[017] Querencia

1.1K 217 19
                                    

Hari ini adalah hari pembakaran jenazah Eomma. Acara dimulai dari pukul enam pagi tadi. Banyak keluarga Eomma dan kerabat yang turut hadir, memenuhi ruangan dengan pakaian bernuansa hitam. Begitu juga dengan Boram. Wajah gadis itu kian pucat kian hari, pipinya menirus, kantung matanya juga semakin gelap. Yang gadis itu lajukan hanyalah diam di ruangan tempat peti Eomma berada, membungkuk bila ada tamu, dan kembali terduduk dengan tatapan kosong.

Dua orang pemuda yang sangat dekat dengan Boram juga turut hadir dalam prosesi. Jung Hoseok dan Kim Namjoon. Mereka tak henti-hentinya merangkul Boram dari samping untuk menghentikan isak gadis itu.

Hoseok sendiri sebelumnya sempat menangis saat mengetahui bahwa ibunya Boram telah pergi. Ia belum menepati janji untuk menjenguk Eomma di rumah sakit. Belum, ia belum sempat memberikan senyum cerahnya untuk Eomma.

Sore ini langit sedikit mendung, namun tidak menandakan akan turun hujan. Ini masih musim gugur.

Kini abu Eomma sudah terpajang rapi di salah satu batu marmer besar di tengah rumput hijau tempat pemakaman. Batu marmer hitam yang mengkilat itu berdiri kokoh menampung beberapa kabin kecil tempat meletakkan abu. Kini keluarga dan kerabat sudah pulang, menyisakan Appa yang masih mengurus administrasi, dan ketiga remaja yang berdiri di depan kabin kecil Eomma.

Tak ada satu kata pun yang meluncur dari mulut mereka. Biarkan seperti ini suasananya. Ketiganya cukup merasakan kehilangan, bahkan Namjoon sekalipun.

Suara getaran ponsel Hoseok memecah keheningan dan menghambur setiap hal yang tengah singgah di pikiran mereka, menampilkan nama sang kakak di layarnya. “Boram, Namjoon, kurasa aku harus pergi sekarang. Kakakku membutuhkanku.” Hoseok menepuk pundak Boram yang berada di sebelah kanannya.

Boram mengangguk sembari tersenyum melihat senyuman di bibir Hoseok. Pemuda itu selalu tahu cara menularkan senyumannya. “Terimakasih, Hoseok. Sudah menjadi putra yang baik untuk Eomma dan sahabat yang baik untukku,” ucap Boram sembari memeluk pemuda itu.

Lidah Hoseok rasanya kelu hingga tak mampu membalas perkataan Boram. Itu terlalu menyakitkan. Ia bukanlah seorang putra yang baik untuk Eomma. Belum cukup rasanya. Bahkan, belum ada satu hal pun yang membuat ia pantas menyandang kata pantas itu. Yang pemuda itu lakukan hanya menghela nafas sebelum melanjutkan, “Aku tahu kau dapat melewati ini dengan baik. Aku percaya itu.” Keduanya melepaskan pelukan. Hoseok benar-benar haeus pergi sekarang, meninggalkan rasa tak enak karena ia tak dapat menemani Boram dalam masa sulitnya.

“Sampaikan salamku untuk Appa. Namjoon, aku titip Boram, ya,” ujar pemuda itu kemudian langsung berlari kecil menuju gerbang keluar.

Namjoon masih betah memperhatikan Boram. Sama seperti Hoseok, hanya dengan Boram yang diam sekalipun, itu terlalu menyakitkan untuk Namjoon lihat. “Dan pada akhirnya, hanya kau yang ada di sini.” Boram terkekeh melihat sekelilingnya yang hanya ada rumput dan seorang pemuda dengan kemeja putih dan balutan jas hitam. Kim Namjoon.

Sungguh sakit rasanya bila harus melihat bibir Boram yang terangkat keatas mengulas sebuah senyum yang tak berasal dari hatinya. Namun itulah fase yang harus Boram alami demi melanjutkan hidupnya. Kehilangan merupakan bagian dari hidup juga. Dan bagian menyakitkannya adalah, setiap manusia harus siap mengalami itu.

“Joon, aku lapar.” Boram meraba perutnya sembari tersenyum lemah ke arah Namjoon. Alasannya selalu tersenyum di tengah kehilangan ini adalah Kim Namjoon. Pemuda itu tak main-main saat ia berkata bahwa ia berada bersama Boram. Ia selalu memberikan yang terbaik dari dirinya selama ia masih punya waktu.

Namjoon mengangguk, menautkan jemarinya dengan jemari Boram dan menuntunnya menuju restoran udon yang tak jauh dari daerah pemakaman.

Suasana lebih diam dari sebelumnya. Namjoon tahu bukan saatnya ia mengomentari Boram agar gadis itu makan banyak karena pipinya yang tirus atau menggodanya dengan kata-kata manis. Ia menjadi merasa tidak berguna, menyadari bahwa ia terus terdiam tanpa menghibur Boram.

Panacea ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang