Wartawan Harus Menulis Kreatif

583 2 3
                                    


Pada saat saya, Rihad Wiranto, mengisi sebuah acara diskusi, seorang wartawan muda bertanya;

"Saya kadang dimarahi oleh redaktur karena tidak mendapatkan berita yang ternyata dimuat di media lain alias bobol. Padahal saya sedang mengerjakan berita lain di waktu yang sama sehingga tak bisa meliput acara itu. Bagaimana mungkin wartawan bekerja di dua tempat yang berbeda pada waktu yang sama?"

Meskipun pertanyaan sederhana, tapi dibalik semua itu terdapat masalah pers modern sekaligus dilema wartawan sehari-hari.

Dalam persaingan media yang ketat, wartawan dituntut bisa menguasai medan peliputan dengan baik. Tapi sebenarnya tidak selalu wartawan lapangan yang divonis salah dalam kasus seperti ini.

Sebuah berita seharusnya direncanakan. Wartawan tidak hanya menampung berita yang datang. Tapi wartawan perlu membuat agenda pemberitaan yang kira-kira menarik dan menjadi perhatian publik.

Cara kerja ini memerlukan kerjasama dengan redaktur. Artinya redaktur dan wartawan punya target berita yang ingin diliput hari ini. Jika wartawan diarahkan untuk meliput berita demo di Monas Jakarta, misalnya, maka dia harus bisa membuat liputan sedalam mungkin di sana.

Bagaimana kalau ada kejadian lain, katakanlah, kebakaran di sekitar Monas apakah otomatis wartawan disalahkan jika tidak meliput?

Itu tergantung kerjasama dengan redaktur. Kalau disepakati demo lebih menarik, maka kebakaran diabaikan atas perintah redaktur. Jadi jangan sampai redaktur tak peduli, lalu wartawan disalahkan karena tidak meliput kebakaran, sebuah peristiwa yang tidak direncanakan untuk diliput sebelumnya.

Wartawan yang keseringan disemprot redaktur karena dinilai kebobolan, bisa frustasi dan mengambil jalan pintas dengan mencontek liputan orang lain.

Dalam era industri pers, dimana wartawan dikejar dengan target jumlah berita, kebiasaan kloning atau mengcopy berita orang lain bisa merajalela.

Ini biasa terjadi pada rombongan wartawan yang biasa berkumpul sehari-hari di sebuah lembaga, atau wilayah liputan tertentu. Mereka terbiasa bertukar-tukar informasi liputan. Dengan cara ini, produktivitas wartawan cukup tinggi karena bekerja sama satu dengan yang lain.

Dalam sebuah lokasi yang berbeda dan waktu yang sama, wartawan masih bisa melaporkan peristiwa itu kepada redaktur meski wartawan tidak meliput langsung. Wartawan bisa berbagi informasi dengan rekan lain.

Ini gaya jurnalistik yang lazim sekarang ini. Wartawan menjadi pegawai pelapor peristiwa dengan target jumlah berita per hari.

Apa dampak atas liputan dengan gaya seperti itu kepada kepada jurnalis?

Pertama, ada kecenderungan media menulis informasi yang seragam dalam sebuah kasus. Ini terjadi karena gaya kerja wartawan yang cenderung "menampung" dan tidak "mengolah" berita.

Misalnya saja, berita di sekitar KPK yang sering diliput wartawan secara bergerombol. Wartawan yang ditarget jumlah berita cenderung untuk menampung kutipan dari sumber berita katakanlah jubir KPK Johan Budi, di lokasi yang juga diliput banyak wartawan lain.

Liputan diserahkan kepada redaktur segera usai wawancara dengan alat komunikasi yang sekarang sudah canggih. Itu adalah berita pertama.

Berikutnya wartawan bersama jurnalis lain mengerubuti dan mewawancarai sumber lain, katakanlah seorang tersangka. Setelah diedit sebentar, berbagai kutipan dilaporkan lagi ke redaktur. Ini adalah laporan kedua.

Peristiwa ini berlangsung terus seharian sampai target jumlah berita yang dibebankan tercapai. Karena peristiwanya sama, maka jika laporan hanya merujuk kepada kutipan, maka hasil beritanya akan sama di berbagai online atau koran.

Jika pemberitaan sejenis hadir di berbagai media, maka berita berubah menjadi komoditas. Berita merupakan produk primer seperti produk pertanian katakanlah kelapa, coklat, kopi, yang tidak ada bedanya satu dengan yang lain.

Seperti halnya produk pertanian, berita yang serupa komoditas ini akan "murah" ketika melimpah. Apa bedanya membaca koran A dengan B,C dan seterusnya kalau isinya kembar?

Jika melimpah berita yang kembar, maka publik cenderung membeli media yang termurah atau membaca media gratis. Bisa dipahami jika online adalah pilihan yang makin disuka publik karena sejauh ini tidak perlu bayar. Sangat terasa saat ini, kebanyakan koran adalah pengumpul berita-berita yang sudah ada di online secara melimpah.

Kedua, cara kerja jurnalis yang mirip buruh pabrik ini, membuat profesi wartawan bersifat sangat teknis dan menjauhkan diri dari unsur kreativitas. Dia adalah pengumpul informasi yang kemudian ditulis dengan standar penulisan media pada umumnya, lalu diterbitkan.

Cara kerja wartawan menjurus kepada industri perakitan. Kalau kita mengacu kepada industri komunikasi, perakitan merupakan industri dengan nilai tambah paling kecil.

Semikonduktor dalam industri komputer adalah pengumpul laba terbesar bersama industri pembuat produk akhir yang mengandalkan kreativitas program.

Dalam industri garmen, tukang jahit juga dihargai lebih rendah dibandingkan desainer.

Dunia wartawan sudah memasuki industri perakitan. Para tukang jahit berita ini kenyataannya mulai merasakan dampaknya, terlihat dari kompensasi gaji yang semakin tidak kompetitif dibandingkan industri lain.

Para pemilik media melihat profesi wartawan adalah mudah dan murah. Jika keluar satu pegawai, maka yang antre sudah banyak.

Ketiga, wartawan harus keluar dari jebakan industri perakitan berita. Berita yang dibuat wartawan, selama ini biasanya adalah sekumpulan kutipan tanpa olahan yang berarti.

Saatnya wartawan masuk wilayah kreativitas informasi. Kita bisa belajar dari industri hiburan yang bermuatan informasi. Di jaman dahulu, orang mendengar dalang bercerita secara lisan. Lalu muncullah wayang sebagai peraga atas informasi lisan. Masyarakat terus berinovasi hingga muncul hiburan film dua dimensi lalu tiga dimensi dan seterusnya.

Mereka terus berevolusi dengan mengandalkan kreativitas sebagai senjata utamanya.

Televisi termasuk yang kreatif dengan berita bercampur hiburan, seperti talkshow, wawancara dengan gaya yang kocak, acara debat plus hiburan lagu maupun lawak dan seterusnya, -Informasi bisa bergabung dengan hiburan.

Intinya ada kreativitas yang seharusnya menjadi ruh wartawan. Buang predikat wartawan sebagai juru ketik atau tukang jahit berita. Kreativitas mempunyai harga di publik.

Mengapa sebuah buku, lukisan, lagu, film tertentu, menjadi mahal? Itu karena mereka unik, kreatif. (Rihad Wiranto).

Cara Kerja Wartawan Sehari-hariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang