Matahari yang tidak begitu terik hari ini bersinar tepat pukul 7 pagi, mengiring langkah sibuk orang-orang yang sekarang sudah siap dengan rutinitasnya. Bekerja atau bersekolah. Pria dengan setelan jas hitam mahal dengan dasi yang terikat rapi, wanita dengan kemeja kerja, blazer, dan rok span yang sepadan—dan jangan lupakan stilettonya, atau murid-murid dengan seragamnya yang kebanyakan berkemeja putih. Ya, jalanan Seoul tak jauh dari pemandangan itu.
Begitu juga dengan Na Boram, gadis yang sekarang baru saja akan memulai tahun pertamanya menjadi murid kelas dua belas di Sekolah Gyeonglim. Langkahnya lebih cepat dari yang lainnya, peluhnya menetes lebih banyak dari orang lain. Ia terlambat untuk hari pertama sekolahnya. Sungguh, dirinya sial sekali. Hanya kata-kata itu yang ia ulangi di dalam kepalanya, menemani setiap inci langkahnya menuju gerbang sekolah.
“Pak! Sebentar, dengarkan saya dulu!” Malahan sekarang ia sudah berteriak-teriak di depan gerbang sekolah yang tepat dikunci saat ia memegang salah satu besinya. “Terlambat. Gerbang dibuka lagi setelah jam delapan, jadi kau bisa tunggu dulu.” Suara dingin dari petugas sekolah menyapu telinga Baram. “T-tapi saya datang tepat waktu, bukan? Jam setengah delapan tepat!” Ia terus membela dirinya, sebelum petugas itu kehilangan kesabaran dan akhirnya dengan terpaksa harus bertindak agak kasar dengannya. “Sudah terlambat, masih membangkak! Bisa tidak, ikuti peraturan yang ada?” Boram membeku di tempat dengan mata membelalak yang melihat punggung petugas sudah berjalan menjauh dari gerbang.
Lututnya lemas, kacau sudah. Mau dijadikan apa ia oleh Appanya nanti setelah ia kembali ke rumah? Appa pasti akan ditelpon pihak sekolah, tentu dengan kabar bahwa Na Boram, putrinya, datang terlambat hari ini sehingga ia harus pulang lebih sore dari biasanya. Biasa, tugas membersihkan toilet, atau aula, atau ruang olahraga.
Ia akan selamat bila Appanya tidak mabuk hari ini. Namun ia tidak menjamin akan hari esoknya jika Appanya minum hari ini sembari mendapati putrinya yang hari ini baru saja terlambat.
“Aku ragu apa besok wujudku masih bisa terlihat di dunia.” Pikirannya selalu berujung pada kematiannya. Apakah Appanya akan membunuhnya setelah ini karena mengecewakannya. Terdengar ekstrim, bukan? Namun, yah, itulah yang ada di pikirannya sekarang. Bahkan, ia ragu sebelum Appa dapat menghabisinya, ia telah mengakhiri semuanya terlebih dahulu.
Hei, jika kau bertanya siapa yang memakai masker paling indah dan cantik, jawabannya adalah Na Boram. Ia pandai sekali menyembunyikan segala sesuatu yang mengusik pikirannya.
Bebanku, biar aku saja yang tanggung. Itu telah dipercayakan kepadaku, jadi sudah seharusnya aku mengatasi ini semua. Lagipula, everyone is their own survivors.
Begitulah yang ia katakan. Teori hidupnya yang sama sekali standar.
Mungkin, teori itu juga yang membuatnya menjadi orang yang begitu positif, disukai dan dicintai orang-orang. Namun dibalik fakta itu, ada satu pertanyaan yang selalu mencuat, namun tak pernah ia jawab:
Apakah ia dicintai dirinya sendiri?
Ia mengubur jawaban sekaligus pertanyaan itu dalam-dalam, enggan membukanya kembali.
Tak terasa matahari sudah meninggi, dan Boram telah mendapatkan dirinya kembali di kelas. Di lantai tiga, tengah-tengah koridor panjang yang hanya ada tembok dengan cat putih dan coklat kayu, dengan jendela-jendela yang menyajikan pemandangan hamparan rumput depan sekolah yang indah.
“Boram!” Boram kenal betul suara itu. Tidak mungkin ia tidak mengenal suara temannya yang selalu lebih berisik dari alarm paginya. Jung Hoseok, pria berbadan karet dengan proporsi wajah yang mendekati sempurna ini tak pernah gagal menyadarkan Boram dari lamunannya. “Berisik sekali. Ini baru hari pertama, Hoseok.” Boram kembali menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan tangannya di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panacea ✓
Fanfiction[SUDAH DITERBITKAN] Panacea - A Kim Namjoon Fan Fiction Berawal dari cambukan tak kasat mata yang ditorehkan pada punggung, Na Boram, gadis delapan belas tahun itu, tak punya banyak pilihan selain terus bersandiwara menjadi manusia sempurna, atau me...