32. Doubt.

8.9K 520 12
                                    

Jus melon di depannya hanya terus ia aduk dengan sedotan tanpa tersentuh bibir, pandangannya juga kosong entah ke mana sejak ia masuk ke dalam kafe itu. Pelita bosan, ia akan mengakui hal itu. Sampai berapa lama dia akan menunggu Karang datang dan harus berdua saja dengan Rangga yang lucu itu.

Sedangkan Rangga justru asyik dengan nasi goreng rendang yang ia makan, ia begitu lahap sampai tak memperhatikan gadis cantik yang duduk di sebrangnya tengah kehilangan isi kepala. Mungkin sudah penuh atau memang tak ada yang mengisi.

Rangga meneguk air mineral dari dalam botol hingga tak bersisa, barulah ia mengamati Pelita yang terus saja melamun tanpa arah. Apa laki-laki tampan di depannya tak terlihat?

"Hey," panggil Rangga.

Gadis itu tak menoleh.

"Hey," panggil Rangga lagi.

Pelita masih saja belum sadar.

"Hey," ulang Rangga untuk ketiga kalinya, barulah gadis itu menoleh.

"Hey, Tayo, hey, Tayo. Dia bis kecil ramah," celetuk Rangga menyanyikan lagu anak kecil itu sembari mengalihkan pandang, sengaja meledek Pelita.

Pelita kesal dan menarik beberapa tissue yang terhidang gratis di atas meja, ia menggumpalkannya dan melempar benda itu ke wajah Rangga. "Gue nggak ada receh, semut!" gerutu Pelita.

Rangga terkekeh geli, akhirnya raut menggemaskan gadis itu muncul juga. "Nah gitu dong, lampu. Mikirin siapa? Di depan lo udah ada orang ganteng kenapa masih ngelamun aja? Ya walaupun lebih ganteng Karang mungkin, menurut lo."

"Berisik ah, gue mau pulang aja!" Pelita meraih ponsel yang ia letakan di permukaan meja sebelum beranjak, kekecewaan kembali hinggap, mengapa datangnya bertubi-tubi dalam jangka sehari?

"Heh! Mau ke mana? Karang aja belum datang, katanya nungguin dia di sini, kan? Kenapa mau main pergi aja."

Pelita menatap Rangga. "Sekarang udah jam berapa, semut? Gue udah satu jam nunggu di sini dan dia enggak datang-datang tanpa kabar. Kalau lo mau di sini aja ya silakan, gue mau pulang." Gadis itu benar-benar melenggang pergi.

"Buset, pergi beneran malah. Kalau dia nggak ada sama gue, bisa habis sama Karang. Bikin gemes aja si Dede," celetuk Rangga sambil menggendong ranselnya, ia beranjak menghampiri Pelita yang sudah keluar dari kafe.

Gadis itu berdiri di tepi jalan, menunggu taksi untuk mengantarnya pulang ke rumah. Ia benar-benar kesal dengan Karang yang sudah terlihat hanya mempermainkannya saja, sekali lagi gadis itu mengecek ponsel dan keadaan masih sepi, ia berdecak.

"Jangan pulang sendirian," seru Rangga yang kini sudah berdiri di sisi Pelita.

Gadis itu menatapnya datar, "Gue enggak sendirian kok, nanti supir taksi juga bakal temenin sampai rumah." Lalu menjulurkan lidahnya.

Dasar makhluk Tuhan yang diciptakan laknat, batin Rangga menggelitik. Ia menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Jangan pulang sama orang asing, nanti lo diculik gimana?"

"Nanti gue ajak kenalan dulu si supir, jadi nggak akan asing lagi. Ngapain si lo ribet sendiri, teman lo aja nggak peduli gue mau pulang sama siapa," gerutu Pelita kecewa karena Karang ingkar janji, untuk pertama kali.

"Ya gue mana tahu urusan dia, gue diciptakan sebagai manusia ya. Bukan sebagai malaikat pencatat amal baik dan buruk yang harus selalu ada di sisi dia. Lo pulang sama gue," ajak Rangga.

"Ogah! Mending sama supir taksi." Gadis itu melihat taksi dari kejauhan, segera ia melambaikan tangan kirinya hingga kendaraan beroda empat itu menepi di dekat mereka.

Danke (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang