Setelah menjadi omega, banyak hal yang membuat Jihoon terkagum. Salah satunya adalah ia dapat membedakan alpha dan omega dari baunya. Begitu pula dengan level mereka, lebih menyengat maka lebih tinggi levelnya. Namun hal itu juga membuatnya khawatir, jika ia bisa membedakan seseorang dengan baunya, tidak mustahil orang lain pun dapat mencium baunya.
Hal yang menakutkan itu terus menghantui Jihoon akhir-akhir ini. Ditambah tidak ada Wonwoo yang menjadi tempat berkeluh kesahnya, membuat Jihoon makin menutup diri. Bicara soal Wonwoo, dua minggu ini ia tak terlihat. Nomornya tidak aktif, teman sekamarnya pun tak tahu kabar laki-laki itu. Jihoon menghela napas, sepertinya ucapan Wonwoo tempo hari benar dilakukannya.
Lari, menghilang, ajakan semacam itu Wonwoo katakan dengan wajah yang putus asa. Jihoon tak bisa melupakan tawa laki-laki itu yang seakan merendahkan dirinya begitu ia berkata ‘tidak’. Tawa yang terdengar pilu itu membawa Jihoon pada mimpi-mimpi buruk, begitu pula dengan pesan terakhir Wonwoo.
Kau tidak tahu rasanya menjadi aku, Hoon. Aku tak menyangka kau menolak ajakanku begitu cepat. Haaha, ya, karena kau tidak mengalaminya. Bagaimana ketika kau ditekan, diperlakukan layaknya bongkahan manekin. Teriakanmu tak didengar, penolakanmu tak dihiraukan, yang dilakukan laki-laki itu hanya menuruti insting binatangnya. Dan rasanya, sakit dan sesak. Haha. Hahaha. Apa kau tidak sedikitpun merasakan kepedihanku? Kenapa malah diam, Hoon? Baiklah, aku tidak akan marah padamu. Kau pernah jadi teman baikku, kau pernah menolongku. Kalau... hal ini terjadi padamu. Bilang padaku, akan kulakukan apapun untuk menghiburmu. Tidak seperti sikapmu sekarang.
Jihoon mengusap pelipisnya kasar. Langkahnya terhenti hanya untuk menarik udara dengan rakus. Entah kenapa hatinya menjadi sesak. Seolah ia telah berbuat sesuatu yang mengerikan. Ia tak mau menganggap dirinya jahat dengan menolak ajakan Wonwoo. Masih banyak yang harus dipertimbangkan daripada melarikan diri seperti itu. Bagaimana keluarganya, sekolahnya, karirnya? Jihoon masih ingin menjadi komposer. Ia masih ingin mewujudkan keinginan terbesarnya itu.
“Jihoon-ssi!”
Merasa namanya dipanggil, Jihoon mendongkak. Tampak dari kejauhan seorang laki-laki tengah berlari kearahnya. Koridor yang ramai ini tak bisa menutupi laki-laki tinggi itu. Jihoon dapat melihatnya dengan jelas. Semakin jelas ketika jarak mereka hanya terpisahkan dua kaca jendela.
“Aku mencarimu kemana-mana, kau disini rupanya.” Laki-laki itu merupakan teman sekamar Wonwoo yang empat-lima hari yang lalu selalu ia ganggu dengan pertanyaan sama Apa Wonwoo memberimu kabar?
“Taewoo-ssi, ada apa?”
Napas laki-laki itu tersendat, punggungnya naik turun seirama dengan helaan napasnya. Ia menyeka beberapa keringat yang membasahi helaian rambut yang menutupi dahi. “Bicaranya sambil makan, perutku sakit karena lupa sarapan.”
Seraya meraih tangan Jihoon, ia membawa laki-laki berkulit pucat itu kearah kantin. Jihoon melihat baju belakang Taewoo sedikit basah oleh keringat. Ia bertanya-tanya hal apa yang membuat laki-laki itu menjadi seperti ini. Apa itu bagus? Atau sebaliknya. Sesaat hidungnya mencium bau menyengat, bau alpha yang kuat. Ia menyadari bahwa dirinya sudah berada di kantin. Bau-bau alpha itu bercampur, menusuk hidungnya. Jihoon melepaskan tangan yang digenggam oleh taewoo untuk menutupi hidungnya.
“Kenapa?” Laki-laki itu berbalik dan bertanya.
Jihoon meengibaskan tangan yang lainnya untuk memberi tanda pada Taewoo bahwa ia baik-baik saja. “Ayo kita pesan makan.” Ajak Jihoon.
Ia tak mau Taewoo bertanya lebih. Akhir-akhir ini mengenalnya ternyata laki-laki itu mirip dengan Seungkwan. Sikapnya seratus persen sama, hanya perawakannya berbeda, tegap dengan pandangan tajam.
Tidak perlu waktu lama untuk Jihoon dan Taewoo mendapatkan makanan, ini karena mereka berdua datang pada menit-menit terakhir bel masuk berbunyi, siswa yang lainnya sudah mendapat makanan mereka. Beruntung dua orang tersebut mendapatkan tempat.
“Ada apa?” jihoon bertanya lagi.
“Beri aku waktu lima menit lalu kita bicara, kau juga habiskan dulu makananmu.” Kata Taewoo seraya meraup nasinya.
Jihoon mengangguk pelan. Ia juga menyendok nasinya dan makan dengan perlahan. Ia melihat penjuru kantin yang semakin sepi. Dilihatnya juga Seungkwan yang cemberut di ujung sana. Jihoon terkekeh, ia merasa tidak enak karena sebelum ini ia menolak ajakan Seungkwan untuk makan di kantin. Sambil berguman minta maaf, Jihoon meringis. Ia segera mengirim Seungkwan pesan agar laki-laki beta itu tak lagi marah.
“Lihat siapa?” pandangan Jihoon teralihkan begitu Taewoo bertanya. Ia melihat tempat makan Taewoo yang sudah kembali mengkilap persis seperti sebelum diisi makanan.
“Teman sekelasku disana. Kau sudah selesai makan?” kata Jihoon sambil menunjuk kearah Seungkwan. Taewoo jadi ikut-ikutan menoleh dan melambai pada Seungkwan.
“Ya, perutku sudah kenyang. Aku sudah bisa menyampaikan berita besar padamu.” Hening sejenak, Jihoon membiarkan dirinya tak terlalu mendesak Taewoo. “Tunggu dulu, biarkan aku mengambil napas.” Kata Taewoo.
Jihoon diam-diam memutar bola matanya. Ia menunggu sambil kembali melihat-lihat sekitar. Matanya kini tertuju pada meja yang cukup jauh dari tempatnya duduk. Lima orang yang begitu familiar, tanpa Soonyoung. Sejak menghilangnya Wonwoo sampai saat ini, Jihoon belum bertegur sapa dengan salah satu diantara mereka. Bertemu pun tidak. Jadi, kali ini yang pertama. Jihoon sempat berpikir, apa Mingyu juga memikirkan Wonwoo seperti dirinya memikirkan laki-laki itu? Apakah alpha itu juga mencarinya? Atau malah bersikap seolah tak terjadi apapun? Entahlah. Namun begitu mengingat dirinya tak lagi berurusan dengan para alpha level satu membuat Jihoon bisa bernapas dengan bebas.
“Jihoon-ssi? Jihoon-sii!”
“Ah, ya?”
“Aku memanggilmu hampir sepuluh kali, sekarang teman yang mana? Aku juga ingin menyapa.” Mendengar itu, Jihoon buru-buru berkata. “Aku tidak melihat siapapun, hanya melamun. Jadi bagaimana? Apa hal yang ingin kau beritahu?”
Kim Taewoo mengangguk, kemudian mengambil ponselnya. “Tadi malam Wonwoo meneleponku, tapi sepertinya dari telepon umum.”
Mata Jihoon membelalak. “Apa katanya?”
“Ia menanyakan apa aku bertemu denganmu atau tidak dan menanyakan kabarmu. Kubilang kamu mencarinya seperti orang gila yang setiap hari menemuiku saat pulang sekolah hanya untuk bertanya kabarnya. Wonwoo bilang, ia minta maaf dan berkata untuk tidak mengkhawatirkannya. Wonwoo sudah merasa sedikit aman sekarang.”
“Lalu, apa dia berkata dimana dia sekarang?”
Taewoo menggeleng. “Ia tidak berkata apapun selain itu.”
Jihoon terdiam, walaupun sedikit kecewa, tapi ia bersyukur mengenai keadaan Wonwoo yang baik-baik saja.
“Sebenarnya ada masalah apa?” kali ini Taewoo yang bertanya.
Jihoon tersenyum kecil dan menggeleng. “Bukan apa-apa, kau tidak perlu khawatir.”
Taewoo berdecak. “Ayolah katakan padaku, sebagai teman sekamar aku tentu saja mengkhawatirkannya. Teman-teman yang lainpun terus saja bertanya padaku tentang Wonwoo.”
“Ini cukup pribadi. Aku tak yakin Wonwoo akan senang bila aku mengatakannya pada oranglain, maafkan aku.” Berhenti sebentar lalu melanjutkan. “Yang penting ia baik-baik saja, kau dan aku bisa tenang sekarang.”
“Baiklah kalau begitu keadaanya. Hei! Habiskan makananmu, sebentar lagi bel akan berbunyi.”
“Aku sudah kenyang, kau mau?”
“Pantas saja badanmu kecil, makanmu hanya seberapa. Sini daripada terbuang aku habiskan saja.” Taewoo meraih nampan makanan Jihoon dan kembali makan. Jihoon yang melihatnya tertawa kecil, benar-benar mirip Seungkwan. Ah iya, ada satu hal ingin ia tanyakan.
“Taewoo-ssi.,..”
“Ya?”
“Apakah alpha dapat mencium bau seseorang? Seperti kau bisa membedakan alpha dan omega dari bau mereka tanpa melihat seragam atau tanda pengenal lainnya.”
“Kenapa beta tidak masuk hitungan?”
“Karena beta tidak punya bau, juga tidak bisa mencium bau seseorang.”
Tiba-tiba Taewoo terdiam, matanya menajam dalam beberapa detik. “Tentu saja alpha bisa membedakan status seseorang. Mulai dari bau yang menyengat, sampai yang memabukkan. Kau tahu submisif omega?” Jihoon menggeleng. “Mereka yang punya bau paling memabukkan. Sejujurnya aku juga mencium bau yang berbeda dari Wonwoo belakangan ini. Sedikit menggiurkan. Hampir saja aku berpikir bahwa ia omega. Satu lagi, baumu lumayan menarik, itu kenapa aku begitu suka berada didekatmu. Tapi kau kan beta, penciumanku sepertinya sedang terganggu. Hahaha.” Taewoo melanjutkan.
Setelah itu ia kembali makan. Jihoon menahan napas, refleks tangannya menutupi leher bagian belakang.
Jihoon menjadi ketakutan, tangan satunya lagi menumpuk bergantian untuk menutupi bagian kelenjar pheromonnya. Tidak, tidak boleh. Tidak boleh ada yang mencium baunya. Tidak boleh ada yang yang tahu kau ia berbeda. Napasnya semakin tak karuan, pikirannya jadi kacau. Dengan buru-buru ia meninggalkan kantin, meninggalkan kegaduhan yang membuat orang bertanya-tanya. Termasuk mereka.
.
.
Berstatus alpha merupakan keinginan semua orang. Bagaimana tidak? Kau akan sangat dihargai, disanjung, dihormati, dan diperlakukan lebih baik. Selain itu alpha dianugerahi kepintaran, kemampuan dalam segala hal dan membuat mereka begitu angkuh, sombong, merendahkan dan bahkan tak sedikit diantara mereka menatap jijik pada kaum yaang lebih rendah.
Namun semua itu tak luput dari apa yang akan mereka berikan untuk negara. Mereka akan menjadi pemimpin entah itu dalam segi pendidikan, kedokteran, pemerintahan bahkan di medan perang. Pengorbanan yang dilakukan alpha memang lebih besar dari beta maupun omega. Itulah mengapa para beta maupun omega tidak terlalu mempermasalahkan dengan sikap mereka. Walaupun tak semuanya beranggapan bahwa sifat alpha diatas adalah sesuatu yang wajar.
.
.
Mengingat kejadian di China belakangan ini, sekolah memutuskan setidaknya satu alpha berteman dengan tiga omega. Ini bertujuan agar ketika virus tersebut mulai tersebar diharapkan para beta bisa mengatasi teman alpha-nya. Tapi hal tersebut masih dalam perundingan. Mereka masih harus memikirkan pilihan-pilihan lain agar semua pihak tidak dirugikan. Salah satu pilihan yang sudah disepakati adalah kembali mewajibkan beta untuk tinggal di asrama.
Namun, informasi tersebut belum disebarluaskan. Hanya beberapa orang yang tahu, termasuk Seungcheol dan kawanannya.
“Kukira ada apa, tahu nya hanya masalah sepele.” Keluh Seokmin saat para alpha level satu harus mengikuti rapat dadakan dengan pihak sekolah. Menurut pihak sekolah, alpha ini lah yang berpotensi paling besar terkena virus.
“Tapi, sepertinya memang cukup berbahaya. Apalagi jika sejarah itu akan terulang.” Jisoo berkata.
Seokmin memajukan bibirnya. “Tapi bukannya sampai saat ini belum ada yang seperti itu? Ada-ada saja.”
“Tapi kemungkinan itu ada. Kemarin keluargaku dari China memberitahu bahwa disana sudah terjadi hal-hal aneh.” Junhui menyesap minumannya sebelum melanjutkan. “Ini cukup tidak masuk akal.”
“Ada apa?” Tanya Seungcheol.
“Seseorang berubah status, dia yang semula alpha berubah menjadi omega.” Jawab Junhui.
“Aneh Sekali. Mana mungkin itu terjadi, mungkin saja hasil tes pertamanya salah.”
“Kupikir juga begitu. Tapi kau tahu? Yang lebih gilanya lagi, organ dalamnya juga berubah, ia jadi memiliki rahim. Yah, walaupun di korea belum ada yang seperti itu. Ah, atau bisa jadi beberapa sudah berubah tapi masih bersembunyi.”
Perkataan Junhui menghentikan kunyahan Mingyu pada nasinya. Kejadian itu, memang sudah terjadi di Korea. Wonwoo buktinya. Memang tidak masuk akal. Awalnya Mingyu pikir semua itu hanya mimpi. Ketika ia tak sadar sudah menandai seseorang yang sekaligus menjadikan orang itu mate-nya. Apalagi dia seorang Jeon Wonwoo, seorang alpha! Mingyu mengusap pelipisnya kasar. Jelas-jelas waktu itu, ia mencium pheromone yang menguar dari tubuh Wonwoo. Heat? Tak mungkin bagi alpha untuk mengalami itu. Kecuali kalau ia berubah.
Mingyu meneguk airnya sampai habis. Setelah semua itu merenggut pikirannya, Wonwoo tak pernah menunjukan batang hidungnya lagi. Ia cukup bersabar dengan bersikap santai, berpikir mungkin laki-laki itu butuh waktu untuk menerima apa yang sudah terjadi. Mingyu sendiri tak merasa keberatan, ia tak pernah mempermasalahkan takdir. Dengan waktu ia mungkin bisa saja menerima Wonwoo. Tapi kembali pada hal yang mengganggu pikirannya, apa wonwoo juga berubah? Apa laki-laki itu menjadi omega sekarang?
Tapi jika lebih dari hari ini laki-laki itu tak muncul juga, Mingyu akan mencarinya. Memintanya untuk bertanggungjawab. Dua minggu ini, ia tidak bisa menyalurkan birahinya. Sialan, rasanya untuk menyentuh orang lain saja begitu menjijikan.
“Jisoo hyung, kalau kamu berubah menjadi omega, biarkan aku yang menjadi mate-mu.” Seokmin menyentuh leher belakang Jisoo dan langsung ditepis oleh yang bersangkutan. “Kau yang akan menjadi omega, sialan!” geram Jisoo.
Seungcheol melihat teman-temannya berseteru. Kemudian pandangannya teralihkan pada Mingyu. Ada yang aneh dari laki-laki itu. Seungcheol memperhatikannya lamat-lamat, akhir-akhir ini ia jarang mengobrol atau menerima candaan orang lain, juga lebih sensitif. Mungkin Seungcheol bisa bicara empat mata dengannya. Yah mungkin.
“Bagaimana keadaan Soonyoung?” Seungcheol menggerakan kepalanya kearah Seokmin. Perkataan laki-laki itu meenyadarkannya bahwa ada satu kawanannya lagi yang harus dia urus.
“Semakin aneh.” Junhui menjawab asal-asalan, padahal ia tak bertemu dengan Soonyoung selama dua hari.
“Sialan! Bicaramu dijaga, hahaha.”
Jisoo memutar bola matanya. “Kita bahkan tak boleh mendekati dia selama dua hari ini, bagaimana kau bisa tahu bagaimana keadaannya?”
“Lagian, kenapa sekolah ini menyembunyikan masalah Soonyoung rapat-rapat sih? Tinggal serahkan pada orangtuanya, mereka lebih mengerti dia. Lagipula keluarganyakan kaya raya, mana mungkin membiarkan anaknya kesulitan, mereka pasti mencari cara.” Kata Junhui
“Sekolah menyembunyikannya karena mereka tak ingin ada yang tahu mengenai Soonyoung, sekalipun itu orang tuanya. Kau tahu Soonyoung salah satu kebanggaan sekolah?”
Dua orang bersifat sama mencibir. Mereka melanjutkan makan tanpa ada yang mengeluarkan kata. Mungkin tak ada lagi yang harus dibicarakan? Atau masing-masing punya pikiran, berkecamuk sampai tak bisa disampaikan.
‘Dugh’
Lima kepala itu berputar kearah suara. Seseorang yang mereka kenal berlari meninggalkan seorang alpha yang dengan tenang melanjutkan makanannya.
“Itu tadi bukannya Lee Jihoon, kan?” Jisoo berkomentar.
“Ya, aku juga lihat dengan jelas.” Kata Mingyu
“Biasanya laki-laki itu kan bersama satu orang lagi yang bernama, Jeon Wonwoo, kalau tak salah.” Kata Seokmin.
“Lee Jihoon itu, tadinya aku mau dekati dia untuk mengurus Soonyoung. Tapi sepertinya laki-laki itu menjauhi kita.” Sambung Jisoo.
“Benar juga, Soonyoung jadi sedikit tenang ketika berhubungan dengan laki-laki beta itu, aku penasaran dengan apa yang terjadi.” Seokmin menaruh telunjuknya di ujung dagu sambil bertingkah seolah-seolah tengah berpikir membuat yang lainnya memutar bola mata mereka.
Mingyu terkekeh. Benar juga kata Seokmin, begitu ‘mengenal’ Jihoon Soonyoung jadi sedikit lebih dapat diatur. Tapi Mingyu sedikit menyayangi perubahan sikap Soonyoung, tak ada lagi partner isengnya. Dulu, sebelum ada Jihoon, ia dan Soonyoung seringkali mengerjai orang lain dan itu menurutnya menyenangkan.
Kalau Soonyoung tak bertemu Jihoon, maka iapun tak akan mengenal Wonwoo. Sialan, lagi-lagi ia memikirkan laki-laki itu. Ia bahkan tak mencium bau Wonwoo di sekitar sekolah maupun asrama. Laki-laki itu, dimana dia?
“Hei, Mingyu!” kata Jun
“Ya?”
“Daritadi kau diam saja, tidak seperti biasanya.!”
Mingyu tak heran bila yang lain mulai curiga atau bertanya-tanya padanya. Ia jadi tak mood untuk bercanda atau ‘party’ seperti biasanya. “Biasa saja.” Jawabnya
“Aku sungguhan ketika berkata kau berbeda.”
“Diamlah, kubilang aku biasa saja! Kau butuh bukti? Aku bahkan bisa mencium seseorang disini sekarang juga.” Entah mengapa dia begitu marah pada orang-orang itu.
“Kalau begitu buktikan!” kata Seungcheol tiba-tiba. “Buktikan kalau kau bisa.” Mata Seungcheol menatap lurus pada Mingyu. Ia tahu apa yang terjadi sekarang, setelah apa yang telah terjadi pada dirinya, ia tahu Mingyu mengalami hal yang sama. Walau ia masih cukup tahan untuk menyentuh orang lain, ia memang tak merasakan kepuasan.
.
.
“Dok, ada waktu sebentar?” tangannya bergetar. Ponsel dalam genggamannya beberapa kali terjatuh.
Jihoon menggigit bibirnya begitu seseorang disana menjawab ‘iya’. “Aku.. bisa mencium bau alpha maupun omega.”
“Kapan pertama kali kau mengalaminya?”
“Sekitar lima hari.”
“Sepertinya, genetika dalam tubuhmu mulai berubah.”
“Apa... bauku juga akan berubah?”
“Aku pikir setelah satu tahun tak ada yang berubah, kau tidak akan mengalami hal-hal semacam itu. Kemungkinan besar, ya.”
“Jadi, aku akan ketahuan? Mereka akan tahu aku seorang omega? Para alpha itu, akan tahu kalau aku berubah?”
“Maafkan aku Jihoon karena harus mengatakan ini, kemungkinan baumu akan lebih menarik dari omega pada umumnya.”
Tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Jihoon merasa tinggal menunggu waktu, semua orang akan tahu dia adalah omega. Saat jadi seorang beta, ia tak tahu bahwa seseorang bisa dibedakan dengan bau. Ia pikir ketika diluar sekolah, semua akan dipandang sama. Namun nyatanya berbeda. Dunia ini memang tidak adil. “Jadi... apa yang harus aku lakukan dok?”
“Seperti opsi-ku yang pertama. Kau harus jujur. Orangtuamu mungkin punya solusi. Tapi mengingat kau ini anak yang keras kepala, aku punya pilihan lain.”
“Apa itu? Katakan! Aku mungkin akan memilih pilihan yang terakhir.”
“Aku sudah membuat percobaan, supresant untuk menyamarkan bau. Jadi dengan kata lain, baumu tidak akan terlalu menyengat. Tapi aku tidak tahu kau ini omega tipe yang mana, jadi lusa kau sebaiknya datang kesini untuk diperiksa.”
“Lusa? Baiklah akan aku usahakan. Terima kasih, Dok.” Jihoon menutup panggilannya.
Laki-laki itu mengurung diri di apartemennya, meringkuk tepat di belakang pintu, tubuhnya menggigil, tangannya masih tetap dibagian leher. Ia meminta ijin pulang lebih dulu pada walikelas. Untungnya ketika melihat wajah Jihoon pucat, sang walikelas langsung mempersilakan. Tapi sepertinya dewi fortuna tak lagi memihaknya. Tepat beberapa menit kemudian bel apartemennya berbunyi. Dari langkah kaki yang didengarnya, ia tahu bahwa ada lebih dari satu orang berada dibalik pintu.
“S-siapa?” tanya Jihoon begitu belnya terus ditekan. Sungguh, saat ini Jihoon butuh ketenangan. Siapa juga yang siang-siang datang ke rumahnya?
Tunggu, tak ada yang tahu dimana tempat tinggalnya. Hanya Jeonghan, Chan dan Wonwoo. Lalu, siapa yang ada di luar sana?
Wonwoo?
Apa Wonwoo?
Wonwoo, kan?
Begitu memikirkan satu nama, Jihoon buru-buru bangkit dan memutar kunci. Pintu itu ia buka. Namun seseorang yang dipikirkannya tak ada, yang ada adalah Seungcheol dan anteknya. Ia juga melihat Soonyoung disana. Dengan spontan ia kembali menutup pintu tak lupa menguncinya.
Dengan langkah lebar-lebar Jihoon pergi kekamarnya. Mengambil beberapa syal musim dingin dan melilitkan ke leher. Suara bel kembali berbunyi, kali ini menjadi tak karuan. Ditambah gedoran pintu yang mungkin bisa didengar oleh tetangganya.
Jihoon ragu, ia harus menghampiri mereka atau tetap disini? Ia harus menghadapi enam orang alpha itu atau meringkuk dalam selimut? Kalu dirinya memilih pilihan terakhir, tidak mustahil pintu apartemennya akan rusak, tetangganya yang baru saja melahirkan akan terganggu. Tapi pilihan lain membuat tubuh Jihoon gemetar. Ia berpikir, sampai teriakan tetangganya dan tangisan bayi terdengar.
Tak punya pilihan, laki-laki omega itu berlari menuju pintu dan membukanya.
“Apa mau kalian?”
“Biarkan kami masuk, ada yang harus kami diskusikan denganmu.” Seungcheol berkata.
“Ini soal Wonwoo.” Sambung Mingyu. Jihoon melirik kearah laki-laki itu, ia bersikap tenang, namun Jihoon melihat adanya kekhawatiran. “Aku tidak tahu apa-apa.” Kata Jihoon setengah berteriak. Sudah senang-senang ia tak berurusan lagi dengan mereka.
“Kalau begitu biarkan kami masuk, tak mungkin aku harus terus berdiri disini.” Kata Soonyoung.
Jihoon mengigit bibirnya, sampai bunyi debaman pintu dan suara kunci bersuara bersamaan.
.
.
.
“Wonwoo!”
Laki-laki berkacamata itu memutar kepalanya. Seketika terbelalak ketika orang yang memanggilnya itu adalah seorang wanita, berparas cantik dan berpakaian menawan.
Jung Yewon. Tunangan Wonwoo.
“Ah, Yewon-ssi, kau datang?” Wonwoo memberikan ice cream rasa banana di tangan kirinya pada wanita itu lalu membiarkan tempat di sisinya terisi.
“Tentu saja, bagaimana aku membiarkan omega-ku berkeliaran sendiri di taman bermain, hmm?” Yewon mengusap dagu Wonwoo layaknya ia lakukan pada seekor kucing.
Wonwoo memutar bola matanya, sejak beberapa hari yang lalu, saat ia memutuskan untuk lari, ia bertemu dengan wanita itu, tak disangka ternyata usianya lebih tua 3 tahun, mempunyai tinggi yang setara dengannya, khas Alpha.
Ia belum jujur pada orangtua nya mengenai perubahan statusnya, tepatnya tidak berani. Apalagi ia sudah ditandai oleh kim brengsek mingyu. Bisa-bisa ia diusir dan tidak dianggap anak lagi. Lalu Wonwoo harus tinggaal dimana apabila semua itu terjadi? Bersama Kim brengsek Mingyu? Tentu saja tidak, tidak akan pernah!
Beruntung ia bertemu dengan Yewon. Wanita Alpha ini ternyata berpikiran terbuka, ia meminta ijin pada keluarga Wonwoo untuk tinggal bersamanya, mengurusi semua kebutuhannya sampai ia melahirkan. Wonwoo hamil? Ya, konyol memang dan tentu saja keluarga dua belah pihak tak ada yang tahu. Baru pertama kali melakukan ia langsung mengandung benih si Kim Brengsek Mingyu. Yewon saja sampai tertawa terpingkal-pingkal mendengar ceritanya. Ia bahkan sangat ingin bertemu dengan Mingyu, menanyakan bagaimana caranya. Agar pasangannya pun segera hamil.
Yewon sudah memiliki mate sendiri, seorang omega wanita yang pemalu. Namanya Mina. Gadis itu sangat baik membuat Wonwoo jadi tak enak padanya. Mina selalu mengurusi kebutuhan sehari-hari mereka seperti membuat makanan, mengurus rumah dan lain-lain.
“Kemana Mina?”
Yewon mengangkat bahunya. “Ia bilang sedikit pusing lalu kembali tidur.”
“Kau yakin meninggalkannya sendiri?”
“Ya tentu. Taman ini bahkan hanya berjarak dua rumah dari apartemenku.” Yewon menjilati ice creamnya. “Hai, omong-omong hoodimu bagus.”
“Berterimakasihlah pada mate mu, aku jadi semakin kelihatan seperti omega.” Yewon terkikik. Ia mencubit pipi Wonwoo gemas.
Wonwoo hanya meliriknya sebentar kemudian berjalan menghampiri seorang anak yang menangis diatas gundukan pasir.
“Hai, ada apa?”
Anak itu mendongkak. Wonwoo takjub melihatnya, mukanya sembab karena kebanyakan menangis, tapi justru terlihat sangat manis. “Cincinku hilang. Aku pasti akan dimarahin eomma.” Jawabnya sambil kembali menggali pasir-pasir itu.
Wonwoo ingin tertawa pada dirinya sendiri ketika menyadari rasa simpatinya begitu besar pada seorang anak kecil. Yewon bilang ini naluri keibuan. Persetan, ia masih tidak menyangka bahwa dalam waktu dua minggu ia dinyatakan hamil, mana ada yang seperti itu? Dokternya pasti salah! Apa jangan-jangan ini bukan anak si Kim brengsek Mingyu? Tapi, ia belum pernah dimasuki oleh siapapun.
Memang besok rencananya ia akan kembali ke dokter yang berbeda, untuk mengecek apakah memang benar atau hanya mual-mual biasa. Untung-untung kalau memang bukan, karena ia sangan membenci si Kim brengsek Mingyu, dan tak ingin ada ikatan diantara mereka.
Kalau benar, apa yang harus Wonwoo lakukan? Apakah ia akan menerimanya atau justru membuangnya?
“Hei, kau melamun?” Yewon menghampiri Wonwoo yang duduk diam diatas pasir. Anak laki-laki tadi sepertinya sudah menemukan apa yang ia cari.
“Jung Yewon?
“Ya ini aku. Apa kau berpikir ini si Brengsek Kim itu?”
“ Jangan sebut nama itu lagi.” Wonwoo tak suka, ia menghirup udara banyak-banyak lalu bangkit dan membersihkan bagian bokongnya. “Ayo pergi, aku ingin makan masakan Mina.”
“Katanya kau ingin makan mi kacang hitam?”
“Tak jadi, aku ingin makanan rumahan saja.”
“Dasar labil, aku bahkan sudah susah payah meninggalkan pameran hanya untuk menuruti kemauanmu. Ibu hamil memang sulit dimengerti.”
Wonwoo hanya memutar bola matanya, tak heran jika wanita di sampingnya ini bersikap berlebihan, waktu dua minggu sudah cukup baginya mengenal karakter Yewon. “Ayo pergi!”
“Tunggu, kau lihat laki-laki kecil yang berlari itu? Ia seperti sedang dikerjar makhluk halus, konyol sekali.”
Wonwoo memicingkan matanya. Tak terlalu jelas karena laki-laki itu memang sangat cepat dalam berlari. Namun yang selanjutnya ia lihat malah beberapa orang yang ia kenal. Wonwoo cepat -cepat berbalik dan memeluk erat Yewon.
“Keluarkan pheromonmu cepat lindungi aku.”
“Hei apa yang kau lakukan?”
“Kubilang cepat , tutupi bauku. Nanti kuceritakan sampai rumah.”
“Aku pegang janji itu.” Yewon melingkari tangannya menutup tanda Wonwoo, kemudia mulai mengeluarkan pheromonnya sehingga menarik perhatian beberapa orang disana.
.
.
TBC
Hai balik lagi dengan Hoshiyowoo. Maaf bila kali ini pendek dan mengecewakan. Plus telaaaaaaat, mohon di maklum karena saya baru saja selesai mengerjakan tugas akhir alias Skripsweet.
Oh iya, sebenarnya chapter ini lumayan panjang tapi saya bagi dua, untuk updatenya bagaimana respon dari pembaca hehehe. Silakan kritik saya apabila ada typo atau sebagainya, no edit, karena saya ingin cepat-cepat bertemu kalian..
Love Hoshiyowoo

KAMU SEDANG MEMBACA
Hide Your Heat
FanfictionJi-Hoon tak pernah tau bawa 'birth sex'-nya bisa berubah. Ia yakin hasil yang ia terima pada kelulusan sekolah menengahnya adalah Beta. Tapi kenapa ia mengalami 'Heat'? Won-Woo tak bisa berbuat apa-apa ketika sesuatu yang sangat ia tahu terjadi pada...