[009] Lagniappe

1.7K 332 22
                                    

Malam beberapa hari lalu itu adalah malam yang aneh. Baik untuk Boram maupun Appa. Untuk Namjoon? Malam itu justru adalah malam yang membuat segala sesuatunya jelas dan indah. Boram yang tertidur di rooftop namun bangun di kamarnya dan Appa yang baru saja menerima pengakuan bahwa seorang laki-laki telah jatuh cinta pada anaknya.

Sementara Namjoon? Hanya bulan dan angin malam itu yang tahu detak jantungnya melompat kegirangan. Seakan mengkonfirmasi perasaan Namjoon terhadap Boram, sang bulan hanya menjadi orang ketiga di antara mereka berdua. Ia sekarang tahu di mana hatinya berada. Sangat jelas.

Hatinya berada di perempuan yang sedang makan di hadapannya ini.

Apakah ia dapat menyebutnya makanan? Maksudnya, hanya sepotong ubi manis kecil, beberapa potong brokoli, dan susu protein? Setidaknya, Boram menyebutnya sebagai makan siang yang mengenyangkan. Sementara dalam piring Namjoon sekarang sudah ada banyak makanan kafetaria yang siap ia lahap.

“Kau cukup hanya makan sebanyak itu?” Namjoon menatap ragu. “Aku biasa makan hanya sebanyak ini. Tenang saja, Joon.” Boram masih mengunyah ubi manisnya. “Lagipula aku harus membayar dietku yang gagal beberapa minggu lalu saat makan ramyeon udang di studiomu.”

Namjoon hanya tertawa mendengar pernyataan lucu itu. Sebegitu perhitungannya kah gadis ini? Sungguh, padahal Namjoon tak menemui ada kekurangan dalam diri Boram. Entah karena ia sudah jatuh cinta, atau memang begitulah keadaannya. Boram tidak gemuk sama sekali, tapi kenapa masih harus diet? Namjoon tahu perempuan sangat terobsesi dengan tubuh ideal, ia tak ingin membatasi Boram juga dengan perdietannya. Semua orang punya hak.

“Aku hanya tak mau kau sakit. Jadi jika kau diet, pastikan kau tetap makan barang sedikit apapun. Mengerti?” Namjoon mulai melahap makanannya. “Aku mengerti, Appa.” Boram tertawa. Ini kali pertamanya ada orang yang mendukung dietnya.

Tunggu.

Apa itu berarti Namjoon juga menganggapnya gemuk?

Oh, tidak.

“Lagipula, kurasa kau tidak gemuk. Tubuhmu baik-baik saja.”

Phew. Hembusan kecil keluar dari mulut Boram setelah mendengar Namjoon mengatakan hal itu. Gila, kenapa Namjoon jadi mendadak tahu tentang pikirannya?

“Tapi kenapa kau malah mengiyakan soal program dietku?” Boram menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk memotong ubi manis.

“Memangnya aku siapamu sampai boleh melarangmu diet?” Balas Namjoon spontan.

Kelewat logis. Semua yang Namjoon katakan sangat logis. Tapi sebenarnya, Boram juga bingung, siapa Namjoon untuknya? Meskipun sejujurnya ia berusaha keras untuk menganggap Namjoon adalah teman baiknya di samping Hoseok.

“Kau temanku,” celetuk Boram.

“Jadi jika aku pacarmu, apa kau akan mendengarkanku untuk menghentikan dietmu?” Tanya Namjoon lagi.

Pemuda itu tertawa. Ia yakin, jawabannya pasti tidak. Sebulan lebih mengenal gadis ini, ia tahu bahwa Boram adalah orang yang persisten.

“Setidaknya bisa kupertimbangkan jika memang kau pacarku.” Boram kembali melahap ubi manisnya.

“Kalau begitu ayo pacaran.”

Hening.

Tak!

“Kau sudah gila, ya?!” Boram memukul kepala Namjoon dengan garpunya dengan mata yang benar-benar membelalak, rasanya kedua bola matanya bisa jatuh menggelinding kapan saja. Beberapa murid yang duduk di dekat mereka menoleh kaget karena suara Boram yang lumayan kelas di tengah riuh rendah kafetaria. Ia tidak habis pikir dengan perkataan Namjoon tadi.

Panacea ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang