[004] Bonheur

2.3K 357 14
                                    

“Terimakasih untuk hari ini, Namjoon.”

Keduanya kini telah berdiri di depan rumah Boram. Rumah sederhana dengan pagar hitam dan tembok putih. Benar-benar khasnya Na Boram. Hitam dan putih, elegan, tanpa ada perabotan megah berlapis emas.

“Bukan apa-apa.” Namjoon tersenyum. “Kalau begitu, aku masuk dulu. Kau juga harus segera pulang,” Boram mulai melangkah mundur mendekati pagar rumahnya.

“Oh ya! Hampir saja lupa,” Boram mengulurkan tangan untuk mengambil sesuatu dari dalam tasnya sebelum ia mendekati Namjoon.

“Ini dasinya. Terimakasih.”

--

Jam masih terus berdetik menunjukkan hampir pukul setengah sebelas malam. Boram masih saja belum tidur. Hari ini Appa tidak minum dan ia sudah masuk ke kamarnya duluan. Begitu juga dengan Boram yang sudah membersihkan diri, mengganti pakaiannya dengan piyama bermotif kepitingnya. Matanya masih betah menatap langit-langit kamar yang sama sekali tidak menarik untuk dilihat. Cat putih, lampu, dan beberapa bintang glow in the dark.

Namun bukan itu yang membuat mata Boram masih menampilkan pupil gelapnya yang sebenarnya dapat ia gunakan untuk memikat hati siapa saja. Boram bukannya terkesan dengan desain langit-langitnya. Boram terkesan dengan Kim Namjoon. Laki-laki yang baru saja datang di dalam hidupnya.

Entahlah, sebut saja Boram sedikit berlebihan, tetapi inilah yang dirasakannya. Selama tiga tahun Boram hidup hanya dengan Appa yang makin hari kian pemurung dan kacau, tak jarang bau alkohol menemani ruang tamunya dan suara pecahan botol yang memenuhi udara. Setelah Eomma pergi meninggalkan mereka berdua, Boram merasa asing dengan kata ‘bahagia’.

Bila mendapati Boram tertawa dengan Hoseok, atau teman-teman klub panahannya, itu bukan kebahagiaan. Sama sekali bukan. Boram hanya bersyukur bahwa ia masih memiliki orang-orang ini. Bukan bahagia yang sesungguhnya. Ada luka yang masih berusaha ia tutupi dengan tawanya. Luka yang sama sekali tidak ingin ia buka lagi.

“Kim Namjoon...”

Tak sadar, sebuah senyum terlukis indah di bibir Boram. Senyum itu kembali. Ia jelas tahu, mana bahagia, dan mana usahanya untuk menutup luka itu. Dan kali ini, ia bahagia. Jika dilihat, memang apa yang membuatnya bahagia?

Pertama, ia tidak jadi dihukum oleh Guru Kim karena kelalaiannya tadi pagi yang hampir telat dan tidak memakai dasi. Kedua, meskipun tadi kondisinya tak karuan, Boram masih bisa pulang ke rumah. Ketiga, ia tak perlu membayar ongkos untuk pulang ke rumah hari ini. Keempat, ia tak mendapat pukulan dari Appa hari ini. Kelima,

Boram bertemu Kim Namjoon.

Tentu saja, karena Namjoon lah yang membuatnya bahagia hari ini. Jika bukan Namjoon yang meminjamkan dasinya, menemaninya pulang, dan membayarkan ongkos taksinya, Boram tak mungkin masih terjaga pada jam yang hampir mendekati tengah malam seperti ini. Namjoon adalah alasannya bahagia hari ini.

Dan bahagianya Boram memang sesederhana itu. Ia cukup tahu diri, Boram tak akan meminta banyak hal rumit untuk bahagia.

Boram bahagia, karena akhirnya ia dapat merasakan bahagia itu sendiri lagi.

Pukul dua belas. Boram baru saja mengatupkan kedua matanya. Bukan karena ia mengantuk, tetapi karena ia ingin mempercepat waktu. Tak sabar untuk membuka mata kembali esok hari, merasakan sisa-sisa bahagia itu lagi besok. Siapa tahu, ia bisa merasakan hal lainnya esok. Hal-hal yang ia absenkan selama beberapa tahun terakhir.

Boram tak butuh waktu lama setelah itu untuk terlelap dan berangkat menuju pulau kapuknya. Ia tidur benar-benar pulas tadi malam. Namun itu bukan suatu hal yang dapat membuatnya terlambat lagi hari ini. Ia tak ingin membuat harinya berantakan lagi. Tepat pada saat alarmnya berdering pada pukul enam pagi, sinar dari matahari begitu mendominasi mata Boram. Matanya yang berbinar terbuka, diikuti dengan senyum tipis dan gulatan kecil di atas kasur. Hari rabu, dua hari lagi dan ia akan dengan bebas dari minggu pertama sekolah.

Panacea ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang