[006] Paradise

2.1K 363 32
                                    

Detik jarum jam, senyuman, dan langkah kaki. Ketiganya merupakan teman sehari-hari Boram. Sudah dua minggu bahkan lebih ia menghabiskan waktunya untuk belajar, bekerja, dan berlatih panahan. Itu memang rutinitasnya.

Namun rutinitas yang ini berbeda. Hal-hal yang biasa ia lakukan ini terasa baru sekarang. Tak perlu pertanyaan atau embel-embel lagi, tentu saja jawabannya karena Namjoon.

Entah ini perasaan Boram saja, atau memang seperti itu faktanya. Rasanya perasaan bahagia yang Boram rasakan ketika tempo hari harus berjalan ditengah hujan bersama Namjoon masih tersisa sampai sekarang. Laki-laki itu benar-benar membuatnya bahagia, namun bukan bahagia yang sementara.

Bukan berarti segala kepahitan dalam hidup Boram menghilang seperti debu tertiup angin saja—bukan. Namjoon bukan manusia dengan kekuatan magis yang dapat mengubah hidup Boram yang penuh dengan naik turun ini menjadi hidup yang sempurna bak hidup putri kerajaan.

Buktinya beberapa hari lalu, Boram lagi-lagi harus memakai jaket sekolah untuk menutupi luka di tubuhnya akibat Appa yang mabuk lagi karena proyeknya gagal. Namun rasanya setiap kali ia mengingat bahwa ada Namjoon yang selalu membuatnya tersenyum, ia dapat melupakan luka-luka di sekujur tubuhnya itu.

Hari Sabtu pada minggu keempat bulan September akhirnya datang. Hari Sabtu di akhir bulan adalah hari yang paling disukai Boram. Biasanya Appa akan pulang lebih malam sehingga Boram juga bisa bepergian lebih leluasa dari biasanya. Bahkan Appa tak jarang akan mengabari Boram bahwa ia menginap di kantor dan akan pulang esok harinya.

Namun sepertinya kali ini merupakan awal yang buruk bagi harinya.

“Yang benar saja,”

Kosong. Rak makanan di dapur kosong melompong, menyisakan beberapa butir telur, bumbu gochujang, kimchi, dan kopi pahit milik Appa.

Perut Boram rasanya sudah mengaum-aum meminta makan setelah tadi menguras tenaga untuk membersihkan rumah dan menyuci pakaian. Ia baru saja membayangkan pada saat mandi betapa lezatnya makan ramyeon udang panas dan sekaleng soda diet setelah ini.

Ia tak bisa menahannya lagi. Segera ia mengganti bajunya menjadi baju hitam lengan panjang dan celana jeans hitam juga—nuansa kesukaannya. Boram memang lebih menyukai warna hitam ketimbang warna lainnya. Jangan lupakan fakta bahwa ia harus menutup lukanya juga dengan baju lengan panjang itu.

Boram bergegas menyambar tas kecilnya dan berjalan keluar rumah menuju supermarket. Untungnya, supermarket tidak terlalu jauh dari rumahnya sehingga jalan kaki pun tak akan menjadi masalah untuknya. Ingat diet, pikirnya. Sebelum mengisi perut dengan lima ratus dua puluh kalori dari ramyeon udang dan seratus tujuh pulub kalori dari soda diet, setidaknya ia harus membakar sekitar tujuh ratus kalori dulu. Begitulah kalkulasinya. Terlalu niat memang.

Angin musim panas yang sebentar lagi beralih ke musim gugur memang menyejukkan. Boram masih bisa merasakan panas matahari dan aroma angin musim gugur yang menenangkan. Bunyi renyah dari daun kering terdengar manis selama kaki Boram melangkah menuju supermarket.

Tak perlu berlama-lama, cukup dengan berjalan kaki lima belas menit, kini Boram sudah mendapati dirinya berada di supermarket dengan satu keranjang belanja yang baru terisi oleh dua botol susu pisang.

Bak karyawan supermarket, Boram tahu betul letak-letak makanan yang akan ia beli. Ia terlalu sering pergi ke sini. Dengan cepat, tiga buah ramyeon udang, satu kaleng soda diet, dan satu pak biskuit gandum sudah tertata rapi di keranjang belanjanya. Ia berniat untuk membelikan Appanya makanan juga untuk nanti malam, jadi ia sengaja membeli tiga buah ramyeon.

Merasa sudah cukup dengan belanjanya, Boram bergegas ke kasir untuk membayarnya, lalu pulang dan menikmati makanannya.

Namun tak secepat itu. Boram masih berada di lorong mie instan, ketika mendengar suara barang-barang jatuh dari arah belakang. Tahu apa yang membuat Boram menengok ke belakang?

Panacea ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang