15. Siapa lebih jahat?

9.5K 640 17
                                    

Sudah berakhir bukan berarti harus bermusuhan, seperti Pelita dan Ardo. Bahkan masih ada sedikit rasa terselip pada hati masing-masing, hanya saja kini jarak antara keduanya terbentang luas, ibaratnya mereka terkurung di antara kaca tebal yang tak mungkin bisa dipecahkan. Ardo masih menyayangi Pelita seperti dulu, sama ketika mereka masih bersama, tak ada yang kurang sedikit pun, dia masih menginginkan gadis itu.

Malam ini Pelita kembali membonceng motor Ardo, sejak terakhir kali mereka putus—sudah tak pernah lagi, tapi jok belakang itu masih setia dengan pemilik lama yang tak kunjung kembali, masih terasa nyaman jika Pelita yang duduk di sana.

Sapuan angin malam ini tak mampu menerobos masuk ke dalam kulit mereka yang tertutup jaket jeans, entah pergi ke mana pun Pelita memang lebih suka menutupi tubuhnya dengan jaket, bukan mereka yang suka dengan tampilan macam-macam, dia punya ciri khasnya sendiri.

Mata Ardo sesekali mengintip wajah cantik gadis itu lewat spion, Pelita memang selalu cantik, mantan gadisnya. Iris biru yang selalu memabukan, bibir merah muda yang menggoda serta lekukan senyum yang makin membuat gila Ardo jika Pelita memasangnya. Bahkan pelukan hangat siang tadi masih begitu terasa, aroma manis gadis itu seperti permen kapas yang membuat setiap orang ingin memilikinya, aroma yang akhir-akhir ini sudah tak membaui hidung Ardo, dia rindu.

"Ta, emang lo nggak kena marah jalan sama gue?" tanya Ardo dari balik helm dengan kaca yang dinaikkan ke atas.

"Kena marah siapa? Mama? Bukannya lo tadi yang izin?" sahut Pelita seraya menatap jalan di sisi kirinya.

"Bukan sama Tante Mona, sama pacar lo yang baru." Ardo sengaja menekan kalimat terakhirnya.

"Karang? Tante Sofi lebih penting."

"Kalau anaknya Tanta Sofi penting nggak?" Ardo mulai menggodanya.

"Ardo ...." Pelita menginterupsi agar tak membahasnya lebih jauh.

"Iya, Sayang. Kangen ...." Mulut Ardo memang lebih baik disumpal menggunakan sambalado, agar ia tahu diri sedikit saat menggoda kekasih orang lain. Pelita yang kesal lantas menoyor helm yang Ardo kenakan hingga kepala mantan kekasihnya terdorong ke depan, tapi setelahnya terkekeh geli dengan kelakuan kasar Pelita, bukan masalah sama sekali. "Daripada lo dorong mending dicium aja, lebih berharga, Ta," ledek Ardo tak ingin berakhir.

"Mending lo mati aja, Ardo!" Pelita makin mendelik, jika motor tak melaju—mungkin ia sudah lari meninggalkan tukang gombal itu sekarang.

"Iya, Sayang. Kangen deh sama Pelita yang galak."

"Gue lompat nih dari motor kalau lo ngomong terus."

"Gue juga ikut lompat deh, Ta. Biar kita masuk surganya bareng dan abadi di sana."

Ingin rasanya Pelita menjahit bibir Ardo agar tak banyak bicara lagi, tapi memang Ardo selalu ahli dalam hal menggodanya. Terkadang dengan sikapnya yang sok polos dan nyeleneh.

"Ta, kalau suatu hari kita bisa balikan lagi gimana?"

"Ya jalanin aja lagi, bisa nggak kita bahas hal yang lain aja."

"Oke ganti topik, Pelita kapan mau putus dari Karang?"

"Katanya ganti topik, kenapa masih muter-muter di situ."

"Gue butuh jawaban, Ta. Apa karena lo emang udah mulai ada rasa sama model batu itu, hm?"

"Nggak!"

"Ciyus? Kalau nggak putus aja!"

"Ardo! Berhenti nggak! Gue mau naik taksi aja, gue lompat nih!" Pelita yang kesal hendak turun dari motor Ardo, tapi tangan Ardo terulur ke belakang dan menarik tangan kanan Pelita ke dalam rengkuhan perutnya. Sengaja dia melakukan hal itu agar Pelita tak bisa berkutik.

"Curang," cibir Pelita.

"Daripada nanti lo lompat terus mati sia-sia, gue sama siapa? Udah statusnya calon masa depan yang tertunda, nanti jadi calon masa depan yang menghilang. Kelar gue jadi perjaka tua."

"Kayak nggak ada cewek lain aja."

"Lo cariin yang sama persis kayak lo, kan katanya di dunia kembaran ada tujuh tuh, Ta. Lo cari yang kayak lo buat jadi pasangan hidup gue."

Pelita berdecih, jika ia selalu mengikuti arah pembicaraan Ardo akan bertambah tidak jelas, godaan Ardo akan makin beruntun. Kini saja Ardo mengarahkan tangan Pelita ke dekat wajahnya lalu menciumnya dengan lembut.

"Lo ngapain sih, Ar?"

"Mumpung ada kesempatan." Ardo terkekeh geli setelahnya, ada-ada saja tingkah bocah itu bila berhadapan dengan Pelita. Jika jarak mereka jauh maka Ardo akan meraih pinggang gadis itu dan merangkulnya di depan banyak orang, sengaja dia pamer agar semua orang tahu Pelita Sunny adalah miliknya, dulu.

***

Entah sudah panggilan yang ke-berapa untuk Pelita malam ini, tapi tak satu pun yang dijawab oleh gadis itu. Apa dia sibuk? Atau memang benar-benar marah? Karang bisa menerka salah satunya, kini ia memasukan benda pipih itu ke dalam saku celana pendeknya setelah melihat Valerie keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk warna putih untuk menutupi tubuhnya.

Karang menatap gadis itu sesaat karena pandangannya berubah ke arah jendela yang sengaja ia buka, menatap puncak pencakar langit dari kamar apartemennya. Sejujurnya Karang memang tak ingin melihat Valerie dalam keadaan seperti itu, dia tak mau sampai melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya nanti, sama seperti kepada gadis beriris cokelat terang miliknya yang sampai saat ini tak ada kabar.

Karang hanya tinggal menunggu gadis itu selesai mengenakan baju dan barulah dia siap menatap Valerie yang akan menginap di apartemennya malam ini, tidur berdua.

Tiba-tiba kedua tangan merengkuh perutnya dari belakang, menempelkan kepalanya pada punggung laki-laki itu, Karang cukup terkesiap dengan tingkah manja Valerie.

"Apa? Bukannya pakai baju," ucap Karang tanpa menoleh sedikit pun, tatapannya tertuju pada suasana kota Jakarta dari atas sana, kerlap-kerlip malam hari yang begitu terasa, belum lagi awan pekat tanpa pendar gemintang, harusnya wajah Pelita terlintas di sana kali ini.

"Nunggu kamu," balas Valerie dengan suara lembutnya.

"Apa? Udah cepet pakai baju, dingin," ujar Karang berusaha membuat gadis itu menyelesaikan urusannya.

"Aku mau kamu, Karang."

Karang menghela napasnya sambil terpejam sesaat, dia baru sadar kalau Valerie sedang menggodanya untuk melakukan sesuatu yang selalu ia jauhi.
"Cepet pakai baju, di sini dingin, Val," desak laki-laki itu, dia tak ingin menoleh sedikit pun.

"Kenapa nggak kita coba, hm? Kita pacaran lumayan lama lho, kenapa nggak kayak orang lain yang makin romantis karena udah melakukan itu."

Karang berusaha menahan pikirannya yang membuncah, harusnya gadis itu tahu jika Karang tengah melawan keinginan yang terus menggodanya. Dia berperang melawan batinya yang berkecamuk hebat akibat ulah gadis itu.

"Kita ya kita, bukan mereka. Buat apa ngikutin gaya orang lain? Udah cepat ganti baju."

Valerie melepas pelukannya, dia berdiri depan Karang dan meraih leher laki-laki itu menggunakan kedua tangannya, membuat kepala Karang menunduk akibat paksaan yang tergambar jelas, dia menatap bibir Valerie yang menggoda.

Karang merasa wajah Valerie berubah menjadi Pelita dan membuatnya menepis tangan gadis yang terus saja merayunya itu.

"Karang!" hardik Valerie kesal, dia gagal hendak mencium Karang lebih dulu.

"Maaf, Val. Aku ada urusan di luar sebentar, aku harus pergi." Tanpa menunggu jawaban dari Valerie, Karang beringsut pergi. Bersyukur karena ia masih bisa mengontrol pikiran kotornya malam ini.

Karang hanya ingin bertemu Pelita.

Itu sudah cukup.

***

Danke (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang