[011] Limerence

1.9K 315 27
                                    

Hari-hari itu berlalu. Seiring dengan daun-daun hijau yang disinari terik matahari berganti menjadi daun kering berwarna cokelat muda yang dapat terbang kapan saja di bawa alunan angin musim gugur, begitu juga langkah kaki Boram sekarang membawanya ke suatu tempat yang sudah lama tak ia kunjungi. Kesibukan, alasannya.

Hari ini hari Sabtu, dan tak ada yang lebih spesial dari hari ini. Pasalnya, hari ini, tepat delapan belas tahun silam, ia diberi suatu kesempatan untuk melihat dunia. Entah dengan cara apa ia memandang dunia saat ini, atau apakah kesempatan ini adalah kesempatan terbaik yang pernah ia dapatkan—ia belum yakin. Yang pasti, ia tak mau hari jadinya yang hanya setahun sekali ini diisi dengan hal-hal biasa yang membosankan. Mendekam di rumah sambil membaca novel atau belajar, misalnya.

Kenapa?

Well, selain karena hari ulang tahun adalah hari yang spesial untuk setiap orang, tentu ada alsan lain mengapa Boram tak pernah melewatkan hari ulang tahunnya dengan sia-sia.

Ia masih menyimpan suatu ruang khusus bagi kegelapan itu di dalam hatinya. Kegelapan itu tak akan menjadikannya seperti Na Boram yang sekarang jika ia hapus. Ia akan kehilangan sebagian dari dirinya. Namun, Boram sama sekali tak ingin menyentuh luka yang akan selalu basah itu, ia tak mau menerima resiko. Ia takut. Ia takut, bersama kegelapan itu, ia akan tenggelam ke dalamnya dan membuatnya tak akan pernah dapat merasakan hari ulang tahun lagi di tahun berikutnya.

Katakanlah ia beruntung, mempunyai Hoseok dan Namjoon. Tapi bagi Boram, tak akan mengubah fakta bahwa ia lebih mencintai Hoseok dan Namjoon ketimbang dirinya sendiri. Ia takut ia akan mengorbankan dirinya untuk Hoseok dan Namjoon.

Dulu, saat Appa dan Eomma masih bersama, ia akan pergi ke restoran steak di tengah kota untuk makan malam bertiga. Lalu pulangnya, sebelum tengah malam, ketiganya akan menyempatkan waktu membeli kue tiramisu dan duduk di tepi sungai Han untuk memotong kue dan mengucap harapan bersama—hanya bertiga.

Harapan Boram tak pernah muluk-muluk. Cukup ia dapat tersenyum setiap hari dengan tulus, dan ia tak mau kehidupannya berubah. Namun akan ada saatnya suatu harapan tak akan berjalan seperti yang kita inginkan—entahlah, itu rahasia ilahi. Jadi selama tiga tahun terakhir, yang Boram dapat lakukan hanyalah makan bersama Hoseok di restoran burger dekat kedai dan memakannya di taman dekat rumah Hoseok.

Untuk kedelapan belas kalinya ia menemukan kembali hari ini, Boram hanya punya satu keinginan. Mengulang itu semua. Ia ingin menghabiskannya bersama Appa dan Eomma, Hoseok, dan jika ia beruntung, ia ingin menutup hari ini dengan Namjoon.

Jadi ia mendapati dirinya pukul tujuh pagi, berbalut coat abu-abu dengan motif kotak-kotak dan sepatu ankle boots hitam pemberian Hoseok beberapa tahun lalu. Di tangan kirinya ada kantong plastik berisi sandwich wrap dan jus apel, sementara di tangan kanannya ada buket bunga Daylily yang indah dibungkus kertas coklat dan tulle putih.

Tidak, Boram tidak sendiri. Tepat dua langkah di samping gadis itu, seorang pria berbalut turtleneck hitam, coat hitam—semua serba hitam, kecuali jam tangan silvernya, berdiri kokoh dengan pandangan dingin dan kosong. Itu Appa.

Semenjak keduanya berpisah, Appa tak pernah sehangat dulu. Bagaikan melihat sisi lain dari Appa, Boram kecil terus-terusan meyakinkan dirinya bahwa Appa yang dulu akan segera kembali. Namun sampai sekarang, hasilnya nihil. Nampaknya memang hanya Boram yang harus merubah dirinya untuk menerima situasi bahwa ini bukan lagi Appa yang dulu.

Cinta memang bisa sekejam dan sejahat itu. Mengubah seseorang menjadi monster ganas dalam sepersekian detik.

Keduanya mengisi perjalanan dengan hening deru nafas yang saling beradu. Mulut mereka terkatup rapat, enggan untuk mengeluarkan satu kata pun yang dapat mencairkan setidaknya sedikit suasana dingin dan canggung itu. Jadi dengan segala keheningan yang terjadi di antara mereka, sekarang kedua pasang kaki itu sudah berada di depan pintu rumah sakit dengan tulisan 203 dan sebuah nama yang sempat mengukir hati keduanya.

Panacea ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang