2. The Problem of Couples

47.2K 4.2K 168
                                    

"By?" Khiya keluar dari kamarnya pagi ini sambil menggaruk-garuk kepalanya. Kemeja kekasihnya yang kedodoran di tubuhnya dikancing asal-asalan. Dia tidak peduli meskipun bahu dan dada bagian atasnya terlihat dengan jelas. Lagi pula, apalagi yang mau ditutupi? Kekasihnya sudah pernah melihat keseluruhan dirinya.

Saat sampai di dapur, Khiya pun mendapati kekasihnya yang hanya menggunakan boxer sedang memasak sarapan untuk mereka. Kegiatan rutin lelaki itu setiap harinya. Karena Khiya, sangat payah dalam hal yang berhubungan dengan rumah tangga. Sekali mencuci piring saja, dia bisa memecahkan satu sampai dua peralatan kaca. Karena itu, kekasihnya selalu mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Karena tahu, Khiya tidak bisa diharapkan.

"Masak apa, By?" tanya Khiya sambil duduk di bangku tinggi yang berada di kitchen island. Khiya mengambil segelas air putih yang sudah disiapkan dan meneguknya hingga setengah. "Kamu pagi banget bangunnya? Ada meeting?" Khiya melirik jam di dinding dapur yang menunjukkan pukul setengah enam pagi.

Padahal biasanya mereka baru bangun pukul enam, karena dua-duanya masuk kerja pukul delapan pagi. Tapi, saat Khiya membuka matanya pukul lima lebih sedikit tadi, kekasihnya itu sudah tidak ada di sampingnya.

"Nggak. Tadi kebangun terus nggak bisa tidur lagi," jawabnya masih sambil sibuk membuat sesuatu di depan kompor. Dari aroma yang tercium, Khiya menebak kekasihnya itu sedang membuat pancake.

"Aku yang mateng ya, By, pancakenya."

"Iya. Aku tahu. Pancake kecokelatan dengan sirup maple." Khiya pun tersenyum simpul mendengar jawaban itu. Kekasihnya memang selalu tahu apa yang dia sukai.

"Kamu lagi banyak pikiran belakangan ini, ya, By?" tanya Khiya saat akhirnya pancake matang dan mereka menikmatinya bersama. Khiya dengan pancake sirup maplenya dan kekasihnya yang lebih senang menaburkan sirup cokelat di pancake pucatnya.

"Biasa. Kerjaan." Khiya memotong pancakenya dengan garpu sambil menganggukkan kepalanya. Khiya tidak bertanya lebih lanjut karena dia sedang malas membahas mengenai pekerjaan saat ini.

"Dari pukul lima tadi hape kamu getar-getar terus. Aku lihat Sasha ngirim kamu banyak chat," ucap kekasihnya sebelum memasukkan pancake ke mulutnya. "Dari kemarin dia kayaknya ribet banget sama kamu. Kenapa?" tanyanya dengan mulut penuh makanan.

"Jangan ngomong sambil ngunyah! Kebiasaan kamu, By!" tegur Khiya. "Lagi berantem sama si Marco."

"Berantem? Mereka bisa berantem?"

Khiya menatap kekasihnya dengan satu alis naik. "Kamu pikir ada pasangan yang nggak pernah berantem?"

"Mereka selalu kelihatan lovey dovey. Kalau kita ketemuan sama mereka, mereka selalu nempel kayak perangko kan? Postingan media sosial mereka pun selalu terlihat bahagia," jawab lelaki itu sambil mengendikkan bahunya. "Tapi, kamu benar, tidak ada hubungan yang hanya manis saja."

Khiya mengangguk setuju dengan ucapan kekasihnya. Pikirannya tertuju pada sahabatnya yang pasti sedang galau saat ini. Saat sampai di kantor nanti, dia akan menelepon Sasha. Semoga saja keadaan wanita itu tidak seburuk yang Khiya bayangkan.

"Hari ini aku ke Bandung, ya," ucap kekasihnya tiba-tiba yang membuat lamunan Khiya buyar. "Kemungkinan tiga hari di sana. Baik-baik kamu di sini!"

"Dih, emang pernah aku macem-macem?" cibir Khiya.

Lelaki itu kemudian menatap Khiya dengan tajam.

"Iyaaaa, Baby!!!"

***

"Khiyaaaaa!!!!" isakan tangis itulah yang menyambut Khiya siang ini saat sampai di coffee shop, di mana Sasha minta untuk bertemu.

Meskipun Khiya ingin mengomeli Sasha yang tidak tahu tempat berteriak dan menangis seperti anak kecil, tapi melihat bagaimana galaunya sahabatnya itu, Khiya pun hanya bisa pasrah saat Sasha memeluknya sambil mengeluarkan tangisan. Khiya menepuk-nepuk punggung Sasha, sambil mengedarkan senyum permintaan maaf pada para pengunjung lain di sekitarnya yang sepertinya terganggu oleh Sasha

Been ThroughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang