Siapa sih?!

438 29 0
                                    

Sudah pukul lima lebih dan kelas sudah kosong, namun aku masih menggambar pemandangan kelas baru — menurut ingatanku — dari sudut belakang, makanya untuk jam ini aku duduk di kursi paling belakang.

Aku begitu serius menggambar dengan pensil kayu sampai-sampai tidak mendengar suara murid-murid di luar yang masih beraktivitas.

Nice , did you find something in here?” Tanyanya, dengan aksen yang bagus dan terdengar lancar.

Aku terkejut, bahkan sampai membuat pensil-pensilku terjatuh ke lantai dan menimbulkan bunyian, lagipula kenapa dia bicara pakai bahasa Inggris, sih? Aku kan tidak begitu mengerti.

“Kkk... kamu...?!” Aku terkejut lagi saat melihatnya.

Lelaki bernama Jungkook itu tersenyum tipis, lalu memperhatikan hasil karya ku yang belum selesai.
Aku mencoba bertanya tentang kondisi tubuhnya namun ia malah tak menghiraukanku dan meraba kertas bergambar dengan sebaran remah-remah penghapus sambil berkata

“waw... halus... seperti biasa...”

Aku mengerutkan kening “tentu saja, kertas itu rata.”

“Kamu tidak mengerti...” Ia tertawa kecil.

Aku merasa ia cukup aneh dan misterius. Matanya besar berwarna coklat tua, seolah di dalamnya menyimpan banyak misteri.

“Ini... kedua kalinya kita bertemu, kan?”

Lelaki itu tertegun, ia berhenti menyentuh kertas tersebut dan meletakan kedua tangannya ke belakang dengan kepala yang sedikit ia tundukkan sambil tersenyum simpul.

“Menurutmu begitu?”

“Ah, maafkan aku, tadi pagi aku mengantarmu. Berarti kita bertemu tiga kali.”

Senyumnya meredup, namun sepersekian detik kemudian ia tersenyum tipis

“ya...”

Aku segera berdiri begitu menyadari lelaki tersebut terlihat agak mencurigakan.

“Maaf, aku harus pergi...”

Aku tidak melihat wajah lelaki itu ketika ia memutuskan untuk pergi. Beberapa menit setelah aku menyelesaikan sketsa, aku merapikan peralatan tulis dan mengumpulkan remah penghapus lalu kubuang, saat aku berjalan di koridor, aku melihat lelaki itu sedang berdiri di kelas C, di meja sebelah jendela kelas paling depan.

Tangannya mengelus-elus meja itu lembut, pundaknya naik turun. Ia cukup menyeramkan mengingat gedung di sekolah jam segini sangatlah sepi, tapi aku jadi merasa tidak enak kalau sudah berburuk sangka padanya, bagaimana kalau lelaki tadi hanya ingin bertemu denganku dan bermaksud menyampaikan rasa terima kasihnya yang belum terucap karena ia sendiri sudah pergi duluan sehabis kuturunkan di tempat parkir sepeda?

Akhirnya aku kembali berjalan saja dan meninggalkannya, namun aku jadi merasa harus megacuhkannya, maka itu aku menghentikan langkah untuk maju dan kembali mundur beberapa langkah.

Aku tertegun saat melihat lelaki itu tidak ada, di meja tadi cuma ada sebuah origami pesawat terbang. Karena penasaran, aku berbuat tidak sopan, aku mengambil origami itu dan membukanya, mengira kalau ada pesan atau sesuatu yang lelaki tadi tulis di origami tersebut. Tetapi, ternyata origami berbentuk pesawat terbang itu kosong.

Tidak ada tulisan apapun.

Hanya ada sebuah pola bulat yang basah.

“Sudah kuduga kamu akan kembali.”

“HUWAA!” Aku terkejut, sampai melempar kertas itu karena gerakan reflek.

Lelaki itu bersuara di belakangku dengan tiba-tiba, tentu saja hal itu membuatku terkena serangan jantung mendadak!

Kalau aku punya penyakit yang begitu, mungkin aku benar-benar akan mati! Kenapa ia tiba-tiba menghilang, sih? Siapa dia sebenarnya??

“Maaf. Aku hanya sangat senang.”

“Maksudmu??”

Ia mengambil kertas yang kujatuhkan, kemudian melipat kertas tersebut ke bentuk awal, pesawat terbang. Lalu ia kembali menaruh kertas itu di atas mejaku untuk kedua kalinya.

“Aku tahu Taetae tidak akan menyakiti hati orang lain.”

Aku mengerutkan kedua alis, bingung dengannya.

“Hei, bukannya tidak sopan memanggil orang yang baru kau kenal dengan sangat akrab seperti itu?”

Ia selalu memanggilku dengan akrab, seolah-olah aku orang yang sangat dekat dengannya.

Bukannya aku orang yang gila tata krama lantas orang-orang yang tidak kenal dekat denganku sampai harus memanggilku Kim atau semacamnya dengan akrab.

Namun karena rasanya... sedikit aneh... Aneh saja dengan lelaki satu ini.

Senyumnya meredup lagi saat aku berkata begitu, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan dan menundukkan kepala, ia tampak berpikir seperti sedang menyesali perbuatannya, setelah itu barulah ia mendongakkan kepalanya untuk melihat wajahku sambil tersenyum tipis, lagi.

“Maafkan aku, siapapun kamu.”

Baiklah, sekarang aku benar-benar harus pergi.
Ketika aku berjalan keluar dari gedung sekolah dan mengambil sepeda, aku mulai mengayuhnya dengan perlahan, kemudian, hujan benar-benar turun.



***

Regards,

Ren.

Our Promise [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang