[016] Latibule

1.2K 218 32
                                    

Hari itu Namjoon tidak kembali ke kedai pukul sembilan malam. Setelah mereka berpisah di perempatan jalan, pemuda itu bergegas ke rumah untuk mandi, makan, dan membawa beberapa buku pelajaran, lalu kembali melesat dengan motornya ke kedai Boram. Setelah tadi Boram berbicara tentang Park Jimin—si barista itu, rasanya untuk hari ini saja ia ingin menemani Boram bekerja.

Well, hanya untuk secara tidak langsung memberitahu Jimin, bahwa tak usah repot-repot mengantar Boram pulang, karena ada dirinya.

Alasan mengapa ia tak menggunakan motornya untuk sekolah sangat sederhana. Pertama, ia sayang motornya. Kedua, harus hemat bensin. Ketiga, tidak ingin memperburuk pemanasan global. Tipikal jawaban anak sekolah dasar, namun itulah yang seharusnya dilakukan orang-orang.

Jadi jam enam lewat sedikit, presensinya sudah nampak di ambang pintu kedai yang disertai dentingan kecil bel masuk. “Selamat datang! Ada yang bisa sa—”

“Joon?”

“Ini karena kau sudah bekerja dalam kondisi yang kurang sehat.” Namjoon memasang senyum miringnya kemudian melanjutkan, “Apa menu yang paling kau suka di sini?”

“Menu rekomendasi di sini—”

“Apa menu yang paling kau suka di sini?”

Oke. Tenanglah, Boram. Ini tempat kerja. Cukup bertindak sebagai pelayan yang baik, beritahu menu yang paling kau suka, dan kau selesai.

“Hot Americano,” jawab gadis itu pelan.

“Oke, satu hot americano.” Namjoon menyodorkan sejumlah uang untuk dibayarkan. Ia sempat melihat ke arah belakang Boram di mana barista bekerja. Ah, jadi itu orangnya. Pemuda dengan kulit pucat dan rambut hitam legam yang disibak ke belakang. Namjoon tersenyum sedikit ketika menemui satu fakta di mana ia menang ketimbang barista itu.

Dia pendek.

Tenanglah, Kim Namjoon. Kau menang di sana.

Setelah ia menerima kembaliannya, Namjoon mengambil posisi yang sama ketika ia terakhir ke sini, karena itu adalah posisi terbaik untuk melihat Boram bekerja. Ia mulai mengeluarkan bukunya dan mengerjakan tugas sembari menunggu jam Boram pulang kerja.

Satu materi. Dua materi.

Satu pelanggan. Dua pelanggan.

Keduanya merasa tugas yang dikerjakan maupun pekerjaan yang dilakukan terasa tak begitu berat ketika sebuah kenyataan terus berkutat di pikiran mereka. Ada satu sama lain di sana, jadi aku akan mengerjakan pekerjaanku dengan baik. Itulah yang ada di pikiran keduanya. Boram sedikit menghela nafas. Mungkin hari ini menjadi salah satu dari sekian banyak hari di mana ia akan melakukan pekerjaannya dengan lebih baik karena presensi seseorang.

Sisa hari ini pasti akan menjadi hari yang baik, pikirnya. Ia harus meyakinkan dirinya oleh fakta itu—karena itu menjadi salah satu alasan mengapa ia masih bertahan sampai sekarang.

Namun tak satupun yang memiliki masa depan selain Sang Pencipta, bukan? Kau tak bisa membayar untuk itu.

Pukul tujuh yang hampir mendekati pukul delapan, Yeeun keluar dari ruang karyawan dengan sedikit tergesa. Ia membawa sesuatu di tangan kanannya dan menyerahkannya saat ia berdiri di depan meja kasir.

“Ini ponselmu, dari tadi selalu berdering dengan nomor yang sama. Kupikir ini penting.” Yeeun menyerahkannya dengan pandangan cemas.

Tak biasanya gadis ini mendapat bombardir telepon seperti ini. Jimin yang tak sedang membuat kopi juga turut melirik ke arah Boram. “Angkat saja, selagi tak ada pelanggan.” Pemuda itu mengelap tangannya, bersiap menggantikan Boram menjadi kasir sementara gadis itu keluar mengangkat telepon.

Panacea ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang