Tear drop

338 25 0
                                    

Setelah ujian akhir untuk murid kelas tiga pada bulan Januari, bulan Februari saatnya persiapan wisuda untuk kami para murid kelas tiga.

Kami akan segera melangkah maju dan pergi dari gedung yang kami diami dan kami anggap sebagai rumah tiga tahun belakangan ini. Dan tentunya selama kelas tiga, banyak murid seperti orang kesurupan jin. Orang yang malas biasanya menjadi rajin memperhatikan pelajaran di kelas.

Aku yang habis keluar dari rumah sakit berjuang habis-habisan karena ketinggalan banyak pelajaran meskipun Jimin sudah membantuku cukup banyak. Bogum juga membantuku mencari universitas yang bagus meskipun awalnya ia ingin sekali kami masuk universitas yang sama di Busan. Ia tahu lebih banyak karena lebih tua satu tahun dariku dan otomatis dia sudah kuliah, yah, sunbae ku.

Kelas tiga semester dua itu sama sekali nggak enak karena waktu cukup banyak tersita. Bangun pagi pukul setengah tujuh siap-siap ke sekolah kemudian sekolahpun selesai sampai sore, setelah itu diisi waktu les sampai malam, kemudian menambah porsi belajar di rumah.

Tapi, aku tidak seperti mereka, aku tidak pernah belajar di rumah karena menurutku tidak efisien, waktu belajarku cuma di sekolah dan les saja ― sebenarnya Mingyu yang terus memaksaku.

Hari selasa aku tidak ada jadwal les, akupun memutuskan untuk belajar di perpustakaan bersama Namjoon dan Jimin sekaligus menghangatkan diri di ruang perpustakaan karena cuaca di luar sangat dingin di bulan Februari.

Masa bodo dengan valentine yang sudah lewat, aku tidak mendapatkan cokelat sama sekali, huh.

“Hei, kalau nomor lima bagaimana caranya?” Tanyaku.

Namjoon melirik buku ku “ini dieliminasikan dulu, nanti yang grafik juga kau hitung. Caranya mirip dengan nomor tiga.”

Aku mengangguk, kemudian mencoba mengerjakan sesuai dengan penjelasan Namjoon.

Setelah mengerjakan sepuluh soal matematika, aku belajar pelajaran bahasa Inggris, namun karena kami tidak membawa kamus elektronik karena ini niat belajar dadakan, aku mencari buku kamus di sekitar rak buku.

“Kamus...kamus...kamuss...” desisku seraya mencari buku kamus bahasa Inggris “ah, ketemu...”

Aku mengambil buku itu, namun tiba-tiba saja buku itu terlepas dari tanganku. Aku merasa ini deja vu, sepertinya aku pernah mengalami ini sebelumnya.

Akhirnya aku memungut buku itu dan berjalan menelusuri tiap rak buku, entah kemana aku berjalan, tetapi aku berhenti di pojok ruangan dekat jendela, ada banyak buku-buku yang terbaris rapi terdiri dari buku-buku biologi dan sains tentang tubuh makhluk hidup.

“Selamat siang...” Seseorang menyentuh bahuku, sontak aku melepas kamus dan membalik badan karena terkejut, laki-laki hantu itu tersenyum padaku kemudian duduk di kursi sebelah jendela sambil membaca novel bahasa asing yang tidak kumengerti.

“Hei... Kookie? Jungkook Kayana!”

Ia tidak menggubris panggilanku, sepertinya karena ia mendengarkan lagu dengan earphonenya, tapi ia hanya mengenakan earphone itu pada telinga kanannya saja dan seharusnya ia dapat mendengarku.

“Hei!” Aku menepuk pundaknya.

“Huwaaa!!” Ia terkejut.

Aku tertawa kecil “maaf, maaf. Habisnya sudah kupanggil berkali-kali, kamu tidak meresponku.”

Ia menunduk “maaf,” kemudian ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya “aku tidak memakai alat bantu pendengarku, jadi...”

“Lho, telingamu bermasalah?”

Ia terhenyak sesaat, namun ia mengangguk setelahnya

“telinga kiriku bermasalah 50%. Makanya aku tidak pernah melupakan perkataan orang-orang yang ditujukan padaku.

Di negara lain ada kalimat “masuk lewat telinga kanan, keluar lewat telinga kiri. Hehe...”

Aku tertawa kecil mendengarnya “hei, kau sedang apa?”

“Mendengarkan musik kesukaanku.”

“Apa?”

“Tchaikovsky – swan lake.”

Aku pun duduk di sebelahnya, ia menatap langit jingga dan merasakan hembusan angin dingin dari jendela.

Saat ia memberikan earphonenya dan menyuruhku mendengarkan lagu ― musik ― itu, rasanya seperti... Aku pernah mendengar musik ini, namun aku tidak tahu kapan dan dimana, sepertinya dari Jimin yang menonton dvd lama dari film Black Swan, kuanggap musiknya terdengar cukup menyeramkan — atau mindsetku begitu karena pertama kali kudengar musik ini melalui film seram.

“Hei, apa yang kau lakukan di sini?” Ia memulai pembicaraan.

“Aaa, seharusnya aku yang bertanya padamu.”

“Aku? Setiap hari aku ke sini. Apa yang membawa orang supel-yang-tidak-tertarik-pada-buku datang ke tempat ini, ya?” Ia memicingkan mata besarnya.

“Belajar kelompok.”

“Begitu, sepertinya aku sedikit kecewa. Tapi terima kasih sudah datang.”

“Maksudmu?? — ah jangan-jangan kamu laki laki yang dimaksud Jimin, ya? Dia bilang setiap pagi aku pergi ke sebuah tempat untuk menemui seseorang.”

Ia melirik ke arah lain sambil mengambil sebuah buku tentang tanaman “benar, tapi salah.”

“Maaf, tapi aku tidak mengerti...”

Ia tersenyum simpul.

“di pernyataanmu ada benarnya tapi ada salahnya juga. Bisa jadi aku yang dimaksud, atau bisa jadi ini bukan tempatmu setiap hari bertemu dengan orang itu. Atau bahkan bisa jadi aku bukan orang yang dimaksud atau bisa jadi tempatmu setiap hari bertemu dengan orang itu.”

“Hei, sebenarnya kamu itu apa, sih?”

“Taehyung!”

Aku menoleh, Namjoon datang menghampiri dengan buku kamus lain “kau sedang apa?”

“Maaf, aku tadi keterusan mengobrol dengannya.” Aku menunjuk Kookie dengan ibu jariku.

Namjoon menaikan satu alisnya seolah sebuah siratan dari kalimat ‘hah? Apa kau bercanda?’

“Tae, kau bicara sendiri dari tadi.”

Kemudian Namjoon menarik lenganku cepat-cepat untuk menghemat waktu, aku melirik ke belakang, lelaki itu masih duduk sambil melambaikan tangan kanannya.













****

Regards,

Ren

Our Promise [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang