Deburan ombak seakan memaksa naik ke permukaan dan melenyapkan kaki-kaki mereka ke dalam genangan air hingga basah. Sama seperti Karang, bebatuan di tepian pantai itu juga dingin dan kaku, mereka tak bisa bergerak tanpa alasan, jika bukan tangan lembut yang mau menyentuhnya, lalu siapa lagi? Tangan lembut itu sudah tidak ada lagi, jadi Karang tetap bersama kaku dan dinginnya sebuah sifat yang terus melekat dalam dirinya, menjadi pribadi yang lebih tertutup dari sebelumnya, sulit dimengerti selain ia sendiri.
Semilir angin malam itu membawa serta rasa rindunya akan sosok yang lama pergi, mereka membisu dengan segala imaji masing-masing. Hanya menatap hamparan laut yang luas, begitu sunyi, hanya terdengar suara ombak yang terus merangkak ke permukaan, mengajak bermain sebelum berakhir menenggelamkan.
Sejak pertanyaan terlontar dari bibir gadis itu, Karang lantas bisu. Dia tak punya daya lagi untuk bicara, tapi setiap pertanyaan butuh jawaban bukan? Lantas, hal itu yang sedari tadi Pelita tunggu, sejak berada di kafe—satu kosa kata telah mencuri perhatian, membuat pertanyaan lain ikut bermunculan. Hanya sebuah nama, tapi mengundang banyak teka-teki.
Lagipula Pelita juga tak ingin membuat Karang merasa istimewa jika ditanyai macam-macam, tak ingin membuatnya merasa diperhatikan. Sebab sebuah pertanyaan tak selalu menafsirkan dari rasa perhatian, bisa saja hanya sebatas ingin tahu, kini mereka bergeming tenggelam bersama euforia pikiran masing-masing.
"Lo tahu nggak?" tanya Karang pada akhirnya. Ia menoleh pada gadis yang ikut bersila di sisi kirinya, memeluk lutut seraya tatap debur ombak yang terus berkejaran, hanya saja tak mampu merayu keduanya agar mendekat pada mereka. Untung saja gadis itu kenakan jakit, jadi rasa dingin dari desau angin pantai malam ini tak benar-benar mengulitinya.
"Tahu apa? Kan Kakak nggak bilang apa-apa," balas Pelita tanpa menoleh, ia membiarkan sisa surainya bergerak disapa bayu malam hari.
"Nama gue emang Karell." Karang menatap air yang diterpa cahaya bulan.
"Terus? Jadi Kakak punya dua nama?" Gadis itu masih saja mencepol rambutnya, lagipula Karang tidak protes sama sekali.
"Nama panjang gue Karell Rafaldi Angkasa, dan nama Karang itu punya makna tersendiri, nama yang berharga buat gue." Karang terdengar meresapi ucapannya.
"Pasti sejarahnya panjang, iya?"
"Apa yang lo tahu soal batu karang?"
Pelita menatap ombak yang masih saja berlarian, pikirannya sedang mensortir sesuatu. "Batu karang? Dia itu keras, beku, walaupun terkikis masih sanggup bertahan bahkan berlubang kecil-kecil."
"Itu gue."
"Iya karena nama Kakak emang Karang, kan?"
"Bukan begitu, Ta. Karang itu nama gue yang terlalu sulit buat didefinisikan, mungkin ini konyol, tapi percayalah gue mau lo dengar kisah gue." Mata sendu Karang menatap lekat iris biru milik Pelita, begitu terang meski gulita malam makin pekat.
"Kisah? Kalau Kakak mau berbagi aku mau dengar kok." Pelita juga tampak lembut, dia ingin menelisik lebih jauh kehidupan laki-laki bernama asli Karell itu.
Karang menatap ke arah laut lagi, dia menghela napas berat. "Dulu gue tinggal di Bandung, bahagia. Pas usia sepuluh tahun Mama sama papa pisah, perusahaan papa bangkrut dan mama nggak mau hidup miskin. Saat itu gue cuma bisa nangis, apalagi mama pergi tanpa bawa gue, hidup gue selama beberapa tahun bareng papa nggak mudah.
"Mama milih pergi ke Jakarta, gue sama papa kesusahan, tapi papa terus tegarin gue buat bertahan, jangan jadi laki-laki cengeng, papa ajarin gue banyak hal, apa sih yang bisa gue lakukan tanpa seorang mama, ya anggap papa gue orangtua ganda. Papa yakinin gue kalau kita pasti bisa bangkit, kita bisa kayak dulu lagi tanpa mama.
"Papa ajak gue main ke pantai, dia ajak gue berdiri di atas batu karang. Terus papa bilang kalau gue harus bisa kayak batu karang, yang terus tegar walaupun diterjang ombak berkali-kali, sejak hari itu papa terus panggil gue Karang." Ia menghela napas panjang usai menjelaskannya secara detail, Karang menggaruk rambut dengan gemas, mendesah berharap keresahannya berkisah pada Pelita bisa sedikit tersingkirkan. Katanya, curhat adalah berbagi sebuah beban meski hanya lewar untaian kata.
Pelita manggut-manggut paham, dia tersenyum tipis. Pasti tidak mudah menjadi Karang, tangan kanan Pelita terulur dan mengusap bahu Karang, mencoba menegarkannya tentang kepahitan hidup. "Kak Karang hebat," puji Pelita.
Karang menatap tangan Pelita yang masih menyentuh bahunya, dia tersenyum simpul, paling tidak gadis itu mau menyentuhnya. "Nggak sehebat yang lo pikirin, gue takut ketemu cewek kayak mama. Gue trauma, Ta. Gue bersyukur ketemu sama Valerie yang mau urus gue, mau capek buat gue, meskipun gue suka kasar dan bentak-bentak dia, tapi Valerie mau terus bertahan."
Shit! Sadarkah Karang jika dia sudah membanggakan pacar utamanya di depan selingkuhan? No problem, Pelita sama sekali tidak cemburu, dia tak punya rasa untuk Karang, hanya sebatas iba kali ini sampai menelan saliva kuat-kuat.
Tiba-tiba Pelita menyadari sisi lain Karang, sebenarnya dia lembut—hanya saja sengaja menutupi semua itu dengan sikap galaknya dan posessive. Pelita menatap lekat iris mata Karang, sebenarnya tatapannya teduh dan menenangkan jika saja kalem seperti sekarang, tapi Pelita paling takut jika alis laki-laki itu sudah bertaut, terutama jika kemarahan Karang berimbas padanya—suka mendekatkan wajah, semua itu selalu memicu detak jantung Pelita agar lebih cepat berdetak.
Salah satu alis Pelita terangkat. "Terus kenapa Kakak tinggal di apartemen? Kenapa nggak di Bandung sama papa?"
"Gue di Jakarta mau sering lihat mama, dia udah bahagia tanpa ada gue sama papa. Mama nikah lagi sama laki-laki punya anak satu, dan anaknya seumuran sama gue, di situ gue benci banget, Ta. Rasanya mau musnahin mereka semua." Dari balik manik Karang seperti ada kobaran api yang menyala. "Pantas, mama nggak pernah nyariin gue, ternyata dia udah punya anak lain. Sebanyak yang gue bilang, apa gue salah kalau benci mereka?" imbuhnya.
Pelita menarik napas dalam-dalam. "Kak, nggak ada yang baik-baik aja setelah perpisahan. Setiap orang punya pilihan, diam dan menoleh ke belakang, atau maju dan berusaha mengusir jauh masa lalu, aku lihat Kakak pilih yang kedua dan itu udah bagus. Soal kebencian menurutku lupain aja, semua itu cuma bisa bikin hati Kakak tambah sakit. Kenapa Kakak nggak coba buat temuin mama, Kakak?"
"Kalau mama lihat gue udah sebesar ini dan baik-baik aja justru dia makin senang karena nggak perlu lagi kesusahan mikirin gue, mungkin juga dia emang nggak pernah mikirin. Buktinya sampai hari ini pun mama nggak pernah pulang ke Bandung buat cari anaknya, gue nggak ngerti." Karang menggeleng, dia beranjak dari duduknya sambil mengusap bagian belakang celana yang terkena pasir.
Pelita menengadah, dia ikut beranjak. Lalu Karang menempelkan kedua tangan di dekat bibir seperti sebuah toa.
"Salam buat mama yang nggak pernah mikirin gue!" seru Karang pada lautan luas di depannya.
"Kok teriaknya kayak gitu?" protes Pelita.
Karang menurunkan tangannya, menoleh pada Pelita. "Apa emangnya? Emang begitu, kan?"
"Kalimat lain, Kak. Bukan yang jelek-jelek, nggak baik."
"Oke, dengar ya." Karang kembali menempelkan tangannya ke bibir. "Salam buat cewek yang malam ini mau dengarkan keluh-kesah gue, bilangin kalau gue sayang sama dia!"
Mata Pelita membelalak seraya mengatupkan bibirnya usai Karang berteriak seperti itu, sedangkan laki-laki itu tersenyum puas melihat tingkah lucu Pelita. Gadis itu langsung gugup dan enggan lagi menatap Karang, benar-benar mengesalkan.
***
Jujur ya kalo aku baca ulang naskah ini, bener-bener kaku, enggak selepas kayak aku nulis yang naskah-naskah baru. Ini romance pertama di tahun 2018, lumayan berkesan juga karena ada yang mau baca.
Pokoknya Danke itu awal baru 💜💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Danke (completed)
Romance"Terima kasih untuk bertahan." Amazing cover by @entwhistle Rate for 17++ Karang tidak mau tahu jika Pelita harus tetap menjadi kekasihnya meskipun Karang memiliki Valerie, yang ia tahu Pelita adalah piala kemenangan yang ia dapatkan dari Ardo--mant...