4. Possesive boy.

11.6K 846 15
                                    

Sepasang manusia yang telah berkali-kali melempar ejekan serta mengolok-olok satu sama lain hanya karena game bola terlihat kelelahan, terutama Pelita yang lelah tertawa sampai ia melupakan waktu. Sekarang sudah pukul tujuh malam, harusnya ia sudah berada di rumah dan tak membuat Mona—sang ibu—khawatir, ia bahkan lupa memberinya kabar.

Gadis itu meletakan konsol di permukaan permadani, ia beranjak raih ransel yang tergeletak di nakas, meraih ponsel di sana dan kembali bersila di sisi Karang. Benar saja, cukup banyak notifikasi chat yang masuk ke ponsel, bahkan beberapa panggilan dari Mona, gadis itu sampai menggigit bibir.

Karang menoleh perhatikan wajah gadis yang lebih didominasi rasa cemas. "Mau pulang?"

Pelita menatapnya, mengangguk cepat. "Boleh, kan?"

"Sebentar." Karang beranjak hampiri lemari besarnya, meraih sebuah kaus serta celana jeans. Tanpa aba-aba ia meloloskan kaus hingga tubuh shirtless itu bisa dilihat Pelita tanpa sensor sedikit pun, belum lagi celana yang kini Karang loloskan tanpa ragu meski ada perempuan di kamar apartemennya, menyisakan boxer hitam sebelum ganti semua yang terlepas dengan semua yang ia ambil di lemari tadi.

Saat itu, Pelita membatu, bola matanya membulat seraya rasakan debar jantung yang mulai tak keruan. Bisakah Karang bertingkah normal di depan gadis yang baru saja menginjak lantai apartemennya hari ini, bisakah Karang menganggap ia ada di sana dengan tidak melakukan sesuatu sembarangan?

Zeus, kutuklah Karang!

"Gue antar sekarang," ucap Karang usai berganti pakaian, ia menatap Pelita seolah tak terjadi apa-apa, seolah yang baru terjadi adalah hal biasa. Gadis itu juga buru-buru alihkan pandang, untung saja otak warasnya tak berpikir macam-macam.

"Ak-aku minta air putih, ya." Pelita beranjak hampiri kulkas di dapur, mengeluarkan sebotol air mineral dingin dan meminumnya, ia butuh sekadar menetralisir hawa panas yang mulai menyerang bagian dalam. Bukan apa, tapi berlama-lama berada di dekat Karang benar-benar tak baik untuk kondisi bola mata serta jiwa yang sehat.

"Mau kan gue antar?" Laki-laki itu rupanya bersandar di sisi pintu, untung saja Pelita tak miliki riwayat penyakit jantung, tapi tetap saja, ia benar-benar harus menjaga jiwa raga saat di dekat Karang. Ya, meskipun Karang bukan pencabut nyawa, tapi setiap sikapnya cukup menjengkelkan dan tak bisa terbaca.

Pelita membuang botol kosongnya pada tempat sampah di dekat rak piring. "Nggak usah repot-repot, Kak. Aku bisa naik taksi kok."

"Nggak bisa, gue pacar lo dan wajib anter lo ke mana-mana, bukannya Ardo juga gitu?"

Ardo? Dia baru teringat laki-laki itu hampir seminggu ini tak pernah berhubungan lagi. Pelita memalingkan wajah, membuang helaan napas pasrahnya, ia yakin semua akan lebih sulit dari bayangannya.

"Jangan ngelamunin mantan," cibir Karang.

Mata Pelita mengerjap beberapa kali. "Siapa yang ngelamunin mantan, enggak tuh."

"Jadi lo benar-benar lupa sama dia? Gampang move on dong."

Pelita mengedik bahu, ia enggan menyahut sebelum melengos lewati Karang, masuk lagi ke kamar sekadar meraih ranselnya.

"Whatever, lo punya gue sekarang," ucap Karang terang-terangan, tak peduli dengan pikiran gadis itu saat ini. Ia melangkah hampiri pintu utama bersamaan Pelita mengekor di belakangnya. Namun, tepat saat Pelita berdiri di belakang Karang, menantinya membuka pintu agar mereka lekas lenyap dari sana, sosok tinggi itu tiba-tiba memutar tubuh, meraih pinggang Pelita sekadar memangkas jarak mereka.

"Ap—"

"Apa?" Karang menyeringai saat Pelita sibuk memberontak. "Kok gitu? Emang sama Ardo ngapain aja?"

Danke (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang