“Jadi pacarnya sakit?”
Sudah beberapa menit yang lalu Namjoon menemani Boram ditengah kekacauan meja bundar perpustakaan dan kekacauan otak Boram.
“Begitulah. Kurasa pacarnya juga sedang membutuhkannya,” Boram hanya bisa menghela napas. Ia sekarang hanya mencoba memikirkan keadaan pacarnya. Kalau saja ia sakit, dan jika ia punya pacar, ia pasti ingin juga ditemani. Setidaknya ia tidak akan merasa sendiri.
“Lalu kau, apa kau tidak membutuhkan Sangwoo?” Namjoon terkekeh. Gadis ini selalu memikirkan orang lain dan menganggap dirinya tidak ada. Sungguh, masker Boram adalah masker yang paling ampuh untuk menutup lukanya, pikir Namjoon.
“Ada sesuatu yang dinamakan prioritas, Joon.” Boram tersenyum masam, masih sambil melihat dan membaca lembaran buku itu.
“Kalau begitu anggap saja sekarang aku Sangwoo, tapi versi yang tidak punya pacar.” Namjoon tertawa kecil, lalu segera menyambar salah satu buku yang ada di sisi kiri Boram. Ia membuka lembar tiap lembar, mengernyitkan dahi sesekali untuk memilih topik esai apa yang cocok untuk Boram.
“Folktales rasanya menarik.” Tangan Namjoon yang dari tadi sibuk membalik lembaran-lembaran buku kini terhenti setelah mendapatkan salah satu cerita folktale. “Folktale yang mana?” Boram mengalihkan perhatiannya dari buku sejarah Joseon ke buku yang sedang terbuka di hadapan Namjoon.
“Chunhyang dan Mongryeong.”
Ah, cerita itu. Boram sangat hafal dengan cerita itu. Menurutnya, cerita itu adalah Romeo dan Juliet versi Korea. “Cerita ini seperti tak akan habis dimakan zaman.” Namjoon masih tak bisa melepaskan pandangannya dari buku itu. Melihat Namjoon yang seakan sedang terjerumus ke dalam dunianya sendiri dengan buku itu membuat Boram tak dapat menahan senyumnya. Laki-laki ini berbeda.
“Kau bisa melihat banyak sekali pelajaran hidup melalui berbagai perspektif disini.” Boram ikut larut bersama Namjoon dan buku itu. “Lalu, jika aku ingin melihatnya dari perspektifmu, apa pelajaran hidup yang kau lihat?” Namjoon sekarang memalingkan wajahnya menatap Boram. Namjoon tersenyum begitu tulus dan manis seakan ia sangat menantikan jawaban Boram.
Boram sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya memberikan jawabannya.
“Kebebasan.” Boram menghela napas.
Boram tahu betul setiap orang yang mendengar alasan itu akan bertanya di mana letak kebebasan dari cerita itu. Jelas-jelas itu adalah cerita romansa. Jadi sebelum Namjoon bertanya, lebih baik ia yang menjelaskannya.
“Chunhyang dan Mongryeong tidak punya kebebasan untuk menentukan dan menghidupi kebahagiaannya. Mereka ingin bersama, tapi kebebasan orang lain menjadi pembatas kebebasan mereka.”
“Amor Vincit Omnia. Asal kau punya cinta di dalam hatimu, kau dapat melakukan apapun. Termasuk bebas menentukan bahagiamu.” Boram mengakhiri penjelasannya dengan senyum tipis. “Pemikiran yang bagus,” Namjoon mengangguk beberapa kali, menyadari betapa hebatnya perempuan yang kini berada di sampingnya.
Namjoon juga sadar, bahwa perempuan yang baru saja berkata atas nama cinta ini, sesungguhnya belum pernah merasakannya. Boram juga tahu betul hal itu. Hatinya saja telah mati, bagaimana ingin merasakan cinta?
“Oke, aku ambil cerita ini.” Boram tersenyum puas. Setidaknya, ia sudah memiliki topik yang akan ia bahas dalam esainya. Masa bodoh dengan Sangwoo yang akan menolaknya atau tidak. Siapa suruh ia tidak datang dan ikut memilih topik? “Bilang saja padaku jika ada kesulitan nanti, aku akan jadi Sangwoo yang tidak punya pacar lagi untukmu.” Namjoon terkekeh. Boram mengangguk antusias. Mereka bergegas merapikan kekacauan di meja perpustakaan, merapikan tas, dan bergegas pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panacea ✓
Fanfiction[SUDAH DITERBITKAN] Panacea - A Kim Namjoon Fan Fiction Berawal dari cambukan tak kasat mata yang ditorehkan pada punggung, Na Boram, gadis delapan belas tahun itu, tak punya banyak pilihan selain terus bersandiwara menjadi manusia sempurna, atau me...