“Kau tidak pulang, Joon?” Boram berhenti untuk berbicara kepada Namjoon di depan kedai tempat kerjanya. Pemuda ini masih saja betah berdiri di hadapannya dengan senyum yang terpatri indah di bibirnya dan dua lesung pipi yang tak kalah manis. “Aku mau menunggumu sampai pulang.” Namjoon sama sekali tak melepas senyumnya.
Menunggu Boram? Itu akan memakan waktu 4 jam yang dapat Namjoon untuk belajar!
“Pulanglah, nanti kau tak sempat belajar.” Kata Boram sembari memutar tubuh Namjoon untuk mendorongnya perlahan agar pemuda itu pulang. Meskipun di dalam hati, sebenarnya besar harapan Boram agar Namjoon tinggal sebentar saja.
“Aku sudah bawa buku pelajaran kesini. Jadi aku akan belajar di sini.” Namjoon memutar tubuhnya lagi. Ah, ya. Boram hampir lupa. Namjoon memang tipe pria yang punya kemauan yang kuat. Selama keinginannya benar dan tidak disanggah, ia akan memperjuangkannya. Lagipula Boram tidak bisa selamanya berdiri dan berargumen dengan Namjoon terus-terusan karena celemek putih dan mesin kasir sudah menunggunya di dalam. Jangan lupa Yeeun dan Jimin juga.
Dan Namjoon memang benar-benar menunggu sampai Boram menyelesaikan pekerjaannya. Setiap tiga puluh menit sekali, Namjoon seakan mempunyai timer tersendiri untuk mengalihkan pandangannya dari buku pelajaran menuju meja kasir. Tentu saja bukan karena meja kasirnya, tapi karena gadis yang tadi memakai seragam yang sama dengannya, namun sekarang sudah berganti menjadi seragam kedai.
Rambut Boram yang digerai selama di sekolah sekarang terikat rapi dengan beberapa anak rambut di sampingnya. Namjoon suka itu—apalagi saat melihat Boram menguncirnya. Harus Namjoon akui, itu sangat seksi.
Oke, kesampingkan pemikiran itu.
Kali ini Namjoon hanya ingin menikmati pemandangan indah itu tanpa pikiran macam-macam. Namjoon lebih tertarik kepada sisi Boram yang sangat dewasa. Di umur yang muda itu, Boram sudah bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Namjoon memang belum tahu alasannya bekerja. Meskipun begitu, itu tak akan mengubah fakta bahwa Boram adalah perempuan yang independen. Dan zaman sekarang, siapa yang tidak mau memiliki pasangan yang seperti itu?
Sesekali Namjoon mendapati Boram yang menghela napas panjang, menyeka keringatnya berkali-kali, atau berusaha memasang senyum terbaiknya di depan pelanggan yang banyak komplain. Tangan Namjoon rasanya sudah sangat gatal ingin memeluk gadis itu dan menggantikannya bekerja. Biar ia saja yang lelah, jangan Boram. Namun Namjoon tahu Boram tak akan suka itu. Boram tidak suka berhutang budi pada siapapun. Jika memang ia memilih untuk bekerja, maka ia juga akan memilih dan menerima konsekuensinya sekaligus.
Namun rasanya Namjoon tak bisa menahan dirinya untuk tetap diam duduk di kursi dekat jendela ketika seorang pria berumur sekitar empat puluh tahun mulai berbicara panjang dengan Boram. Tubuhnya dicondongkan ke depan mendekati mesin kasir yang memisahkannya dengan Boram, dengan uang seratus ribu won yang ada di tangan kirinya.
“Jika kubayar lebih, kau tak harus memberiku kembalian. Cukup nomor teleponmu.” Ujar pria itu setengah berbisik. Bisikannya terdengar di telinga Namjoon, menghantar sejuta rasa panas di tubuh Namjoon yang sekarang sudah berdiri di belakang pria itu dengan mata yang memicing ke arah pria itu dan Boram secara bergantian.
“Maaf, Pak. Apa Anda tidak lihat, di belakang ada pelanggan yang ingin pesan juga? Bisa minggir sekarang?” Namjoon mengatakan itu dalam sekali jalan. Dingin dan tegas. Itu saja yang bisa kau rasakan dari kata-kata Namjoon barusan.
“Kau tak bisa lihat aku masih memesan?” Pria itu berbalik menatap Namjoon.
“Saya rasa nomor telepon perempuan itu bukanlah menu yang dijual di kedai ini. Lagipula, saya rasa Bapak sudah cukup dewasa untuk tahu cara memperlakukan wanita dengan benar.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Panacea ✓
Fanfiction[SUDAH DITERBITKAN] Panacea - A Kim Namjoon Fan Fiction Berawal dari cambukan tak kasat mata yang ditorehkan pada punggung, Na Boram, gadis delapan belas tahun itu, tak punya banyak pilihan selain terus bersandiwara menjadi manusia sempurna, atau me...