37. Siklus perubahan.

8.9K 444 46
                                    


Pelita sengaja menyibukan diri dengan datang ke Mona's Bakery milik ibunya, dia tak ingin terus memikirkan banyak hal buruk yang terjadi akhir-akhir ini. Gadis yang biasanya mengenakan celana berlutut robek itu kini terlihat berbeda, ia mengenakan rok lipit warna hitam selutut yang dipadukan dengan blouse warna kuning polkadot. Setidaknya hari ini ia sudah dapat mengukir senyumnya untuk orang-orang, bersedih ternyata membuang tenaganya saja, menyesal berlarut-larut juga percuma karena semua telah terjadi.

Ia terlihat mondar-mandir dari dapur ke depan sembari membawa nampan berisikan pesanan milik orang-orang tanpa melepas senyumnya ketika meletakan kue-kue khas buatan sang ibu.

Sebuah mobil warna hitam menepi di depan toko yang merangkap kafe itu, seorang laki-laki sebaya Pelita turun lantas melepas kacamata hitamnya. Dia Raksa—laki-laki yang tengah dicomblangkan oleh Chintya untuk Pelita.
Hanya saja Pelita memang tak tahu perihal itu.

Raksa masuk ke dalam kafe, ia mengedar pandang saat masih berdiri di balik pintu kaca yang terbuka. Matanya menangkap sosok gadis berpakaian kuning tersenyum begitu ramah pada setiap pelanggan.

Nggak salah lagi, itu pasti Pelita, batin Raksa. Ia memilih tempat duduk kosong dan berakhir di dekat jendela kaca tebal, di mana ia dapat melihat keadaan jalanan Jakarta pagi ini.

Bola mata Raksa enggan melepas fokusnya pada Pelita, ketika akhirnya gadis itu menghampiri karena hari ini sengaja menjadi salah satu karyawan toko ibunya, Raksa mencoba bersikap sewajar mungkin. Ia tengah melakukan pendekatan secara halus, natural.

"Selamat pagi, mau pesan apa?" tanya Pelita seramah mungkin, mood sedang sangat bagus pagi ini.

Raksa membalas senyum itu, ia meraih buku menu yang sudah tersedia di atas meja lalu membukanya. "Vanila late aja," sahut Raksa.

"Oke, tunggu sebentar ya." Pelita beringsut pergi menuju dapur, aroma gadis itu terlalu manis untuk dihilangkan dari indra penciuman Raksa saat ini, benar-benar mempesona.

Raksa menatap pemandangan di luar jendela sambil menunggu gadis itu kembali, kesan pertama yang ia dapat ketika melihat gadis itu adalah; menarik.

Pelita keluar dari dapur, kedua tangannya memegang sisi nampan—berisikan cangkir kopi pesanan Raksa. Ia meletakannya dengan hati-hati di permukaan meja.

"Selamat menikmati pagimu," ucap Pelita, ia balik badan hendak menghampiri pengujung lain yang baru datang.

"Sebentar," cegah Raksa.

Gadis itu kembali menatap Raksa, "Ada yang lain?"

"Ada." Raksa mengulurkan tangan kanannya. "Kenalin, nama gue Raksa. Temannya Chintya."

Pelita menatap bergantian tangan serta pemiliknya, ia membalasnya. "Pelita Sunny."

"Cocok."

"Makasih."

"Masih sibuk? Gue butuh teman ngopi pagi-pagi," ujar Raksa.

"Oh, sebentar ya. Gue taruh ini dulu." Pelita menunjukan nampan yang masih ada di pelukannya, ia beringsut menuju dapur dan kembali dengan tangan kosong.

Raksa menghela napas lega, akhirnya waktu pertama kali ia menemui gadis itu akan berkesan juga. Ternyata Pelita memang supel, seperti yang Chintya ceritakan padanya.

Gadis itu duduk di sofa, bersebrangan dengan Raksa, ia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga—perlihatkan sisi yang seringkali membuat para laki-laki terpesona.

Danke (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang