RASA

67 3 2
                                    

Sekarang aku merasa bebas, bebas dari jeratan masa lalu. Berada disamping dia aku merasa seperti hidup kembali. Mungkinkah aku jatuh cinta? Atau aku hanya nyaman bisa di dekat Alitta. Semoga saja ini bukan perasaan yang semakin membodohiku. Sudah satu tahun lamannya setelah aku begitu terpukul dengan keputusan Ayahku yang memutuskan berpisah dengan ibuku. Saat itu memang aku belum bisa mengerti apa-apa, tapi sekarang perlahan aku mengerti maksud dari semuanya.

"Alitta, kamu tau? Aku seneng bisa kenal dengan orang baik seperti kamu." Aku tersenyum.
"Terimakasih, aku juga senang kok bisa jalan sama kamu Pras." Dia menatapku haru.
"Sama-sama Ta. oh iya abis ini kita langsung pulang atau gimana?"
"Nggak!!" Dia menjawab tegas.
"Kenapa? Emangnya kamu nggak dimarahin sama orang tua?"
"Nggak kok, aku mau ngajak kamu ke satu tempat lagi, yang aku yakin kamu bakalan suka."
"Okey deh!!"
"Tempat dimana kau bisa berteriak, menangis atau tertawa. Tinggal kamu yang memilih." Aku menatap dengan begitu tulus.
"Maksud kamu Ta?" Aku bertanya seolah tak mengerti apa-apa.
"Iya, kamu bisa ngakuin itu, menghapus semua yang menjadi benalu dibenakmu." Aku hanya terdiam dan memalingkan wajah darinya.

Aku tak menunda, Alitta langsung menarik dan memegang tanganku, menggiring ku ke tempat aku memarkir sepeda motor milikku. Ditengah jalan iya jelaskan aku kenapa iya suka dan tau semua tentangku. Dan dari waktu itu aku mengerti bahwa cinta yang tulus datang tanpa direncanakan. Iya, aku rasa dia tulus. Dia rela mencintai dengan diam, dia menahan dan dia mengungkap hanya lewat tatap. Sekarang aku tak tau harus melakukan apa untuk membalas kebaikannya, lebih-lebih dia mengungkapkan rasa yang ia miliki terhadapku. Ini sungguh berat, aku kaku terhadap waktu yang membelenggu ini. Apa iya aku bisa membuka hati? Haruskah aku mengingkari janji ku terhadap hati ini. Jika aku hiraukan perasaan yang datang, itu artinya aku secara tak sadar terus menyakiti orang yang memang benar-benar sayang. Tapi aku juga tidak tau cara membedakan mana sayang dan mana jatuh cinta. Sudahlah, mungkin ini hanya perasaan bahagia dan nyaman bersama Alitta.

Sepuluh menit berlalu..

"Masih jauh Ta?" Tanyaku bosan berkendara.
"Udah dekat kok, kamu capek?" Balasannya merayu.
"Iya nih, tangan aku pegel." Sambil melepas stang dan memegang tangan kananku.
"Aku ganti? Biar kamu tidur dibelakang." Serunya sambil ketawa jijik.
"Kamu nggak takut aku meluk dari belakang?" Tanyaku geli.
"Nggak. Aku bakalan teriak sekencang-kencangnnya dan minta tolong!!" Jawabnya sambil berbisik di telinga kananku.
"Minta tolong untuk apa. Emangnya aku maling apa?"
"Iya, kamu udah nyuri waktu dan perasaan aku." Dia tertawa kencang, sungguh itu pertama kali setelah sekian lama tak melihat perempuan sebahagia itu.

"Kau bodoh Ta, bisa bahagia sama orang sebego aku. Ta, jangan buat aku jatuh cinta dan menaruh harap terhadapmu, sebab aku tak ingin patah untuk kesekian kalinya. Tapi aku juga lama-lama nyaman karena kebaikanmu. Semoga hal ini tetap berjalan sebahagia ini". (Ungkapku dalam angan)

"Pras.. belok kanan masuk ke jalan setapak itu." Teriaknya kencang, memecah semua lamunan ku.
"Iya Ta. Itu, cafe yang disana?" Tanyaku sambil menunjuk ke salah satu cafe di tempat itu. Karena memang kawasan ini terkenal dengan cafenya, meski tempat ini jauh dari keramaian kota.
"Iya itu dah."

Dan akhirnya kami sampai setelah tangan ku seperti ditimpa beban berkilo-kilo. Alitta mempersilahkan ku masuk layaknya pelayan cafe.
"Silahkan mas, ada yang bisa kami bantu?"  Ucapnnya layaknya pelayan pada umumnya.
"Bantuin mijit mbak, tangan aku pegel. Hehehe!!" Balasku becanda kepadanya.
"Iihh dasar, aku kan lagi belajar jadi pelayan yang berbudi pekerti." Dia tertawa sambil menepuk bahu ku.
"Duduk Pras. Kamu mau pesen apa?
"Terserah kamu, aku ngikut aja."
"Kaaakkk, pesen yang biasa tapi satuannya nggak usah pake karamel, ada orang bego yang nggak suka makanan manis." Teriaknnya sambil menatapku mengejek. Sungguh perempuan ini membuat ku semakin penasaran, dari mana dia bisa tau kalau aku tidak suka hal manis. Untuk bertanya aku malas, entar malah dikira keGRan lagi.

Aku tak berbicara setelah minuman yang Alitta pesan datang. Aku hanya fokus memperhatikan sekitar, yang memang sangat menyenangkan. Alitta memilih tempat duduk dekat jendela katannya biar aku bisa merokok, padahal jendela itu tak bisa dibuka. Sampai akhirnya ia memecahkan fokusku.

"Kalau mau kesini lagi ajakin aku ya, tapi jangan sampai bolos ngampus lagi." Sruuttt..
"Iya, aku suka tempat ini, enak keknya buat duduk berdua." Ungkapku sambil berkedip terhadapnya.
"Kamu suka main gitar, kan? Sana main satu lagu, mumpung cafenya rame. Kali aja bisa mikat salah satu cewe disini." Serunya cemberut kepadaku.
"Nggak aah.. lagi nyoba buat sayang sama orang." Balasku jengkel.
"Iya udah, nikmati aja suasananya."

Selepas kopi ku habiskan, aku mengajak Alitta pulang, karena memang hari sudah gelap. Takutnya nanti orang tuannya marah. Lebih-lebih dia keluar sama cowok, bisa-bisa aku nikah sama dia. Ditengah perjalanan aku menikmati senja yang begitu indah, tak seindah biasanya. Apa karena aku mulai terbiasa dan nyaman dengan Alitta? Mungkin saja. Alitta juga kelihatannya bahagia bisa menghabiskan hari bersamaku, dan jujur aku juga bahagia. Aku juga heran kenapa ia tak risau pulang di waktu gelap, malah aku yang lebih risau. Mungkin saja nanti orang tuanya galak, lalu marah-marah kepadaku. Sungguh aku makin cemas dengan hal itu.

BERLALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang