6

5.4K 462 22
                                    

.
.
.
Hide Your Heat
Story by : Hoshiyowoo
Ship(s) : Soonhoon, Meanie, and other
Warning! : Typo, M-preg, BxB, Omegaverse, bahasa vulgar, kekerasan, dll
Genre : terserah anda, saya bingung, yang pasti ada romance >.<
Disclaimer : Seventeen belongs to pledis Ent and their parents.
.
.

Layaknya keju mozzarella yang begitu menggiurkan untuk disantap, pemandangan dihadapannya bisa dibandingkan dengan itu. Sensasi aneh yang selalu ia rasakan ketika menyentuh cairan kental itu, sama dengan saat dimana lidahnya bertemu dengan lelehan keju. Nikmat, atau sesuatu yang membuatmu puas dan meminta lebih? Mungkin.
Ia menyeringai, melihat hasil kerjanya yang tampak indah. Apalagi ekspresi dari kerumunan orang-orang yang melihat, membuat semua tampak sempurna. Ia tertawa, saat seseorang dari kerumunan itu mulai menjerit dan berantai menjadi sebuah melodi indah. Tawanya semakin terdengar menyeramkan, saat satu persatu dari mereka berlari menjauh. Melindungi diri dari sumber malapetaka.
Itu keadaan dua tahun lalu yang mungkin sebagian orang masih mengingatnya, betapa mengerikannya saat-saat itu. Bagai mimpi buruk yang membuatmu ingin segera terbangun.
Pacuan jantungnya terdengar seperti langkah kaki kuda di medan perang. Begitu bising hingga membuat pemiliknya merasa risih lalu terbangun. Laki-laki berambut hitam pekat dengan mata yang memicing itu berusaha bangkit walau pening menyerang. Ia menekan samping kanan kepala yang lebih ngilu dari bagian lainnya.
"Aw."
Rintihannya membuat orang lain yang berada satu ruangan menoleh. Ada empat orang, tidak, lima dengan laki-laki yang sedang berada di ruangan lain di apartemen itu.
"Kau sudah bangun?" Salah satu dari mereka melayangkan pertanyaan. Tapi bukan itu yang laki-laki tadi butuhkan. ia perlu aspirin dan segelas air putih. "Berikan aku aspirin dan air putih." Orang itu rupanya paham, karena tanpa disuruh dua kali, ia pergi meninggalkan kamar.
"Ini dimana?" Hal ini juga sesuatu yang ia perlu ketahui. Mengingat ia tidak menggunakan sprei motif anak beruang untuk membungkus kasurnya.
Satu dari orang yang ada disana menjawab. Laki-laki dengan rambut pirang yang disisir rapi kebelakang. "Apartemen Mingyu.". Ah, Ia mengangguk dan tiba-tiba ingatannya berputar ke beberapa jam yang lalu, saat ia dan kelima temannya menghabiskan malam di club favorit mereka.
"Soonyoung." Laki-laki dengan tubuh yang sempurna, melihat bagaimana bentuk dada dan pahanya, memberikan aspirin dan air putih.
Soonyoung menerima dan menelan pil itu lalu meneguk air, merasakan bagaimana obat tersebut mengalir memasuki tubuhnya, diikuti sakit kepala yang berkurang.
"Lebih baik?"
"Ya, ini cukup."
Seungcheol, laki-laki yang sudah berteman dengan Soonyoung lebih lama dari yang lainnya berkata. "Kau sanggup untuk sekolah hari ini?"
Segitiga siku-siku muncul perlahan sebelum terlihat pasti di dahi Soonyoung. Seiingatnya mereka masih diskors. "Sekolah?"
Laki-laki yang sejak tadi memainkan ponsel bernama Lee Seokmin itu angkat bicara, "Kemarin hari terakhir, sekarang kita sudah harus ke sekolah kalau tak ingin dihukum lebih berat lagi."
"Sebenarnya, aku masih ingin bolos." Junhui, laki-laki pirang itu menimpali Seokmin.
"Ah, brother, kau memang sehati denganku." Seokmin menghampiri Junhui sambil merentangkan tangan.
Junhui tahu maksud Seokmin, tapi ia lebih memilih keluar kamar saat suara Mingyu dari dapur mengajak mereka semua untuk makan. Begitu juga Jisoo, orang pendiam yang hobi membaca itu mengikuti Junhui. Mau tak mau Seokmin juga mengikuti mereka berdua dengan murung. Ia ingin pelukan pagi ;(
"Kau yakin sanggup ke sekolah?" Seungcheol kembali bertanya karena beberapa menit yang lalu pertanyaannya diinterupsi oleh duo cecunguk pembuat onar.
Soonyoung menatap Seungcheol. "Kenapa tidak?"
"Kau yang paling mabuk diantara kita, kepalamu pasti tidak baik-baik saja."
"Aku akan sekolah."
"Kalau begitu, aku tunggu di ruang makan."
Tanpa menjawab pertanyaan Seungcheol, karena laki-laki itu juga sudah keluar dari kamar, Soonyoung berjalan menuju kamar mandi sambil membawa seragam sekolah. Tak sampai sepuluh menit ia sudah keluar dengan pakaian lengkap walau tidak terpakai dengan rapi dan pergi menuju teman-temannya berada.
Langkahnya seirama dengan jarum jam. Bergerak mendekat, lalu mengambil kursi di samping Jisoo.
"Jam berapa ini?" Seokmin tiba-tiba berteriak.
"Masih cukup waktu untuk sampai ke sekolah tanpa terlambat." Jawab Jisoo, begitu jam pembelian mamanya menunjukan pukul delapan kurang sepuluh.
"Okay, masih ada waktu untuk tambah satu piring lagi kan?" Mingyu, berlari kecil menuju penanak nasi, memindahkan nasi pada mangkuk ditangannya sampai setengah penuh.
"Kau tidak berpikir perutmu akan meledak? Ini sudah piring ketiga." Jun menatap takjub pada Mingyu. Ia jadi tahu bagaimana tubuh temannya bisa menjulang seperti itu.
Tak menghiraukan temannya, Mingyu mulai melahap nasi beserta lauk pauk yang sudah ia masak.
Keheningan mulai menyebar merata di apartemen itu. Keenamnya diajarkan untuk tidak membuat suara saat makan. Menaati pepatah-pepatah tua yang entah bagaimana bisa melekat pada pikiran mereka, bahkan suara jarum jam tangan Jisoo bisa terdengar dengan jelas.
Sampai semua laki-laki itu menghabiskan santapannya, masih tak ada suara. Hingga Seungcheol memutuskan untuk berbicara. "Sebaiknya kita bergegas sebelum pelajaran pertama dimulai."
***
Lagi-lagi, untuk hari ini kamar itu dikunci. Membuat Jihoon yang akhir-akhir ini memcoba masuk ruangan itu mengerang kesal. Pasalnya, Jihoon masih belum tahu siapa pemilik kamar ini yang mencetak fotonya besar-besar dan menempelkannya bersama puluhan foto lain. Ia pun ingin tahu maksud dari orang itu apa. Tapi, kalau keadaannya seperti ini, Jihoon tidak bisa apa-apa. Bertanya pada ketua asrama pun tak ada gunanya. Ia tak akan diberitahu.
Tubuh kecilnya langsung putar balik saat pesan dari Jeonghan menyuruhnya untuk segera pergi ke kantin. Laki-laki omega itu, menginap di kamar Jihoon semalam. Ia ingin mengatakan suatu hal, namun sampai saat ini Jeonghan masih belum bicara apa-apa pada Jihoon. Ia mendesis sebelum menjauhi area itu.
Tak hanya itu yang menjadi pikiran Jihoon, satu hal lagi yang membuatnya tak bisa tidur semalaman. Jihoon berdecak, ia menggelangkan kepalanya kuat-kuat. Semua akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Jihoon. Kau hanya tidak perlu mating dengan alpha jika kau tidak ingin punya anak. Semua tergantung padamu, pilihan ada padamu. Jihoon berbicara dengan dirinya sendiri.
"Argh sial." Jihoon menggeram sambil tetap berjalan menjauhi klinik.
Mating... mating... mating...
"Kau tidak perlu mating, kau hanya perlu diam bersembunyi dan tidak akan terjadi apa-apa." lagi-lagi laki-laki keras kepala itu bicara sendiri. Urusan keluarganya bisa diatur, lagipula Chan seorang alpha. Adiknya itu akan memberikan penerus yang lebih berkualitas untuk keluarganya.
Seminggu yang lalu....
Kepalanya pening saat menerima suntikan itu. Urat-urat disekitar tangaannya menguat, membuatnya menyembul kepermukaan kulit. Giginya menggeretak menahan sakit yang sering dirasakannya saat cairan dalam suntikan itu merayap menuju dagingnya. Sensasinya panas, kalau kalian ingin tahu. Ia mendesis, lalu menggigit bibirnya keras saat menerima suntikan terakhirnya sebelum menghela napas lega. Matanya yang sedikit berair itu terbuka, menampakan bulatan caramel yang mengundang untuk ditatap.
"Kau masih belum terbiasa?" Dokter dihadapannya bertanya. Laki-laki itu mengangguk. "Ini bahkan sudah satu tahun lebih, kau manja ternyata." Lanjut dokter itu.
"Bukan begitu. Hanya saja sakitnya terus bertambah ketika aku menerimanya." Kata laki-laki itu sambil terkekeh.
Sang dokter mengangguk paham. "Untuk kasusmu, memang obat semacam ini memberikan egefek menyakitkan, tapi semua ini akan berakhir ketika kau mempunyai mate. Kau tidak perlu lagi menyembunyikan baumu, dengan kata lain kau tidak butuh lagi obat-obat itu."
Jantung laki-laki itu berdegup kencang, mendengar satu kata itu membuat area lehernya meremang. Ia menelan ludah gugup. Satu hal yang selalu ada dipikirannya terus mengajak untuk diungkapkan. "Dok, dengan statusku saat ini, apakah mate ku juga akan berubah?"
Dokter yang berumur lebih dari setengah abad itu menaikan alisnya. Ia menatap laki-laki dihadapannya dengan lembut. "Takdir itu sudah diatur, Jihoonie. Tapi jika kau memaksa, kau boleh menikahi seseorang yang kau suka, tapi tidakah kau ingin mempunyai anak?"
"Anak?"
"Dan lagi, kau harus menutupi statusmu selamanya jika kau melakukan mating dengan seseorang yang tidak seharusnya."
Lee Jihoon, pemuda berlesung pipi itu menginterupsi. "Tunggu dulu, dokter Park. Kau bilang anak?"
Dokter Park tersenyum dan mengangguk. "Organ yang akan menampung calon bayimu sudah mulai berkembang."
Jihoon repleks memegang perutnya. "Kau bilang disini akan ada bayi?"
"Ya, kenapa tidak?"
"Maksudku, aku dilahirkan sebagai beta, dan tidak mungkin aku akan melahirkan. Dan lagi, membayangkannya saja sudah membuatku ngilu."
"Jihoon, kau tidak bisa melawan takdir. Takdirmu memberi kehidupan disini, ah, jangan-jangan orangtuamu belum tahu?"
Jihoon menggeleng. Bagaimana mungkin ia sanggup memberitahukan keadaannya saat ini. Ayah Jihoon berwaratak keras dan tidak mudah menerima kenyataan kalau itu tidak sesuai dengan harapannya. Dan Jihoon yakin ayahnya pasti akan kecewa bila laki-laki tua itu tau Jihoon menjadi omega. Dikeluarganya, tidak ada seorang omega. "Aku tidak bisa memberitahu mereka."
"Tak harus sekarang, tapi kalau sesuatu yang berbahaya terjadi padamu, jalan satu-satunya adalah jujur pada mereka. Mereka akan melindungimu, percaya padaku."
"Apa tidak ada kemungkinan aku kembali menjadi seorang beta?"
"Siapa yang tahu. Aku tidak bisa memberi kepastian untuk hal yang satu ini."
Ketukan pintu terdengar saat Jihoon ingin menyanggah lagi. Wonwoo muncul dari sana dengan sebuah amplop ditangannya. "Kau bilang jam 9.30 tepat aku harus kembali kesini." Kata wonwoo sambil memasuki ruangan dokter Park.
"Emm, tak masalah. Jihoon, kau boleh keluar." Dokter Park tersenyum pada Jihoon lalu menganggukan kepala meyakinkan. Jihoon bangkit dengan perlahan. Ia memberikan bangkunya pada Wonwoo lalu berjalan keluar ruangan.
"Apa yang terjadi pada Jihoon?" Kata Wonwoo tiba-tiba membuat dokter Park sedikit terkejut.
"Kau bisa bertanya padanya nanti. Ja., mari kita lihat hasilmu. Kau bari pertama kali kesini kan?"
Wonwoo mengangguk. "Ya, dok."
Selembar kertas ditarik dari dalam amplop oleh dokter itu. Kertas yang berisi hasil medis Wonwoo, setelah ia melakukan beberapa tes. Mata dokter itu tertuju pada sebuah kata yang menurutnya sangat mengejutkan. "Kau berubah menjadi omega kurang dari satu tahun?"
Wonwoo kembali mengangguk. "Heat pertamaku terjadi 4-5 bulan yang lalu. Aku tidak tahu dengan pasti, kapan hal mengerikan itu terjadi padaku."
"Kau cukup tegar rupanya. Jeon Wonwoo, eks-alpha, status sekarang omega. Kau sudah pernah berhubungan seks sebelumnya?"
Tentu saja wonwoo terkejut. Itu hal pribadi yang menurutnya tidak usah ditanyakan. Tapi apa boleh buat, wonwoo akan menjawab dengan jujur. "Pernah beberapa kali."
"Okey, kutebak posisimu tidak pernah dibawah kan?"
Wajah wonwoo memerah. Lalu mengangguk. Sebenarnya kenapa dokter itu mengatakan hal memalukan seperti itu? Sang dokter tertawa, membuat wonwoo sedikit kebingungan. "Santai saja, aku hanya bercanda. Anggap saja ini pemanasan sebelum kita membahas kondisimu yang sesungguhnya." Wonwoo tersenyum malu.
"Jeon Wonwoo-ssi. Kau menjadi omega, kau tahu apa artinya?" Wonwoo menggeleng.
"Menjaga benih, heat yang menyakitkan, dipandang rendah apalagi kau mantan alpha. Ja, sekarang aku akan menyuntikan ini dulu, mungkin terasa sakit untuk pertama kali. Kau siap?"
Jihoon masih berdiri di samping pintu saat itu. Ia bisa membayangkan bagaimana perasaan Wonwoo ketika mendengarnya untuk pertama kali. Ia tersenyum miris, Wonwoo menanggapinya dengan tenang, tidak seperti dirinya yang bahkan hampir meninju dokter Park.
Ah, sialan, ia lupa kalau saat ini ia masih dilingkungan asrama. Jeonghan sudah meneleponnya beberapa kali dan yang terakhir panggilan tak terjawab dari Wonwoo. Ia menduga mereka berdua menunggunya untuk makan.
Jihoon berlari menuju asrama, melewati gudang. Memasuki area sekolah sambil mengabaikan tatapan orang-orang yang ia tabrak bahunya.
Sampai di kantin, Jihoon langsung tahu dimana letak Jeonghan dan Wonwoo berada dan menghampiri mereka. "Aku ada perlu sebentar." katanya begitu ia duduk di samping Wonwoo. "Chan tidak disini?" Lanjutnya.
Jeonghan langsung menunjuk arahjam tiga dari tempat duduknya. Laki-laki itu menutupi tubuhnya dengan jaket hitam, mirip artis-artis yang kencan buta. Wajar saja disini area alpha dan beta, bisa bahaya jika mereka tahu ada omega. Heh, ngomong-ngomong nyalo Jeonghan besar juga. "Dia bilang ingin bersama teman barunya." Katanya langsung.
Jihoon hanya mengangkat bahunya. "Kalian tidak mengambilkanku makanan?"
"Kau bisa mengambilnya sendiri." Sahut Wonwoo.
"Emm, sejujurnya aku belum pernah ke kantin. Jadi aku tidak tahu harus melakukan apa." Jihoon sedikit malu mengatakannya, tapi memang begitu adanya. Jihoon lebih suka menghabiskan jam makan siangnya dengan menulis lagu di Samping lapang olahraga dengan sebungkus roti dan sekotak susu vanilla.
Jeonghan menatap Jihoon dengan pandangan 'kau serius?'. Lalu beralih memandang Wonwoo kemudian menggeleng lemah. "Kau benar-benar.. ah.. astaga! Apa yang kau lakukan selama setahun lebih ini Jihoon!"
"Aku sekolah!"
"Tanpa makan? Disekolah sebesar ini hanya ada satu kantin Hoon."
"Sudah-sudah, biarkan aku yang mengambilnya." Wonwoo akhirnya merelakan diri. Namun sebelum bangkit, Jeonghan mencekal tangan Wonwoo. "Biarkan Jihoon saja yang mengambilnya."
"Wonwoo yang akan mengambilnya, biarkan saja dia melakukannya untukku!"
"Kau tidak akan pernah bisa kalau orang lain yang melakukannya!"
"Sudah aku saja, tidak apa-apa.." wonwoo berusaha meredam amarah yang masing-masing mulai timbul dati Jihoon dan Jeonghan.
"Dengar, kan.. Wonwoo tidak keberatan melakukannya untukku."
"Kau tetap harus melakukannya sendiri! Kau bahkan tidak tahu bagaimana mengetap kartu saat membayar di bus. Kau harus belajar hal-hal kecil seperti ini."
"Ck, nanti saja, sekarang banyak orang, Wonwoo kau tidak keberatan mengambilnya untukku kan?"
"YAK!"
*hening*
Seketika Jihoon dan Wonwoo saling pandang dengan mulut menganga, lalu beralih pada sekeliling kantin dimana hampir sebagian populasi disana memokuskan pandangan kearah mereka. Dan disaat itu mata Jihoon bertemu dengan matanya. Yang tetap hitam dan tajam, membuat Jihoon kembali memikirkan perkataan dokter Park sebelum melepas tatapan itu menuju arah yang berlawanan.
Namun bagaikan magnet yang saling tarik-menarik dengan dua kutub yang berbeda, mata Jihoon kembali menghampirinya. Obsidian milik orang itu tetap pada Jihoon hingga laki-laki itu merasakan serangan listrik ditubuhnya. Kwon Soonyoung masih disana sambil melipat tangannya di dada, mengabaikan makanan di depannya dan lebih memilih menatap Jihoon. Jihoon menelan ludah, ia merasa gugup. Tapi kalau diingat, Soonyoung selalu bersama teman-temannya kenapa sekarang hanya sendirian?
"Kau bicara keras-keras seolah ingin mencari perhatian, padahal cara berpakaianmu menunjukan sebaliknya." Suara itu berasal dari arah belakang Jihoon, semakin terdengar jelas ketika orang itu berjalan mendekat. Jihoon penasaran, tapi ia masih mengikat tatapannya dengan Kwon Soonyoung.
"Choi Seungcheol?" Suara Wonwoo membuat Jihoon dengan mudah menoleh. Di sampingnya dengan jarak empat meter, Choi Seungcheol berdiri memegang nampan diikuti antek-anteknya. Gawat, Seungcheol tidak boleh tahu keberadaan Jeonghan, yang lain juga tak ada yang boleh tahu. Apa Wonwoo tahu bahwa Jeonghan adalah mate Seungcheol?
Dan semua orang berbisik tentang alpha-alpha level A itu. JIhoon tak pernah tahu bahwa hal seperti yang ada di drama yang ia tonton sesekali bersama Chan, ada di dunia nyata. Dimana siswi-siswi akan berteriak jika prince charming sekolah melewati mereka. Tapi memang di dunia ini, para alpha level A sangat disanjungi.
"Ah, kau alpha level dua, Jeon Wonwoo." Perkataan Seungcheol membuat Mingyu spontan membalikan badannya disaat menerima makanan. Dari posisinya, tubuh Wonwoo takidak terlalu kelihatan.
Jihoon memegang tangan Wonwoo saat laki-laki dengan mata musang itu hendak bicara. Ia bangkit daari kursinya dan menatap Seungcheol. "Hai, Seungcheol, maafkan temanku bila perbuatannya membuatmu terganggu, emm, dan.. untuk kalian juga maafkan temanku, silahkan dilanjutkan makannya. Hehe.." good point, ini pertama kalinya Jihoon berbicara didepan orang banyak selama ia hidup.
"Kau pernah bilang akrab dengan Choi Seungcheol." Wonwoo berbisik. Jihoon sudah kembali duduk dan orang-orang sudah kembali pada aktivitas nya saat Seungcheol tak merespon berlebihan. Sebagian dari mereka merasa kecewa karena nerharap ada sesuatu yang seru terjadi, misalnya perkelahian.
"Kami hanya sekedar kenal." Jawabnya sebelum mengalihkan pandangan pada Jeonghan yang mematung. "Jeonghan, kau tidak apa-apa?"
Tubuh laki-laki cantik itu mulai bergetar. Ia yang tadinya ingin bersenang-senang dengan Jihoon dan Wonwoo malah harus berakhir seperti ini. Ia bahkan harus rela bolos sekolah demi mengurangi beban pikirannya. Dan Seungcheol mungkin akan tidak senang jika mengetahui Jeonghan ada di sini.
Sejujurnya, saat ini ia bimbang. Yah, ada satu dua hal yang membuatnya terus kepikiran dari beberapa hari yang lalu. Sejak dirinya membeli sebuah benda panjang sempit dan mencobanya. Jeonghan tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia belum siap kalau boleh jujur.
Jeonghan, positif hamil.
Si brengsek Choi Seungcheol itu berhasil menanamkan benihnya di perut Jeonghan. Laki-laki dengan karakter keras yang ditemuinya tiga tahun yang lalu itu berhasil membuktikan kata-kata yang orang itu ucapkan saat mereka pertama kali bertemu. Sebaiknya ia harus segera memberitahu Jihoon dan Wonwoo, tapi sepertinya tidak sekarang dan di tempat ini.
***
"Aku terkejut kau tidak bereaksi lebih." Seokmin mengunyah kimcinya dan menyuap sesendok nasi.
"Aku lebih terkejut, kau berteman dengan seorang beta." Jun menimpali Seokmin.
"Apa aku terlihat berteman dengan mereka?" Seungcheol menaruh nampan makanannya di meja.
"Kau terlihat akrab dengan laki-laki pendek tadi." Timpal Jisoo
"Benarkah? Aku tidak berpikir seperti itu." Jawab Seungcheol.
Jisoo menggulirkan bola matanya. "Aku pun tak pernah berpikir seperti itu."
Mingyu memgambil posisi di samping Soonyoung. Laki-laki penyuka binatang itu menatap teman sepermainannya. Kemudian mengernyit karena mendapati Soonyoung tengah fokus akan sesuatu. Mingyu mengikuti arah pandang Soonyoung dan menemukan laki-laki yang menjadi objek pembicaraan teman-temannya. Laki-laki itu tampak menyadari bahwa ia sedang di tatap oleh Soonyoung. Ia tersenyum miring. "Kau tertarik dengan laki-laki itu." Bisiknya.
Soonyoung memutus tatapannya untuk menoleh pada Mingyu. Menatap laki-laki itu tajam sebelum kembali pada objek favoritnya. "Kalau tidak kau jawab berarti iya." Suara Mingyu sekali lagi menginterupsinya.
"Bisakah kau diam?" Tanya Soonyoung dingin.
"Ou, apa aku mengganggumu?" Mingyu cekikikan kecil. Jujur, ia tidak terlalu suka dengan Soonyoung. Sifat angkuh laki-laki itu kadang membuatnya jengkel.
Soonyoung menaruh seluruh perhatiannya pada Mingyu. "Bisakah kau diam?" Perlu diingat, ia sangat tidak suka diganggu.
Raut wajah Mingyu tiba-tiba berubah serius, tadinya ia hanya main-main saja tapi reaksi Soonyoung membuatnya marah. Ia memandang remeh Soonyoung sebelum beralih pada teman-teman lainnya. "Kalian ingin tahu sesuatu?"
Keempat orang lainnya menoleh serempak. Jun lalu menyahut. "Apa?"
"Mereka berdua, Jeon Wonwoo-laki-laki yang tadi di sebutkan Seungcheol- dan laki-laki pendek itu, mereka jerk off di gudang."
"Wow, mereka berani sekali. Siapa saja bisa mendatangi gudang." Seokmin melepaskan sendok yang sedang digigitnya. Ia lalu menoleh kearah dua orang yang disebutkan Mingyu. "Kau sungguh-sungguh melihatnya?" Lanjutnya.
Mingyu tersenyum kecil. Sambil menatap Soonyoung, ia berkata. "Aku tidak, tapi Soonyoung lihat."
"Dan kau tidak melakukan apapun pada mereka?" Tanya Jun.
"Kau mengangguku." Soonyoung berkata pada Mingyu.
"Aku tidak merasa mengganggumu." Mingyu balik berkata.
Seungcheol yang melihat perang dingin antara kedua laki-laki itu mencoba mengabaikan. Ia lebih terkejut dengan melihat Jeonghan duduk diantara Jihoon dan Wonwoo. Laki-laki itu bangkit, menghampiri mereka bertiga.
Jihoon terkejut. Ia menyentuh tangan Jeonghan ketika melihat Seungcheol mendekat. "Jeonghan, kurasa Seungcheol menyadari keberadaanmu."
"Apa?! Tidak mungkin." Jeonghan semakin menutupi wajahnya dengan tudung jaket.
"Dia menyadarinya Jeonghan." kata Wonwoo, ia  akhirnya tahu dan sedikit mengerti hubungan antara Jeonghan dan Seungcheol.
"Apa yang harus aku lakukan?" Jeonghan jadi degdegan tidak karuan. Ia menggigit bibirnya gugup.
"Tak ada yang bisa kau lakukan, minta maaf saja." Kata Wonwoo.
"Kau gila, dia tidak akan memanfaatkanku."
"Tunggu sebentar, sebaiknya ada yang lebih menarik dari pada itu."
"Apa?" Tanya Jihoon.
"Kim Mingyu dan Kwon Soonyoung berkelahi." Jawab wonwoo sam mengarahkan ujung telunjuknya pada keributan yang terjadi.
***
"Kau Boo Seungkwan?"
Laki-laki dengan tubuh berisi itu bergetar hebat, peluhnya menetes membajiri kepalanya. Entah keberapakali ia meneguk ludah, ataupun meremas ujung blazernya. Bibirnya tertutup rapat tak ingin mengeluarkan sepatah katapun yang mungkin akan membawanya ke neraka.
"Kenapa kau diam saja? Tidak dengar? Kau ini Boo Seungkwan atau bukan?!"
Teriakan orang itu membuatnya semakin ketakutan. Ini di taman belakang, walaupun ia pura-pura bukan Boo Seungkwan juga tidak akan ada yang tahu. Tapi ia tetap saja takut. Kalau suatu hari nanti kebohongannya terungkap bagaimana?
Tadi, sekitar setengah jam yang lalu, setelah kelimpungan mencari Jihoon, ia berakhir ditaman belakang. mengistirahatkan tubuhnya yang kehabisan tenaga. Saat itu ada beberapa orang disana sebelum akhirnya semua dari mereka kocar kacir melarikan diri saat sekumpulan alpha level A datang menyeret seseorang tidak berdaya dan memukulinya.
Namun ia tidak beranjak, hanya diam ditempat melihat pemandangan mengerikan karena terkejut. Hanya seseorang yang ia tahu ada dalam salah satu kerumunan itu. "Hong Jisoo"
Matanya seketika membelalak begitu kerumunan tadi bergerak menghampirinya membuat ia terpojok pada dinding dan orang-orang itu.
"Jawab aku tolol, kau ini Boo Seungkwan atau bukan?"
"Aku bukan Boo Seungkwan. Aku bukan Boo Seungkwan."
Laki-laki asing dihadapannya itu meremas rambutnya kesal. Ia sudah terlalu capek untuk menghajar orang. "Lalu siapa Boo Seungkwan ituu? Heh gendut, kau tau siapa dia?"
Seungkwan menggeleng cepat, walaupun ia marah disebut gendut, tapi ia tidak bisa meneriaki orang itu ataupun meninju perutnya.
"Sudahlah hansol, kau bisa dihukum guru gara-gara membuat keributan." Hong Jisoo menasehati sepupu ababilnya. Ia mendapat telepon dari Chan, teman hansol, ketika laki-laki keturunan barat itu membuat onar.
"Tidak bisa hyung. Aku harus tahu siapa orang bernama Seungkwan itu sekarang juga, sebelum mom pulang dari new york."
"Aunty ke korea? Ada apa?"
"Bertemu calon menantunya. Mom bilang ia bermimpi tentang calon mate ku. Ia hanya bilang mate-ku itu bernama Boo Seungkwan."
Seungkwan tak bisa lebih terkejut daripada ini. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Pikirannya melayang jauh, fokusnya sudah tidak terarah dengan baik. Telinganya juga berdengung. Mate dia bilang?
Dirinya dengan laki-laki asing itu? Tidak, Seungkwan sudah punya seseorang yang ia sukai.
"Kau sudah selesai?" Tanya Seungkwan ketika Hansol masih menyibukan diri dengan ocehan tidak jelasnya.
"Apa?"
"Kubilang, apa kau sudah selesai berurusan denganku? Aku ada keperluan lain." Seungkwan harus pergi ke ruang guru untuk menyelidiki apakah ada orang lain yang bernama Boo Seungkwan selain dirinya.
"Ya sudah, pergi sana."
"Kau menghalangi jalanku! Pindahkan tanganmu dari kedua bahuku. Aku merasa jijik."
Choi Hansol, menatap laki-laki dihadapannya tajam. Dilihat dari seragamnya orang itu beta. Heh, berani sekali dia berbicara seperti tadi pada seorang alpha. "Kau tidak sadar siapa dirimu, hah?"
Melihat aura hansol yang mulai berubah mencekam, Jisoo segera menarik tubuh Hansol menjauh. Beruntung hansol sedang lengah sehingga dengan mudah ia membawa laki-laki itu menjauhi Seungkwan. Antek-antek hansol pun ikut menjauh.
"Waw, tadi lumayan menyeramkan. Yak, Boo Seungkwan, kau berani sekali tadi, hahaha." Seungkwan berbisik, sambil terkekeh karena merasa menang. Ia lantas berlari menuju ruang guru, mengabaikan bel masuk pelajaran kelima.
***
Wonwoo mengurut matanya yang lelah. Ia dalam perjalanan ke toilet sekarang, setelah meminta izin pada bu Yoona yang cantik di tengah perlajarannya. Walaupun menjadi omega, Wonwoo masih senang menggoda wanita-wanita cantik yang lewat di depannya.
Keributan di kantin sejam yang lalu menjadi kejadian yang tak terlupakan bagi Wonwoo. Ia bisa melihat Kim Mingyu dipukuli sampai babak belur oleh Kwon Soonyoung merupakan suatu kepuasan baginya. Wonwoo merasa Soonyoung sudah mewakili keinginannya untuk meninju wajah Mingyu. Si brengsek kim Mingyu itu, Wonwoo tidak bisa melupakan setiap sentuhannya. Sialan, bagaimana caranya menghilangkan pikiran itu!
'Gila.. gila.. gila.. Sinting.. sinting.. sinting.. Jeon Wonwoo kau sinting... tunggu, apa itu?'
Wonwoo berhenti di depan mading sekolah, ditengah kegiatan mengumpatnya. Disana terdapat puluhan foto Mingyu dan Soonyoung yang berkelahi hingga babak belur. Ia mengumpat dalam hati sambil menahan tawanya.
Tiba-tiba dua tangan besar mencabuti semua foto-foto itu. Spontan Wonwoo menoleh, ia mendapati Mingyu dengan tempelan kain kasa di sana sini. Dan laki-laki itu tidak bisa menahan tawanya kali ini.
"Beraninya kau tertawa, brengsek!" Mingyu mencengkram kerah Wonwoo dan menabrakan tubuhnya pada mading.
Wonwoo meringis kesakitan. Ia mencoba melepaskan cengkraman tangan Mingyu. "Lepaskan!" Dan lagi, hal yang membuatnya waspada adalah wajah Mingyu yang terlalu dekat dengan wajahnya.
"Kau pikir, aku akan menurutimu?"
"Lepaskan, Kim Mingyu ?!"
Mingyu menggeratkan cekramannya pada kerah Wonwoo, kali ini laki-laki omega itu mulai merasakan sesak. "Siapa laki-laki pendek tadi. Dan apa hubungan dengan Kwon bajingan Soonyoung!"
"Laki-laki pendek? Siapa maksudmu. Akh argh lepaskan Mingyu, ini mulai mencekikku."
"Kau tahu apa maksudku. KATAKAN SIAPA LAKI-LAKI ITU!" Mingyu berteriak tepat di depan wajah Wonwoo.
Wonwoo memundurkan wajahnya, ia kaget, tentu saja. Lagi pula siapa yang dimaksud Mingyu? Ah, jangan-jangan! "Laki-laki yang berbicara dengan Seungcheol?"
"Ya."
"Lee Jihoon."
"Aa, Lee Jihoon." Mingyu hampir saja lengah, saat Wonwoo berusaha menampik tangannya. "Apa hubungannya dengan Soonyoung."
Wonwoo menggulirkan matanya. Ia sedang lelah untuk melakukan tanya jawab tak bermanfaat dengan orang yang sedang marah. Tapi ia harus menghadapinya, kalau tidak lehernya bisa retak. "Aku tidak tahu. Bukannya kau teman Soonyoung."
"Kau juga teman laki-laki itu, kau pasti tahu."
"Kami belum terlalu akrab, aku tak begitu tahu mengenainya..a"
"FUCK!"
Wonwoo melotot horor saat dirasa sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Meraupnya dengan rakut, mengunyah bibirnya bagai lapisan daging yang paling keras dan ingin dihancurkan.
Wonwoo memberontak. Ia berusaha mendorong dada Mingyu yang tiba-tiba sekeras batu itu, atau kekuatannya yang melemah, yang pasti ia tak berhasil menyingkirkan Mingyu seinchi pun.
Mingyu masih memagut bibir tipis Wonwoo. Menyalurkan segala amarahnya pada daging tak berdaya itu. Ia tak peduli dimana mereka berada sekarang. Ia tak peduli bila ada orang yang tiba-tiba lewat. Ia hanya ingin fokus pada objeknya dan menikmatinya.
Wonwoo menggigit bibir bawah Mingyu, hingga laki-laki jangkung itu mengaduh. Cara ini hampir berhasil membebaskan Wonwoo dari cengkraman Mingyu, kalau saja laki-laki alpha itu tidak kembali mencengkram lehernya. "Apa yang kau lakukan."
Mata Mingyu berubah lebih tajam, cukup tajam untuk membuat Wonwoo bergidik. Ia menelan ludahnya kasar seiring Mingyu mendekatkan bibirnya lagi pada Wonwoo. "Aku tidak mau."
"Apa?"
"Aku tidak mau menciummu."
"Kalau begitu biarkan aku yang menciummu." Mingyu kembali akan menyatukan bibir mereka, namun Wonwoo menghindar.
"Sama saja, Kim Mingyu. Lagi pula ini di tengah koridor, bagaimana jika ada yang lihat."
"Jadi, kalau kita melakukannya di kamarku kau mau."
"Tidak. Aku a-alpha."
"Kenapa tidak. Heh, Jeon Wonwoo, orang-orang rela mengantri untuk menciumku. Kali ini kau kuberi gratis dan nikmat. Apa yang kau pikirkan?" Mingyu tersenyum miring. Mengagung-agungkan dirinya adalah salah satu kegiatan yang di sukai Mingyu.
"Apa yang ada dipikiranku adalah, kau menjijikan." Ini, tentu saja sebuah kebohongan besar dan Wonwoo mengakui itu.
Mingyu merasa dihina. Darahnya sudh naik ke ubun-ubun. "Kau ingat kejadian di gudang waktu itu?"
'Deg'
"Aku punya fotonya."
'Deg'
"Kau tidak berpikir apa yang bisa aku lakukan dengan foto itu?"
***
"Jadi namamu siapa?"
Mata itu selalu menjadi mimpi buruk untuk Jihoon. Apalagi jika ditatap dengan jarak sedekat ini. Jihoon tertunduk, ia memainkan ujung blazernya sambil menggigiti bibir bawahnya yang memerah. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan orang itu. Lebih tepatnya takut jika satu suara yang ia keluarkan akan membahayakan dirinya.
"Siapa namamu?" Orang itu rupanya masih sabar, dilohat dari intonasinya yang tidak berubah.
Sambil gemetaran, Jihoon berkata. "Lee --Ji. Lee Wooji." Dan diakhiri dengan ringisan kecil. Entah bohong itu pilihan yang baik atau tidak.
Orang itu namapaknya kurang puas. Ia mengangkat dagu Jihoon, tetesan air dari rambut yang sama pekatnya dengan matanya mengenai dagu Jihoon. Perbedaan tinggi badan yang tidak terlalu jauh ini membuat Jihoon dapan mencium aroma pasta gigi yang sudah dipakainya. "Lee Wooji? Kau tidak berbohong kan?"
"Namaku Lee Wooji, Kwon Soonyoung."
Laki-laki bernama Kwon Soonyoung itu menyeringai. Ia mengangkat tangan kanannya yang menjuntai untuk membelai pipi kiri Jihoon. Jangan lupakan dada yang tak dibalut oleh apappun itu semakin mendekati Jihoon. "Kau tahu, aku akan sangat marah jika seseorang berbohong padaku." Seringainya semakin membuat Jihoon ciut.
Jihoon tak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi. Ini jauh dari ekspektasinya. Selama jam makan malam, ia tidak pergi ke kantin asram bersama teman yang lainnya. Tidak juga menerima ajakan Lee Chan untuk menonton film horor atau menerima tawaran Jeonghan untuk mampir ke asrama omega. Ia malah pergi ke kamar alpha untuk menyelidiki siapa pemiliknya. Tapi sepertinya Jihoon menyesali perbuatannya. Ia lebih baik tak tahu kalau akhirnya jadi begini.
"Tatap mataku dan katakan siapa namamu, aku memberikan kesempatan satu kali lagi."
Tubuh Jihoon semakin gemetaran. Perlahan ia mendongkakan kepalanya. Genggaman pada ujung blazernya berubah menjadi kucekan hebat. Ia masih bimbang, apakah ia harus memberitahu nama aslinya pada Jihoon atau tidak. Namun ketika mata mereka terkunci, Jihoon tak sadar apa yang ia katakan. Hanya mengalir bersama lelehan airmatanya.

***TBC***
Maaf untuk Jihoon biased saya menyebutnya pendek beberapa kali, bukan untuk menghina atau sebagainya tapi tak lain untuk kebutuhan cerita.
Daan terimakasih untuk readers yang mau membaca ff abal-abal saya ini. Semoga tidak mengecewakan. Hehe
Terima kasih, silahkan memberi komentar yang membangun :)

Hide Your HeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang