35. SIN.

11K 472 19
                                    


Senja telah tiba, ketiganya berniat menunggu hingga sunset datang—sebab sayang sekali jika di pantai hingga sore, tapi melewatkan pemandangan menakjubkan yang digilai banyak orang—rasanya aneh. Keempat gadis itu tengah duduk di permukaan pasir sembari menatap ke arah langit yang mulai menunjukan gradasi warna oranye nan cantik, sangat memukau.

Pelita beranjak, dia meraih ranselnya. "Gue ke toilet sebentar ya," izin gadis itu.

"Jangan lupa balik, nanti lupa lagi," sahut Anggi.

"Iya, iya." Gadis itu melangkah pergi meninggalkan teman-temannya, ia menghampiri toilet umum yang terlihat begitu sepi. Gadis itu berdiri di depan pintu sembari membuka ranselnya—hendak mengambil pakaian ganti karena ia sudah sangat basah akibat berlarian di tengah debur ombak.

Tanpa diduga sebuah tangan terulur dari belakang Pelita sebelum membekap mulut gadis itu menggunakan sapu tangan yang telah diberi obat bius, dalam hitungan detik Pelita tak sadarkan diri. Ranselnya jatuh ke pasir.

Segera sosok itu meraih ransel Pelita dan mengangkat tubuhnya ala karung beras menjauh dari sana—berharap tak ada yang melihat—ia lekas menghampiri mobilnya.

Karang mendudukan perlahan kekasihnya di jok mobil tanpa lupa pasangkan seat belt di tubuh gadis itu, ia menatap Pelita sejenak—sebelum telunjuk kanan terangkat menyentuh wajah Pelita dimulai dari kening dan turun menyusuri hidung mancungnya, lalu berakhir melewati bibir dan dagu, laki-laki itu tersenyum miring saat bisa menyentuh apa pun dari Pelita tanpa gadis itu sadari.

Gue sayang banget sama elo, Ta, batin Karang sebelum menutup pintu, ia mengitari kap mobil seraya berlari kecil sebelum berakhir duduk di balik kemudi, ia meraih ransel Pelita dan membukanya, menarik ponsel dari sana, menghidupkannya saat Karang berniat mengirimkan sebuah pesan untuk seseorang.

Maaf, Nggi. Gue ada urusan mendadak, gue pulang duluan.

Lalu send, Karang tersenyum penuh kemenangan. Urusan Pelita dengan teman-temannya sudah ia selesaikan, kini tinggal urusannya dengan gadis itu.

***

Gadis itu baru tersadar setelah pingsan cukup lama, ia menggucak mata dan hanya melihat gelap di sekitar ruangan itu. Entah mati lampu atau sengaja dimatikan oleh si pemilik, gadis itu bergerak menyibak selimut dan turun dari ranjang besar yang sempat ia tiduri. Ia melangkah mencari tombol lampu.

Pelita menghentikan langkahnya, dia paham aroma ruangan itu. Sepertinya ia berada di dalam apartemen Karang, sebelum benar-benar yakin atas terkaannya—tangan gadis itu meraba tembok sembari melangkah mencari tombol lampu.

Seseorang membuka pintu, memberikan sedikit sinar untuk Pelita. Nyatanya sosok itu menariknya ke dekat pintu yang terbuka lalu menciumnya dengan lembut, tangan laki-laki itu menekan tengkuk Pelita dan memperdalam ciumannya. Gadis itu makin yakin jika yang dihadapinya benar-benar Karang, akan ada apa lagi setelah ini?

Setelah melepaskan bibir gadisnya, Karang menuntun Pelita kembali ke dalam. Ia menekan tombol lampu karena sudah hapal di mana letaknya tanpa perlu meraba-raba ketika gelap datang.

Benar Karang, Pelita lantas menepis tangan Karang dengan kesal. Meski ciuman itu sudah terjadi, tapi rasa kesalnya malam itu belum reda hingga saat ini, Pelita bergerak menggampiri pintu, tapi Karang bergerak lebih cepat menutup pintu dan menguncinya rapat, ia memasukan kuncinya ke dalam saku celana lalu menyeringai pada gadis itu.

Pelita berdecak, membuang wajah ke arah lain. "Mau Kakak apa!" ketus Pelita.

"Mau lo." Tangan Karang terulur menyentuh dagu Pelita, tapi kembali ditepis oleh gadis itu.

Danke (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang