapa matanya bisa awas melihat keberadaanku di antara kerumunan banyak orang? Dan kenapa dia terlihat -aku memandangnya dari atas sampai bawah- keren?
Maksudku dulu dia juga keren. Kalau dulu dia enggak keren, mana mungkin aku mau nikah? Tapi sekarang dia seribu kali lebih keren, lebih gaya, dan lebih ... hot?!
"Laya? Apa kabar?" sapanya ulang, kali ini menggunakan namaku sebenarnya.
"Ma-mantan Suami?" Aduh! Terkutuklah mulutku yang gagap disaat dibutuhkan untuk terdengar meyakinkan.
"Ya ampun! Aku enggak nyangka banget bisa ketemu kamu di sini." Bram menarikku lebih ke pinggir ketika ada beberapa orang yang masuk ke dalam halte. "Kamu kelihatan ...," -Sekarang dia yang melihatku dari atas sampai bawah, membuat hatiku ngilu sendiri- "good ...?"
Aku meringis ketika menyadari bahwa kata terakhirnya tidak terdengar meyakinkan.
"Makasih," sahutku berbasa basi.
Bram terkekeh pelan. Tangan kanannya ke luar dari kantong celana untuk menyibak bagian depan rambutnya yang turun karena angin yang tetiba berembus cukup keras.
Dan ringisanku berubah menjadi seringai. Jari-jemari tangan Bram bersih sama sekali. Enggak ada cincin yang menandakan bahwa dia sudah menikah ataupun memiliki pasangan. Tapi seringaiku sedikit turun karena ragu. Maksudku bisa jadi, kan, cincin pengikatnya ada di jemari kiri?
Tapi ketika dia menarik ke luar juga tangan kiri dari dalam saku demi melihat jam di pergelangan tangan. Ringisanku menjadi ringisan meyakinkan. Benar-benar bersih! Astaga! Seharusnya aku tahu, kalau dia memang Bram, bagaimana mungkin ada perempuan yang tahan dengan kelakuannya?
Kami seri. Setidaknya kalau dia menanyakan tentang pasangan, posisi kami sejajar. Sama-sama sendirian semenjak bercerai sepuluh tahun lalu.
"Sendirian?" tanya Bram lagi, matanya bergerak ke kanan dan ke kiri seperti sedang memastikan bahwa aku memang benar sendirian.
"Iya," anggukku. Enggak usah malu ketahuan sendirian, toh Bram juga sendirian. "Kamu sendiri juga--"
"Papi!" Sebuah suara kecil membuatku menghentikan ucapan. Mataku langsung bergerak ke arah suara. Menunduk dan menemukan seorang bocah laki-laki sedang memeluk paha Bram dengan manja.
Aku menatap si bocah kecil yang sekarang sedang menatapku dengan senyum tertahan. Kemudian mengalihkan lagi pandangan ke arah Bram untuk meminta penjelasan.
"Oh! Aria, ayo salam Tante Laya." Bram menarik si kecil maju sehingga posisinya sekarang berada di antara kami.
"Hai, Ante ...," sapa Aria cadel, sambil mengulurkan tangan ke arahku.
Dengan kikuk aku menerima uluran tangannya. Dikecupnya punggung tanganku sekilas.
Bram mengelus kepala Aria dengan sayang. Aku masih bingung. Aria ini siapa? Keponakannya? Enggak mungkin, kan, kalau dia adalah--
"Aria ini anak aku, umurnya empat tahun."
Bagai disambar petir di siang yang super terik. Kepalaku mendadak berdenyut.
Anak? Aria anaknya Bram? Artinya cuma aku yang enggak laku-laku selama sepuluh tahun belakangan?
Kenyataan yang sungguh membuatku tercengang dan terguncang sekaligus.
"Kamu udah punya anak?" Pertanyaan Bram menyentakku.
Dengan segenap kekuatan yang ada, aku coba mengukir senyum sewajar yang aku bisa. Lalu menggelengkan kepala.
Bram mengangguk-angguk. "Nunda? Sayang banget padahal usia kamu udah enggak bisa dibilang muda," katanya sok prihatin. Tapi andai dia tahu kenyataannya, nasibku memang memprihatinkan.
Bram tiba-tiba tersenyum. Dia mengangkat Aria ke dalam pelukannya. Dan demi apa pun, posisinya pada saat menggendong anak seperti ini sungguh terlihat suamiable. Laki-laki banget.
Ganteng, gaya dan suka anak-anak.
Astaga!! Apa yang merasuki pikiranmu, Laya?"Well, Laya. Kalau begitu aku duluan ya," pamitnya sambil mengembangkan senyum.
"Aiya mau es klim, Papi," si kecil cadel yang menggemaskan itu, merajuk dalam dekapan papinya.
"Soalnya Aria mau es krim," ucap Bram sambil menowel pipi Aria.
Aku hanya bisa mengangguk karena tidak tahu harus mengatakan apalagi.
"Kapan-kapan kita ngobrol lagi." Dan tangannya terulur ke kepalaku tanpa izin. Mengacak-acak rambutku sejenak untuk kemudian berbalik dan melangkah menjauh.
Aku tercenung. Barusan dia melakukan apa? Itu adalah kebiasaan lama yang sudah lama tidak aku rasakan. Sejak kami bercerai. Kebiasaan acak-acak rambut. Dan entah kenapa, itu membuat jantungku seakan berhenti berdetak beberapa saat. Seakan menarikku mundur ke masa-masa di mana kami bersama dulu.
Tapi ... dia sudah beristri dan mempunyai anak yang lucu. Sementara aku?
*******
"Jadi, tadi gue ketemu sama Bram ...," ocehku di telepon. Ruri yang ada di seberang telepon hanya menanggapi dengan kata 'oh' yang menyebalkan.
"Ah! Lo mah enggak ada antusias-antusiasnya!" kesalku.
"Terus gue harus gimana? Gue loncat-loncat di sini, lo juga enggak bakal liat, kan?"
Aku mendengus. Ruri enggak salah. Tapi aku enggak mau kelewat antusias sendirian. Terlebih karena kenyataan kalau Bram yang kupikir enggak akan pernah laku lagi, justru sudah menikah dan punya anak. Sedangkan aku?
"Bram sudah menikah dan punya anak. Tadi dia bareng anaknya," kataku pelan.
"Whattt?!"
Lah, ini Ruri bisa antusias. Huh!
"Dan gue? Masih juga jadi janda. Mana jobless lagi," rengekku yang membuat tawa Ruri pecah di seberang sana.
Moodku jadi tambah berantakkan. Setelah ngoceh panjang karena sebal dengan Ruri yang menertawaiku, kumatikan telepon secara sepihak.
Sekarang aku tercenung sendirian. Daripada meratapi diri yang kalah telak dari mantan suami, aku bangkit dan meraih jaket berpenutup kepala dari tiang gantungan yang berdiri tidak jauh dari ranjangku. Kemudian aku bergegas ke luar kamar. Tujuanku adalah mini market di lantai dasar. Ada kopi murah yang bisa kubeli di sana dari pada harus membeli kopi dari kedai kopi yang harganya lumayan mahal.
*******
Aku menuju meja kasir setelah membayar kopi yang kuracik sendiri di dalam gelas plastik. Setelahnya aku duduk di salah satu kursi tinggi yang disusun menghadap jendela. Aku bisa melihat taman kecil di tengah apartemen dari sini.
Tapi melihat banyaknya muda mudi yang duduk berpasang-pasangan pada bangku taman membuatku mengalihkan pandangan ke sisi lain.
Dan entahlah. Apa ini adalah sebuah karma karena aku pernah mengatakan bahwa aku tidak akan pernah mau lagi bertemu dengan Bram, tapi mantan suamiku itu benar-benar ada di sana. Dia berdiri di balik kaca yang membatasi kami dengan gelas kopi yang pastinya dari kedai kopi mahal di sebelah, memandangku sambil melambaikan tangan, tersenyum memamerkan giginya yang berderet rapi.
Astaga, ini apa-apaan?
*******
"Kamu sendirian? Suami kamu mana?" tanyanya setelah kami duduk di salah satu bangku taman yang kosong.
"Kamu sendiri? Istri kamu mana?" tanyaku antara tidak mau kalah dan enggan menjawab pertanyaannya.
Aku menatapnya sembari menyesap kopiku. Di bawah lampu taman yang cahayanya kekuningan dan temaram, aku bisa melihat perubahan di wajahnya.
Bram menunduk, menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut.
"Udah enggak ada. Amira ... udah enggak ada ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Widow(er)/Dearest You - Terbit
Fiksi UmumBook 1 : Dearest Series A Romance Comedy Memutuskan menikah di usia muda benar-benar sebuah bencana bagi Laya dan Bram. Mereka bahkan bercerai sebelum usia pernikahan mereka mencapai satu tahun. Sepuluh tahun berlalu. Laya kembali dipertemukan denga...