1. Manusia batu.

16.8K 977 45
                                    

Tentang Karang :

1. Karang itu batu.
2. Karang itu galak.
3. Karang itu beku.
4. Karang pasti nyebelin.
5. Karang mirip sama manusia batu di Upin-Ipin.
6. Gue bukan pacarnya Karang.
Kalau Karang baca ini gue bakal lari ke planet Mars.

"Lo nulis apaan?"

Seketika Pelita menutup buku catatannya, dia menarik benda itu dan memasukannya ke laci meja. Ia mendapati Anggi sudah berada di sebelahnya sambil membungkuk dengan tatapan penuh curiga, tapi gerak-gerik Pelita memang cukup mencurigakan.

"Lo lama di situ?" tanya Pelita gugup, "Chintya sama Kamila mana?" Ia mencoba alihkan topik pembicaraan.

Anggi menegakan tubuhnya, matanya menyipit menatap Pelita. Tangannya menarik kursi di sebelah sebelum menghempas pantat di sana, ia menopang dagu tanpa alihkan fokus dari sahabatnya, beribu pertanyaan kini berbaris menunggu jawab.

"Lo suka sama Kak Karang?" terka Anggi usai menyimpulkan sesuatu dari tulisan Pelita yang kebetulan telah dibacanya, tapi tiba-tiba Pelita membekap mulut gadis itu—membuat Anggi refleks mendorong sahabatnya hingga tersungkur ke lantai. "Lo mau matiin anak orang!" Anggi beranjak seraya atur napasnya.

"Kalau anak setan yang dimatiin nggak ada faedahnya, Anggi!" Pelita ikut kesal, ia bangkit sendiri dan kembali duduk di kursinya.

"Setan lo ah!"

"Nggak deh, Anggi cantik deh. Bisa nggak kalau ngomong jangan kenceng-kenceng, nggak sekalian tadi pakai toa," cibir Pelita saat kedua tangannya merogoh laci meja dan keluarkan buku yang telah disembunyikannya.

"Nggak sengaja tadi, beneran lo suka sama Kak Karang?" Kali ini Anggi memelankan suaranya.

"Enggak."

"Terus yang lo tadi tulis itu apa coba? Mana sini gue lihat, udah telanjur gue baca, jadi jangan pelit. Nanti makin kecil badan lo digerogotin dosa."

"Yang benar aja!" Pelita menggeser buku tulisnya pada Anggi yang lebih mirip singa kelaparan saat gerakan cepatnya membuka buku milik Pelita dan membacanya ulang.

"Nah lo nomor enam!" Telunjuk Anggi menyentuh nomor enam. "Tulisannya bilang kalau lo bukan pacar Karang, what? Lo pacaran sama Kak Karang? Jadi bukan sekadar suka lagi? Lo selingkuhin Ardo? Hebat si Pelita emang." Anggi bertepuk tangan, merayakan kesialan yang menimpa Pelita.

"Untung lo teman gue, Nggi. Kalau orang asing udah gue mutilasi terus bakar sekalian. Dengerin dulu." Segera Pelita merobek kertas berisi tulisan itu dan meremasnya hingga tak berbentuk lagi.

"Coba jelasin dong, katanya teman. Teman tapi teman, kan?"

"Berisik lo ah!" Pelita hela napas sebelum melontar kata lanjutan. "Jadi gini, semalem Ardo kalah balap sama Karang, yang dia taruhin itu malah gue coba—"

"Habis itu lo jadi miliknya Kak Karang? Lo jadi yang kedua selain Valerie itu? Amazing banget lo, Ta."

Dengan kesal Pelita melempar kertas yang sudah ia remas ke wajah Anggi.

"Nggak bisa diem dulu sih lo, Nggi. Intinya kayak gitu deh, si Ardo emang tololnya kebangetan. Kalau tahu begini dulu pas awal pacaran gue santet tuh anak biar nurut."

"Songong lo, eh serius lo pacaran sama Kak Karang?"

Pelita benar-benar harus merutuki nasib buruk yang menimpa. "Nggak tahu juga, Nggi. Gue harap sih enggak sama sekali, lo tahu kan Karang itu kayak gimana bentuk sama sifatnya." Dia sandarkan kepalanya di atas meja dengan posisi miring menatap jendela kelas, beberapa orang terlihat hilir-mudik di koridor kampus. Sampai hari ini semua masih terasa aneh, Pelita enggan menerima apa pun yang terjadi kemarin malam, ia bisa putus dengan siapa saja, tapi jika harus menjadi yang kedua pun karena terpaksa—semua seperti tali yang mencekik leher tanpa ampun, terasa sesak dan menyakitkan.

Danke (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang