Cinta

30.3K 3.6K 169
                                    

Sorry! Aku enggak mungkin dong, dengan senang hati datang ke apartemen Bram, meski itu demi bobo dengan si kecil Aria.

Maka, ayah dan anak itu yang muncul di apartemenku tidak lama kemudian. Keduanya sudah siap dengan kostum tidur, mengenakan piama dengah motif kembar.

Yang jadi motif adalah salah satu karakter di permainan online yang di release oleh perusahaan milik Bram. Aku pernah lihat waktu proses wawancara dulu. Karakter mobil berwarna kuning yang memiliki mata bulat dan bibir super lebar. Warna kuningnya kontras dengan warna hitam yang menjadi dasar piama. Di bagian pundak, tulisan Shem Online Games terpampang nyata.

Ck! Bahkan piama saja sampai kena branding segala.

Keduanya duduk dengan kaku di atas sofa, menatapku dengan telapak tangan dipangku pada paha masing-masing. Aku yang balas menatap sembari berdiri beberapa langkah di hadapan, mengulum senyum. Masalahnya, mereka terlihat sama ketika sedang merasa kikuk.

"Aiya mau bobo cama Ante Laya." Aria yang memecah keheningan. "Boleh?" lanjutnya bertanya dengan takut-takut.

Aku tersenyum, mengangguk. Lalu berlutut sambil merentangkan tangan, mengundang Aria masuk ke dalam pelukan.

Tidak perlu dikomando. Si gembil langsung menghambur girang kepelukanku.

Aku bisa melihat senyum di wajah Bram. Lelaki itu mungkin tidak sadar kalau aku memperhatikannya karena sibuk memperhatikan Aria.

"Uhm ...," Bram berguman. Matanya tiba-tiba saja berbenturan dengan mataku.

Aku segera mengerjap, merunduk dan berkonsentrasi pada Aria.

Aduh! Bisa-bisanya saling tatap dengan Bram.

"Aria bobo di sini ya, Laya," katanya meminta izin.

"Iya. Enggak apa-apa," jawabku sambil mengangkat kepala dan membalas senyum Bram dengan wajah yang kikuk.

"Aku juga, ya ...," katanya lagi yang membuat senyumku segera menghilang.

Apa Bram enggak sadar ada lambang forbidden for Bram di depan pintu? Mana boleh?!

Senyum Bram masih mengembang, matanya berbinar penuh harap. Memangnya apa yang dia harapkan? Aku mengiyakan, gitu?

Mulutku nyaris terbuka untuk membantah, tapi Aria menyahut lebih cepat.

"Hoyeee!!" girangnya sambil menarik tangan Bram tanpa melepaskan pelukannya padaku, sehingga ayahnya tersuruk ke depan lepas dari sofa, sementara tubuhku ikut-ikutan mencondong maju.

Aku yang terkejut, sama sepertinya dengan Bram yang juga terlihat kaget. Kami berdua berada dalam posisi berlutut saling berhadapan dengan Aria yang mengalungkan tangannya di masing-masing leher kami.

Aku tersentak ketika menyadari bahwa wajah Bram terlalu dekat dengan wajahku. Bram sendiri juga terbelalak. Tapi dasar lelaki itu tidak tahu malu. Dia terkejut hanya sesaat, tapi kemudian menyunggingkan senyum terkulum dengan menyebalkan.

Kucibir Bram sambil menarik diri. Lalu menatap Aria yang tersenyum lebar ke arahku.

"Papi enggak bisa bobo di rumah Tante, Sayang," kataku lembut.

Senyum lebar Aria pudar seketika, menukik tajam. Matanya mulai berkaca-kaca, pipinya beranjak kemerahan, dan tangisnya pecah kemudian.

*******

Aku menatap langit dari balkon apartemen. Aria sudah tidur di kamar, Bram juga sudah terlelap di atas sofa. Sedangkan aku entah mengapa sulit sekali terlelap malam ini.

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang