33. Far, far away.

9K 523 13
                                    

Sudah pukul sebelas malam, tapi matanya enggan terpejam. Tak biasanya Pelita begitu, sedari tadi ia berguling di tempat tidurnya sembari mengecek ponsel yang sama sekali munculkan notifikasi masuk dari nomor seseorang, padahal Pelita sangat berharap. Karang alasan di balik kegelisahannya hari ini, tiba-tiba saja laki-laki itu jadi aneh. Ada yang salahkah?

Jika Pelita punya salah, katakan saja. Sudah sepantasnya seperti itu, hari ini Karang membuat kesalahan, tapi sama sekali tak ada perkataan maaf apalagi mengirimnya pesan chat. Hanya satu pertanyaan di kepala Pelita, dia ke mana?

Pelita serba salah, ia ingin menghubungi lebih dulu tapi takut jika Karang sedang bersama Valerie, bisa-bisa hubungan mereka terbongkar padahal ia baru saja jatuh cinta dengan laki-laki itu, perasaan yang sudah seharusnya diperhatikan, tapi justru tak dipedulikan, miris.

Pelita menatap kontak nomor bertuliskan Manusia Batu, dia menghela napas panjang. Sesak dan sesak, hanya itu yang ia rasa sepanjang hari. Menjadi seseorang yang disembunyikan atau sebenarnya disembunyikan hingga tak ingin ditemukan lagi?

Sebuah nomor tanpa nama menghubunginya, gadis yang hanya mengenakan tank top serta celana pendek itu beranjak, dia menempelkan ponselnya ke dekat telinga kiri.

"Hallo, ini siapa?" sapa Pelita.

"Semut kesayangan elo, Rangga." Terdengar kekehan geli Rangga.

Pelita memutar bola mata. "Oh, elo. Ada apa malam-malam telepon?"

"Nah elo ngapain malam-malam angkat telepon? Ini jam berapa, kenapa belum tidur."

"Gue, gue nunggu kabar dari teman lo itu."

Rangga tak berucap, ada jeda keheningan antara mereka. "Gue nggak tahu, dia belum pulang ke apartemen."

Pelita makin teriris. "Oh, mungkin nggak sih jam segini dia masih sama Valerie?"

"Gue nggak tahu, Ta. Kalau lo mau gue cari dia ya sekarang gue bakal cari kok, nomornya nggak aktif."

"Nggak usah, udah malam. Mending istirahat, mungkin Karang emang lagi sibuk banget sampai lupa kasih kabar."

"Lo sedih?"

"Apa ada perasaan lain yang bisa menggambarkan hal itu, gue cuma takut satu hal ...."

"Soal dia cuma mainin lo, itu?"

"Iya." Tiba-tiba saja Pelita terisak, entah bagaimana air mata itu mendobrak keluar dari sarangnya, sepertinya Rangga mendengar isakan itu hingga memilih untuk diam. Gadis itu mengusap air matanya, untuk apa cengeng demi orang yang bahkan tak kunjung memberinya kabar, tak peduli seberapa besar rasa khawatir Pelita sekarang.

"Hallo, Rangga." Pelita menatap layar ponselnya, ternyata panggilan itu sudah berakhir entah sejak kapan, pasti Rangga yang mematikannya.

***

"Selamat ya, lo menang lagi," ucap Dimas—teman kuliah Karang yang baru saja menyalami laki-laki itu dan memberikan amplop cokelat cukup tebal.

"Thank's," balas Karang, ia masih bertengger di jok motornya. Motor kesayangan yang selalu ia titipkan di rumah Dimas dan hanya Karang pakai jika ada balapan liar saja, dia itu raja jalanan.

Danke (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang