Penasaran

33.4K 3.8K 160
                                    

Aku tercenung di depan layar laptop yang kubuka di atas ranjang. Tidak bisa tidur setelah mendengar omongan Bram tadi di taman. Dia bilang Amira, istrinya, sudah tidak ada. Ketika aku tanya kemana? Dia malah mengalihkan pembicaraan begitu saja, kemudian pamit dan meninggalkanku dengan rasa penasaran.

Dan sejak kapan Bram tinggal di komplek apartemen yang sama denganku? Aku enggak pernah lihat dia mondar-mandir di kawasan apartemen sebelumnya. Kebetulan lagi?

Sepertinya terlalu banyak kebetulan antara aku dan Bram hari ini. Lalu selanjutnya apa akan ada kebetulan lainnya?

Membayangkan hal itu aku mendengus. Tidak seharusnya aku mengharapkan kebetulan yang lainnya. Kisah kami sudah lama lewat, dan sayangnya berakhir tragis. Cerai.

Dengan malas aku menatap laptopku lagi. Mengamati kembali situs lowongan kerja, mulai mencari lagi karena tidak mungkin hanya bergantung pada satu perusahaan yang belum tentu bakal menerimaku.

Setelah mengirimkan setidaknya tiga aplikasi lamaran lagi, akhirnya aku menutup laptop dan meletakkannya ke atas nakas di sisi ranjang. Membaringkan tubuh, pikiranku mulai melayang lagi. Kali ini bukan tentang kebetulan-kebetulan yang terjadi bersama Bram, tapi lebih bagaimana aku menghindarinya.

Dia tidak boleh tahu kalau ternyata aku masih menjanda selama sepuluh tahun, dan tidak memiliki pekerjaan. Mau ditaruh di mana mukaku?

Berarti, mulai besok aku harus waspada tiap melangkah di sekitaran apartemen. Jangan sampai bertemu lagi dengan Bram. Jangan sampai Bram tahu bagaimana keadaanku yang sebenarnya. Jangan sampai ada celah baginya untuk menertawaiku.

Aku segera memejamkan mata erat sampai rasanya sekuruh urat di sekitarnya tertarik. Bayangan bagaimana Bram akan mulai mengejekku sebagaimana kebiasaannya dulu membuatku resah.

Jangan sampai Bram tahu. Enggak boleh!

*******

Dengan semangkuk mi instant di tangan, aku menarik kursi makan dengan malas menggunakan kaki. Ini sudah pagi berikutnya. Belum ada surel atau panggilan telepon dari perusahaan online games yang kemarin aku lamar, apalagi dari tiga perusahaan yang baru kukirimkan aplikasi lamaran semalam.

Mauku tuh, lamar, wawancara dan kepastian diterima terjadi dalam satu hari. Enggak perlu nunggu-nunggu karena dalam kasusku sifatnya urgent! Mendesak. Enggak bisa dilama-lamain, takut aku keburu bangkrut karena sisa uang yang menipis. Ini saja sudah makan mi instan demi penghematan.

Aku menggulung mi-ku dengan garpu sebelum memasukannya ke dalam mulut. Sementara tanganku yang bebas asyik berselancar di atas layar ponsel. Kemudian ada notifikasi surel masuk. Kugeser ketepi layar dengan ibu jari, karena pop-upnya mengganggu pandanganku pada berita yang sedang kubaca. Berita gosip tentang artis yang jadi pejabat pemerintahan terus ketahuan korupsi.

Heran, orang-orang ini, sudah enak-enak dapat kerjaan masih saja cari perkara. Aku saja setengah mati nyari kerjaan baru. Ck!

Hampir saja ponsel terlempar dari tanganku saking terkejutnya ketika sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal masuk.

Aku mengerutkan kening, ini panggilan dari fixed line bukan selular. Siapakah?

Dengan cepat kutekan tombol untuk menjawab panggilan.

"Halo?" sapaku.

"Selamat pagi, dengan Ibu Laya Ananta?"

"Saya sendiri," sahutku.

"Saya Donna dari Shem Online Games ...."

Eh, ini yang kemarin aku interview, kan?

"Beberapa saat lalu kami mengirimkan email ke Ibu dan belum mendapat tanggapan. Maaf mendadak, tapi pimpinan kami mau bertemu dengan Ibu jam 9:30 pagi ini. Apa bisa, Bu?"

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang