[007] Unelma

1.9K 314 32
                                    

“Kau mau ramyeon?” Boram mengeluarkan sebungkus ramyeon dari plastik belanjaannya, menawarkannya kepada Namjoon. Ia sudah tidak tahan dengan suara perutnya yang sudah menggelar konser orkestra itu. Ia butuh makan. Sangat.

“Kau tahu di mana masaknya?” Tanya Namjoon sembari membalikkan kursinya yang menghadap ke komputer besar ke arah Boram. Ah, benar juga. Boram tidak tahu apa-apa soal tempat ini, sudah seenaknya saja menawarkan makanan.

Tersadar bahwa ia tak mengerti apa-apa disini, ia hanya dapat menggeleng kikuk yang mendapat balasan tawa kecil dari Namjoon. “Ayo buat sama-sama,” kekeh Namjoon. Tangannya kemudian sibuk mengeluarkan salah satu ramyeonnya dan bergegas menuju pantry bersama Boram yang mengekorinya.

Kau bisa menyebutnya kekacauan. Kim Namjoon memang berbahaya. Pantry yang tadinya bersih dan sunyi seketika berubah menjadi medan perang antara Namjoon dan peralatan dapur. Padahal mereka berdua hanya memasak ramyeon. Bahkan Namjoon sempat hampir memotong jarinya sendiri saat ia memegang pisau hendak memotong sosis. Ia juga sempat menumpahkan air yang akan direbus untuk ramyeon. Sebenarnya ia tidaklah seceroboh itu. Entah apa yang membuatnya lebih ceroboh dari sebelumnya.

Jadi sekarang, yang memasak di dapur hanya Boram. Setelah merapikan genangan air yang dibuat Namjoon dan mengobati luka di tangan Namjoon, Boram menyuruh Namjoon untuk menunggu ramyeonnya jadi di studionya.

“Sudah siap!” Boram menghela napas, mendudukkan diri di lantai studio Namjoon. “Wah, sungguh terimakasih banyak,” ujar Namjoon yang tidak melepas pandangannya dari ramyeon mereka dan segera duduk di hadapan Boram. “Kau berhutang padaku,” kata Boram sambil menyuap ramyeonnya. Yang benar saja, membersihkan pantry tadi bukan hal yang mudah. Apalagi ditambah mengobati tangan Namjoon yang tadi sempat mengeluarkan banyak darah.

“Apa kau memang seceroboh ini?” Mulut Boram yang penuh dengan ramyeon itu sungguh menggemaskan jika ia berbicara. Seperti saat ini misalnya.

Pemandangan di depan Namjoon sekarang adalah wajah Boram yang merah dengan pipi yang menggembul, mata yang sedikit berair, hidung yang merah, dan bibir merah muda yang mencuat ke depan. Sulit sekali bagi Namjoon untuk menahan tangannya yang sudah gatal ingin mencubit pipi Boram.

“Apa kau memang se-menggemaskan ini?” Namjoon menjawab Boram dengan pertanyaan yang sukses membuat lawan bicaranya bungkam seribu bahasa. Namjoon hanya tertawa melihatnya. Mereka berdua tidak pernah canggung setelah salah satu dari mereka menggoda. Hanya terkadang, Boram yang suka mati kutu karena sikap Namjoon yang menurutnya—entahlah. Kau bisa bilang dia itu kelewat sempurna.

Mereka melewati beberapa menit hanya dengan suara mulut mereka yang sibuk memakan ramyeon dan desisan karena pedas sekaligus panasnya ramyeon mereka. Asap sudah tidak lagi mengepul, namun panasnya masih memberi sensasi terbakar di lidah. Sungguh, makanan yang tepat dimakan pada cuaca dan saat seperti ini. Makanan yang tepat juga untuk menghancurkan diet Boram.

“Kau ingin coba punyaku?” Boram menyodorkan ramyeonnya kepada Namjoon yang hampir menghabisi makanannya. Siapa tahu, Namjoon ingin membantunya makan sehingga dietnya tak terlalu gagal.

“Aku tak bisa makan udang.” Namjoon melongo dengan polos ke arah Boram. Ah, Boram baru tahu itu. Sayang sekali, pikirnya. Udang adalah makanan yang masuk ke dalam list jajaran makanan favorit Boram. Tentunya setelah sushi dan hamburger.

Boram lantas menggelengkan kepala sembari menarik kembali ramyeonnya untuk ia makan lagi. “Sayang sekali, kau tak bisa menikmati makanan seenak ini,” lanjut Boram. Matanya sudah kembali fokus ke ramyeon yang sudah setengah habis itu. “Kau kurang beruntung, Joon.”

Mendengar hal itu, Namjoon sukses terkekeh. Menurutnya, keberuntungannya tidak didasari oleh bisa makan seekor hewan dengan tubuh melengkung dengan filum artropoda itu atau tidak. Keberuntungannya jauh lebih berarti dari itu. “Kau tak bisa mengukur keberuntunganku hanya dari bisa memakan udang atau tidak, Boram.” Namjoon terkekeh manis, lalu mendongakkan kepalanya untuk melihat Boram dalam-dalam. Ia tak melepaskan pandangannya dari Boram yang baru saja menyeruput kuah ramyeonnya dan balas menatapnya dengan pandangan terheran.

Panacea ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang