Kau tahu bagaimana rasanya disakiti hingga hancur? Sama saja jika kau sedang membuat gerabah. Tanah liat yang mudah dibentuk oleh si pemahat mulanya hangat. Namun ia harus melalui proses pemahatan, pembakaran, dan banyak hal yang menyakitkan. Tanah yang tadinya hangat itu berubah menjadi keras. Ia memang indah, namun jika ujungnya seseorang memecahkannya hingga berkeping-keping, siapa yang ingin memungutnya kembali, merekatkan setiap pecahannya menjadi satu kembali, dan menggunakannya kembali?
Orang-orang akan segera menyapunya dan membuangnya.
Seperti itu rasanya Boram.
Yang dapat menyelamatkannya hanya dirinya sendiri. Bukan tidak percaya, namun memang itulah kenyataannya. Ia sendiri kehilangan siapa dirinya, lalu siapa yang tahu lagi tentangnya?
Yang orang-orang tahu tentang dirinya adalah Na Boram adalah seorang gadis yang dikenal di sekolah karena bakat panahannya, parasnya, kecerdasannya, hampir seluruh dari dirinya. Semuanya sempurna. Tepat seperti hidup gadis normal lainnya.
Sepanjang tujuh belas tahun Boram lewati dengan memori yang tak hanya terjejer dengan satu warna. Hidupnya memiliki tiap momen dengan warna berbeda. Mulai dari hitam, putih, bahkan bisa kau bilang magenta dan turquoise, Boram merasakan itu. Namun ada dua warna yang belum pernah ia jejerkan.
Merah muda dan hijau.
Orang-orang melambangkannya dengan cinta dan harapan.
Namun belum sampai kedua warna itu ia rasakan, ia harus kehilangan semua warna yang pernah ia jejerkan. Semua berubah menjadi abu-abu, tak ada yang dapat menebak pasti warna apa itu dulunya. Boram yang memutuskannya. Ia yang memutuskan memudarkan semua warnanya, menutup kemungkinan dunia untuk masuk dan menikmati keindahannya. Karena sesungguhnya keindahan itu sudah tidak ada lagi di dalam hati Boram.
“Aku membunuh mimpiku sendiri.”
Membunuh mimpinya berarti membunuh semua warnanya. Karena warna-warna itu adalah bagian dari mimpi Boram.
“Aku tak peduli entah mimpi itu sudah mati atau belum. Masih bolehkah aku tahu?”
Suara bass Namjoon menyapu lembut telinga Boram yang tertiup pendingin ruangan dari tadi, mengirim sejuta sensasi hangat dalam dirinya. “Jurnalis.” Boram menjawab dengan lemah sebelum ia mendengus.
“Tapi untuk sekarang, jika aku memaksakan mimpi itu tetap hidup, maka hanya dengan masih bisa hidup besok dan hidup dengan hari yang lebih baik, maka itu adalah mimpi terbesarku.” Lanjut gadis itu sembari tersenyum lemah.
Namjoon tersenyum mendengarnya. Kau tak perlu memikirkan hal-hal besar yang menjadikanmu seseorang yang keren untuk kau sebut sebagai mimpi. Bahkan hanya dengan berharap kau dapat nilai bagus, itu sudah menjadi mimpimu.
Sungguh, di dalam hati Namjoon, banyak sekali pertanyaan tentang Boram yang belum ia tanyakan sekarang. Mengapa Boram membunuh mimpinya, mengapa Boram berharap dengan besar agar besok ia masih dapat hidup, dan sebenarnya apa yang gadis ini telah lalui.
Namjoon bukan tipe laki-laki yang ingin mencampuri urusan orang lain. Namun Na Boram bukanlah orang lain baginya. Ia sadar akan hal itu semenjak mata mereka memandang ke arah bulan purnama dari dalam bis. Ia tahu persis detak jantungnya saat itu berdetak untuk gadis itu.
“Bagaimana jika aku bisa membangkitkan mimpimu?” Namjoon tersenyum jenaka, sembari terkekeh kecil bercanda. “Apa itu tantangan?” Boram tak benar-benar menyadari bahwa apa yang baru saja Namjoon katakan, adalah hal yang menjadi janji dalam hidup Namjoon sejak saat itu. Saat ia melontarkan pertanyaan itu, Namjoon sebenarnya tidak butuh jawaban. Karena apapun jawabannya, ia ingin membuat Boram bermimpi lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panacea ✓
Fanfiction[SUDAH DITERBITKAN] Panacea - A Kim Namjoon Fan Fiction Berawal dari cambukan tak kasat mata yang ditorehkan pada punggung, Na Boram, gadis delapan belas tahun itu, tak punya banyak pilihan selain terus bersandiwara menjadi manusia sempurna, atau me...