42. Dekap.

9.3K 455 3
                                    

Kedua bola matanya mengamati sebuah video yang tampil pada layar laptop milik Karang, video Pelita saat masa OSPEK tengah bernyanyi sembari memangku gitar, ternyata Karang memang sudah menyukainya sejak lama. Gadis itu melukis senyum, tapi juga merasakan pedih.

Andai dia tahu fakta itu sejak lama pasti takkan banyak luka bermunculan, makin bernanah. Hanya saja Tuhan memang pengatur segalanya, pengatur bagaimana manusia harus bertemu dan saling mengenal, tentang punya rasa atau tidak semua urusan waktu.

Ia merasa bersalah, atas segala ucapannya pada Karang. Soal Sofi, Pelita tak pernah mengira dengan semua fakta pahit itu. Apalagi selama ia mengenal Sofi, wanita itu tak pernah mengatakan jika dirinya punya anak laki-laki lain yang ia tinggalkan. Apa memang Sofi enggan mengakui Karang sebagai anaknya? Apa memang Sofi benar-benar lupa pada status telah memiliki anak dengan orang lain.

"Minum." Karang meletakan segelas jus jeruk di permukaan laci kecil sisi ranjang sebelum ikut bersila di sisi Pelita. Gadis itu tersenyum seadanya, masih terpaku pada semua ucapan Karang tadi. "Kok tambah cantik ya." Karang menyelipkan jemarinya di antara rambut pendek Pelita, halus.

Gadis itu masih diam, masih bernapas jadi tak perlu khawatir jika ia diam karena mati.

"Pelita mikirin apa?" tanya Karang.

"Kamu." Gadis itu menutup laptop usai video yang ia lihat selesai, lalu memindahkan benda itu ke permukaan laci, di sisi jus jeruk.

"Nggak perlu, nanti sakit."

"Ya emang udah sakit, bukannya begitu? Kenapa kamu nggak coba blak-blakan bilang ke Tante Sofi kalau kamu anak kandung dia, kenapa?"

Karang bersandar pada bahu ranjang, ia memilin rambut Pelita. "Nggak perlu, apa berguna buat dia. Dia juga udah punya anak, laki-laki juga."

"Tapikan dia juga punya kam—"

"Psst ...." Telunjuk Karang lebih dulu mengunci bibir Pelita agar tak melanjutkan bicaranya. "Kamu sayang sama aku, kan? Jangan bahas itu lagi, cukup kamu tahu aja. Biar semua urusan aku yang selesaikan."

Karang menarik lengan Pelita agar ia ikut bersandar di sebelahnya, membuat jarak mereka kian dekat.

"Jangan pikirkan hal apa pun selain kita berdua, kamu masih punya aku, kan?" Tangan Karang membelai kepala Pelita, kembali memilin rambutnya.

Gadis itu mengangguk, menatap manik yang sempat menangis karena dirinya.

"Banyak hal yang aku lewati, Ta. Kalau manusia diciptakan tanpa masalah artinya dia nggak hidup."

"Kamu kuat."

"Karena kamu."

"Aku minta maaf."

"Nggak perlu, kamu emang nggak tahu dan kamu korbannya. Aku yang minta maaf."

Pelita mengulas senyum, ia merasa memiliki sesuatu yang harus dilindungi dan dijaga, itu Karang.

"Pelita."

"Kenapa?"

"Kamu masih punya aku, kan?"

"Kenapa nan—" Mulutnya terkunci oleh bibir Karang yang menghampiri. Jemari tangan kanannya mengusap lembut pipi gadis itu.

Tak berapa lama bibir mereka terlepas, Karang mengajak Pelita untuk duduk berhadapan dengannya.

"Karena aku nggak mau usik kebahagiaan mereka, belum tentu mama memang mikirin aku. Itu yang aku lihat," ujar Karang.

"Harusnya kamu tanya secara langsung, bukan sembunyi begini."

"Waktunya belum tepat."

"Kenap—" Bibir Pelita kembali direnggut oleh Karang, posisi duduk berhadapan itu cukup mengganggu hingga Pelita terpaksa berdiri dengan lutut, membuatnya lebih tinggi dari posisi Karang. Sengaja Karang menekan pelan tengkuk Pelita agar ciuman mereka lebih dalam, gadis itu membuatnya benar-benar kecanduan.

Danke (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang