Cara Mencetak Wartawan yang Hebat

118 2 1
                                    


Jaman kebebasan informasi ini "memanjakan" media. Tidak ada izin untuk membuat media, siapa saja bisa menerbitkan koran, majalah, buletin, dan sebagainya. Dengan semakin berkembangnya jumlah media, wartawan pun makin banyak. Tidak ada syarat khusus jadi wartawan. Beberapa media yang mapan memang membuat syarat yang ketat. Tapi tidak ada jaminan setiap media menyeleksi wartawan dengan baik. Dalam kondisi ini, muncul kategori wartawan yang beragam.

Ada istilah WTS (wartawan tanpa surat kabar), wartawan amplop, wartawan abal abal dan sebagainya. Beberapa warga mengeluhkan sikap "wartawan" yang berperilaku bak jaksa bukan pencari informasi. Para mandor proyek kadang didatangi wartawan yang hendak "memeriksa" dan biasanya damai dengan konsep UUD (ujung-ujungnya duit).

Jika ini terus berlangsung, kredibilitas media bisa menurun di masa mendatang. Adalah tugas seluruh pengelola pers untuk memastikan perilaku wartawan di lapangan mematuhi kode etik. Profesi wartawan harus dirumuskan secara profesional. Wartawan seharusnya memiliki jenjang yang bertahap dengan kualifikasi tertentu. Berdasarkan pengalaman saya, untuk menjadi wartawan ada beberapa jenjang.

Pertama, proses recruitment. Proses perekrutan wartawan tidak memiliki panduan baku. Karena itu, setiap media memiliki cara sendiri-sendiri dari yang paling ketat sampai yang paling longgar. Pada perusahaan media yang mapan, setidaknya ada beberapa tahap perekrutan: seleksi administrasi, tes kemampuan umum, psikhologi, wawancara, dan kesehatan.

Tes tambahan kadang diperlukan seperti kemampuan bahasa asing khusus jika media bersangkutan memerlukan. Berbagai tes itu bisa memakan waktu beberapa bulan. Perusahaan harus meluangkan waktu dan biaya untuk proses perekrutan ini.

Dampak positif dari proses ketat ini adalah wartawan yang terjaring relatif berkualitas. Tapi, di sisi lain tingginya kualitas wartawan menuntut gaji yang besar pula. Ini berarti proses perekrutan wartawan yang ketat hanya dilakukan perusahaan yang serius mendirikan media dengan modal keuangan memadai.

Di beberapa media dengan modal kecil, proses perekrutan seringkali terlalu "ringan". Ini bisa dipahami karena merekrut wartawan perlu biaya tidak sedikit. Perusahaan juga tidak sanggup membayar gaji tinggi untuk wartawan yang berkualitas. Konsekuensi dari proses perekrutan semacam ini adalah mutu wartawan yang dihasilkan tidak memenuhi standar yang sesuai.

Kedua, proses pelatihan wartawan. Pada perusahaan media yang mapan, sebelum diterjunkan ke lapangan, wartawan diberi training yang memadai. Mereka harus melalui beberapa tahap pelatihan: training kelas dan praktek lapangan. Pada training kelas minimal satu pekan, wartawan dikenalkan dengan berbagai pengetahuan umum tentang visi dan misi perusahaan, teknik wawancara, teknik membuat laporan, teknik lobi, kode etik dan sebagainya. Setelah menjalankan training di kelas, mereka diterjunkan ke lapangan untuk uji coba. Hasil laporan mereka dinilai terus menerus sampai bagus.

Ketiga, proses magang. Wartawan baru tidak langsung wawancara sendiri ke sumber berita. Mereka dimagangkan dulu dengan wartawan senior untuk beberapa lama, bisa satu bulan, atau tergantung kemajuan wartawan tersebut.

Keempat, setelah itu wartawan baru dikontrak kerja dengan pembinaan terus menerus. Jadi, sesungguhnya mutu wartawan tergantung beberapa hal seperti perekrutan, pembinaan, dan tentu tingkat kesejahteraan.

Tanpa training secara terus menerus, maka wartawan akan terhambat perkembangannya. Dalam perjalanan karier, jiwa wartawan harus dibentuk melalui training yang intensif agar mereka bisa menjadi penulis berita yang bertanggung jawab.

Wartawan bertanggung jawab terhadap publik, meski dia tidak menggunakan dana APBN. Inilah yang unik dari pekerjaan wartawan. Jika mereka tidak menyadari posisinya ini, maka sangat rentan wartawan salah jalan. 

Cara Kerja Wartawan Sehari-hariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang