HARI PERTAMA

114 4 2
                                    

"Namaku PRASETIA, aku lulusan SMA PERMATA, aku lahir 19 tahun silam."

Hari yang paling aku benci dan membosankan sedunia, dimana kamu harus berbicara tentang dirimu sendiri di depan orang-orang asing yang nampak tak berdosa ini. Hari pertama masuk di perguruan tinggi membuat aku semakin tak bisa menemukan ketenangan jiwa, karena ku tau setelah ini akan ada hari-hari berat. Mungkin iya, sebagian orang senang dengan hal ini, bisa mengenal orang baru, menambah teman dan parahnya ada segelintir orang bodoh lagi busuk yang berancang-ancang untuk menemukan tambatan hati; untuk jadi yang keberikutnnya. Sungguh, hari pertama adalah hari yang membosankan, aku juga senang punya teman banyak, bahagia bisa mengenal satu sama lain. Tapi, aku tak begitu suka dengan perkenalan yang tiba-tiba. Aku butuh proses penyesuaian, lagi pula aku bukan tipe orang yang suka memamerkan diri.

Beranjak pergi dari semua hal yang jujur untuk saat ini memang berat untuk ku lepas. Bukan tak merelakan, aku hanya belum siap untuk terluka, ini terlalu cepat dan tak adil bagiku. Di saat aku sedang bahagia bisa memilikimu, malah luka yang kau berikan. Apa aku salah dalam mencintaimu? Aku rasa memang cara ku yang tak benar, tapi apa iya kau harus pergi dengan alasan yang tak masuk akal bagiku. Apa harus jarak menjadi alasan kita mengakhiri semua hal indah yang kita bangun bersama, jika bisa jarak aku bunuh saat itu juga akan aku hapus kata jarak dalam dunia ini. Aku hanya ingin kau tetap ada, bukan selalu bersama. Aku tau kau juga ingin fokus terhadap masa depanmu. Tapi kamu tak sadar, aku juga sedang berusaha fokus untuk membangun masa depan yang bahagia untukmu. Kehilangan kali ini membuat ku mati rasa terhadap apa yang datang menghampiri, bahkan aku tak bisa membedakan kau yang dulu dan yang sekarang; jauh, begitu berbeda.

Berlalu..

"Untuk apa kau meminta untuk tetap bersamaku?" Ini ujian lisan terberat sepanjang hidupku, sungguh. Aku di hantam bertubi-tubi dengan pertanyaan yang harus aku jawab jujur, bukan benar. "Aku memilikimu, aku bahagia. Aku bersamamu, aku bahagia. Aku mencintaimu, aku bahagia. Dan sekarang apa kau tak bisa melihat kebahagiaan diwajahku, padahal kita berdampingan?" Mungkin benar, ada sesuatu yang ia sedang rencanakan, yang menurut ku itu harus mengorbankan sesuatu hal yang penting baginnya. "Aku butuh jawaban, bukan puisi" (tatapan tajam). Aku menghendus nafas, "Aku bahagia, iya, itu jawabannya." Aku tersenyum kaku terhadapnya, dan dia meneruskan senyuman tersebut dengan senyum manisnya. Aku bisa menebak, bahwa dia juga merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Dan aku juga pastikan dia juga tak ingin kehilangan aku.

Perut ku berbunyi, bertanda waktu pulang sudah di depan mata. Dan benar, akhirnya masa yang aku tunggu sudah tiba. Di depan ruang kelas aku duduk disebuah bangku panjang, melihat sekeliling yang ramai dengan para pengajar masa depan. Wajar saja, ini sudah jam makan siang. Terlalu ramai untuk ku pulang, lebih baik aku duduk dan menahan lapar. Aku ingat, ada sepotong roti di dalam tasku. Ku ambil roti tersebut dan tiba-tiba ada sosok yang aku rasa semakin dekat dan mengarah kepadaku. Dan benar, dia berdiri tepat didepan ku.
"Boleh aku duduk?" Aku menatapnya dingin.
"Silahkan saja,"  jawabku.
"Apa kamu anak kelas ini?"
"Iya, benar. Kenapa?"
"Kau belum sarapan?"
"Emangnya kenapa?"
"Kelihatan dari cara kamu makan roti nya." Dia tersenyum mengejek.
"Iya, aku belum sarapan,jawabku dingin lagi.
"Bisa nggak kalau ngomong ngadepnnya kesini, aku nggak makan orang kok, nggak usah takut." Dia berbicara agak keras dan lantang dari sebelumnya.
"Ooh, maaf nggak enak duduk berdua dan dilihat banyak orang, aku tidak biasa dengan hal ini." Aku kembali menghadap sekelilingku, bukan menghadap kepada dia yang semakin jengkel.
"Heee.. Iya nggak apa-apa kok. Maaf juga aku make nada tinggi tadi. Oh iya, aku ada bekal, kamu mau?" Dengan penuh ikhlas dia memberikan sekotak nasi, yang menurutku itu sangat kekanakan  untuk seumuran anak kuliah,  tapi ya begitulah setiap orang berbeda cara untuk mengatur diri.
"Makasih, tapi aku makan dirumah saja. Sayang mama udah capek-capek masak. Iya udah, aku duluan ya, bye." Aku langsung bergegas pergi dari lorong kelas, dan menghilang dari tatapannya. Aneh saja, ada orang baru yang tiba-tiba datang dang dengan akrabnya memberiku makanannya. Bukannya tidak mau, tapi sudahlah, dia juga mungkin sedang lapar.

BERLALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang