[012] Geborgenheit

1.9K 297 83
                                    

Sisa-sisa bahagia malam itu masih terus berbekas dalam hati mereka. Bunga yarrow merah mudanya sekarang sudah terletak rapi di nakas sebelah ranjang Boram.

Setelah pernyataan Namjoon yang tanpa basa basi namun pasti itu, Boram hanya bisa tertawa melihat betapa menggemaskannya Namjoon saat pemuda itu menggenggam tangannya. Hal yang seharusnya romantis, malah Boram ubah menjadi hal santai biasa. Well, itu bakat Boram. Boram bahkan sempat berkata, “Kau terlihat seperti kura-kura kalau lagi serius, Joon.”

Malam itu juga, nampaknya Namjoon tak puas setelah menggerilya hati Boram di Namsan Tower. Namjoon turut mengantar Boram pulang. Tidak, tidak hanya mengantar. Rasanya baru saja beberapa bulan lalu Boram merasa dirinya adalah sampah yang bahkan tak tahu apa yang harus ia syukuri di dalam kehidupannya. Bersyukur karena ia masih hidup? Tidak. Siapa yang dengan mudah bersyukur atas kehidupan yang sepi, keluarga yang berantakan, keadaan finansial yang sangat buruk, dan tuntutan sana sini yang membuat Boram berpikir bahwa kapan saja ia dapat mengakhiri hidupnya.

Boram tak tahu pasti. Apakah Namjoon benar-benar menyembuhkan, atau pria itu hanya sebuah pengalihan.

Malam itu tidak. Semua fakta dan realita pahit yang masih terasa dalam hidup Boram ia buang jauh-jauh. Baru kali ini—mungkin, ia merasa bersyukur bahwa ia adalah gadis yang dicintai oleh seorang laki-laki hebat dengan nama Kim Namjoon itu. Malam itu, Namjoon turut masuk ke rumah untuk mengucapkan salam untuk Appa dan untuk pertama kalinya, di depan Boram, Namjoon dengan tegas berkata,

“Terimakasih Tuan, karena Tuan sudah melahirkan seorang putri yang luar biasa.”

Sulit untuk mendeskripsikan perasaan Boram saat ini. Kau tentu tahu fakta bahwa rasanya dunia akan lebih berwarna jika kau jatuh cinta, bukan? Sesederhana itu sebenarnya, tapi Boram tak dapat menjelaskannya secara detail tentang perasaannya ini. Entahlah, mungkin kau harus merasakan dicintai oleh Namjoon dulu, baru kau dapat merasakannya.

Pagi itu, hari Senin pertama setelah kejadian di Namsan Tower. Oh, dan jangan lupa pagi pertama setelah Boram menggantikan shift malam Jimin kemarin karena pemuda itu terserang flu berat. Bagaimana tidak? Mengendarai motor hanya dengan hoodie super tipis di jam sebelas malam, membelah jalanan Seoul yang penuh dengan angin musim gugur? Pria bermarga Park itu tentu punya cara keren untuk membunuh dirinya secara perlahan.

Mata Boram memang memohon dengan sangat untuk terkatup lagi, namun langkah kaki Boram terus mengantarnya ke lapangan hijau sekolah sebelum memasuki koridor lantai satu.

Harus sekolah, sudah kelas tiga, pikirnya.

Entahlah, mungkin ia sedang berbohong kepada dirinya sendiri sekarang. Mungkin kata yang lebih tepat adalah, “Harus sekolah, ingin bertemu Namjoon.”

Ya, itu terdengar lebih tepat. Dan menyenangkan.

Good morning, sleepyhead.” Dari belakang Boram yang masih menyusuri koridor lantai satu—tempat di mana semua anak tingkat pertama berada, suara lembut dengan aksen Amerika yang menggoda menyapa gendang telinga Boram.

“Oh? Aku baru tahu seorang turis dapat dengan mudah masuk ke sekolah swasta di Korea,” Boram menoleh, menatap Namjoon yang sekarang sudah menyamakan langkah dengannya. “Suaramu lebih seksi kalau bicara dengan bahasa inggris, Joon.” Boram terkekeh pelan, sembari menyapa beberapa juniornya yang sedari tadi sudah memusatkan atensi mereka ke Boram dan Namjoon.

“Kau ingin kita berbicara dengan bahasa inggris saja? Apa itu aman untuk kesehatan jiwamu?” Namjoon terkekeh, matanya tak terlepas satu kali pun dari manik Boram. Tak peduli dengan juniornya yang dari tadi menyapanya, ia hanya perlu fokus pada satu titik. Titiknya. Na Boram.

“Aku masih waras, Joon. Mendengar suara bassmu saja tak akan membuatku harus sakit jiwa. Lagipula jika memang mentalku selemah itu, tinggal rehabilitasi.” Boram tertawa kecil sembari terus menyusuri tiap anak tangga hingga mereka tiba di lantai tiga. Tidak ada kecanggungan di antara mereka setelah pengakuan Namjoon itu. Mereka berdua jelas tahu itu adalah hal kekanakkan jika harus bersikap canggung setelah sebuah pengakuan.

Panacea ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang