Sejauh apapun Boram melangkah, pada akhirnya ia akan hanya terbaring di sini. Di tempat yang seakan sudah menjadi hak miliknya di sekolah ini. Ia tengah menunggu Namjoon untuk pergi bersama menuju tempat kerjanya nanti. Mau bagaimanapun, ia telah merasa memiliki tanggung jawab di kedai itu, sehingga ia tak memutuskan untuk keluar dari sana. Lagipula, ada Yeeun dan Jimin yang sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri.
Akhir-akhir ini Namjoon benar-benar memperhatikannya. Gadis itu selalu berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini adalah cara Namjoon mencintainya. Meskipun memang terkadang pemuda itu terlihat berlebihan, tapi apa yang Namjoon lakukan masih dalam batas yang wajar dan hanya untuk kebaikan Boram.
Dersik yang menyapu wajah Boram dan aroma khas rumput segar yang tengah ia duduki membawa mata gadis itu untuk tertutup, mengosongkan pikiran sesaat. Namun di sana ia masih tersadar sepenuhnya. Hanya saja ia butuh waktu untuk tidak melihat dunia. Sebelum ia siap untuk menunjukkan dirinya yang sebenarnya pada dunia, mungkin tak ada salahnya ia menolak melihat dunia dulu sekarang. Itu terlalu menakutkan.
Omong-omong, mau tahu seberapa pentingnya kehadiran Namjoon dalam kehidupan Boram? Sebelum pemuda itu datang, Boram tak pernah tahu bahwa ia begitu membutuhkan seorang Kim Namjoon. Tidak sebelum pria itu datang dengan dasinya di awal semester dan mengubah cara pandangnya terhadap dunia yang masih begitu keji ini. Seakan Namjoon lebih meyakinkan Boram bahwa hidup memang benar-benar keji dan sama sekali bukan pilihan yang menjamin kebahagiaan, namun karena pemuda itu berada dengannya, Namjoon hanya ingin Boram tahu bahwa gadis itu dapat bertahan dalam hidupnya.
Sekarang, bak pecandu, Boram rasa ia telah bergantung pada pemuda itu—meskipun tak sepenuhnya. Ia juga harus independen, bukan?
Namjoon selalu berhasil membuatnya merasa bahwa ia dapat menjalani kehidupannya—dan memang benar seperti itu faktanya. Ia terus bernafas sampai sekarang, bukan? Ketakutan untuk dapat hidup atau tidak di hari esok perlahan sirna, diganti dengan harapan bahwa esok akan jauh lebih indah dari hari ini, karena mereka menjalaninya bersama.
Namjoon benar-benar mengubah cara pandangnya akan dunia.
Tetapi begitu pemuda itu tak bersamanya, rasanya ia masih terus belajar untuk menyingkirkan ketakutannya. Jelas sangat mirip jika kau ibaratkan dengan malam tanpa cahaya bulan maupun cahaya dari gedung pencakar langit. Begitu gelap tanpa arah, kosong. Seperti sekarang ini, misalnya.
Gadis itu telah mengambil peralatan panahan seperti biasanya. Hanya panahan yang dapat mengalihkan dirinya dari masalah hidup. Well, ralat.
Namjoon, Hoseok, dan panahan.
Hari ini Boram benar-benar membabat habis poin tanpa membayangkan wajah siapapun di papan itu. Semua murni karena kemampuannya yang tak perlu diragukan.
Apa ini efek hari pertama yang ia dan Namjoon bicarakan tadi?
Tidak, tidak! Astaga sadarkan dirimu, Na Boram!
Sial, pikirannya terus bermuara pada Namjoon. Gadis itu juga tak mengerti kenapa Namjoon bisa tiba-tiba muncul di dalam pikirannya saat membuka mata, saat ingin menyuap makan siang, saat berkaca, menggosok gigi, saat hendak memejamkan mata. Kadang Boram rasa ia juga telah gila karena kepalanya dipenuhi oleh nama itu.
Ia menggeleng cepat, seakan menghapus sebentar banyangan Namjoon pada pikirannya dan kembali fokus pada anak panah yang sebentar lagi ia luncurkan ke papan.
Seluruh konsentrasi dan fokusnya kini ia taruh pada ujung anak panah dan papan. Ya, melihat ujung anak panah yang berkilau disinari matahari itu. Begitu tajam dan mengkilat. Indah. Rasanya mungkin akan sakit bila kena pada kulitnya.
Sekali lagi, tunggu.
Boram kembali berpikir, menyadari bahwa sakit yang selama ini ia tanggung pasti jauh lebih sakit dibanding dengan sakit yang disebabkan oleh anak panah itu jika memang ujungnya tertancap pada kulitnya. Karena ia tak pernah tahu kapan rasa sakit di hatinya itu akan hilang. Mungkin saja tak akan pernah. Tapi jika luka fisik dari anak panah saja, ia dapat berobat ke rumah sakit dan sembuh setelah mendapat perawatan medis. Mudah, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Panacea ✓
Fanfiction[SUDAH DITERBITKAN] Panacea - A Kim Namjoon Fan Fiction Berawal dari cambukan tak kasat mata yang ditorehkan pada punggung, Na Boram, gadis delapan belas tahun itu, tak punya banyak pilihan selain terus bersandiwara menjadi manusia sempurna, atau me...