Hilang

29.5K 3.3K 118
                                    

Otomatis aku langsung menoleh mengikuti arah pandang Aria.

Mami? Amira?

Ketika aku menoleh, seorang perempuan yang sedang menyematkan kunci di apartemen sebelah ikut menoleh ke arah kami, lalu tersenyum.

Kulihat Bram buru-buru mengangguk dengan senyum kaku dan pandangan meminta maaf. Lalu ketika aku merunduk menatap Aria, bibir si kecil sudah menukik tajam dengan mata berkaca-kaca.

Perempuan itu kemudian masuk saja ke apartemen tanpa menoleh lagi. Sepertinya si kecil salah orang.

Setelahnya, Bram segera mengangkat Aria ke dalam pelukannya.

"Itu enggak sopan, Sayang," bisiknya sambil mengecup pipi Aria yang mulai bersemburat merah.

Aku menatap Aria sedih. Sebegitu rindunya dia dengan ibunya.

Bram kemudian mengalihkan pandang ke arahku. Mataku turut memandangnya.

"Kamu kenapa berkaca-kaca begitu?"

Ah? Masa sih mataku sampai berkaca-kaca?

"Kasihan Aria," kataku dengan gerak bibir tanpa suara. Enggak rela kalau Aria sampai mendengar, takut dia nangis kejer.

Bram mengernyitkan kening. Apa dia kesulitan ya membaca gerak bibir?

Jadi aku bergerak maju, berjingkat agar bibirku mencapai telinganya, lalu membisikan kembali ucapanku barusan. Kemudian aku menarik bibir, kembali menatap Bram dengan pandangan sedih yang masih sama.

Bram memandangku teduh setelah menghela napas. Kemudian dia menunduk masih dengan Aria dalam dekapan. Bibirnya nyaris rapat di telingaku, napasnya terasa hangat di sana.

"Kalau gitu, kamu mau jadi maminya Aria?" bisiknya tidak kalah pelan.

*******

Aku menginjak pedal gas mobil kesayanganku. Hartaku satu-satunya. Tujuannya? Gerai jual beli mobil. Sudah kuputuskan untuk melepaskan, karena aku sudah enggak sanggup lagi bayar cicilannya. Lalu bakal pindah dari apartemen ke kos-kosan.

Oiya, aku juga bakal jemput Ruri dulu di mini market tempat kerjanya, dia cuti hari ini demi menemaniku.

Dari kejauhan aku bisa melihatnya berdiri di sisi jalan. Rambut keritingnya yang dibiarkan tergerai terlihat berantakkan, seperti biasa. Ketika aku menepikan kendaraan, Ruri segera masuk dan memasang sabuk pengaman di bangku penumpang tepat di sebelahku.

Aku kembali menginjak pedal gas. Jalanan Jakarta tumben-tumbennya lenggang pagi ini. Baru jam sepuluh, tapi matahari sudah bersinar terik.

"Tolong ambilin kacamata gue dong di laci dashboard," pintaku pada Ruri.

Ruri segera membuka dashboard dan mulai mengulik-ulik isinya yang enggak sedikit.

"Katanya mau jual mobil, tapi ini enggak lo beresin. Ribet kalau rapi-rapi di sana!" omelnya sambil menyerahkan kacamata hitam ke arahku.

Aku tersenyum simpul, meraih kacamata dan mengenakannya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depan.

"Enggak cuma jual mobil, abis ini juga kayaknya mau ngekos aja," sahutku.

Aku bisa melihat Ruri terperangah dari spion tengah.

"Lo beneran udah bangkrut?" tanyanya tanpa menghaluskan istilah bangkrut.

Aku tersenyum. Sudah biasa dengan sikapnya yang ceplas-ceplos. Enggak usah ditanggapi, dia biasanya cepat lupa.

"Lo ngikut ngekos aja sama gue, daripada masih ngekor ortu udah setua ini. Kita sama-sama nunggu om-om super kaya buat mempersunting kita," kekehku asal.

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang