39. Pahit.

8.2K 530 25
                                    

Pelita sudah berpesan pada Raksa agar tak katakan apa pun tentang kejadian kemarin pada Chintya, terutama karena dirinya yang masih bersembunyi di balik punggung Karang. Ingin sekali ia ungkap semua, tapi terlalu takut menerima bagaimana respons teman-temannya nanti.

Hari ini hari penentuan, siapa yang akan dipilih oleh Karang nantinya dan Pelita sudah mempersiapkan hati untuk segala kemungkinan buruk. Jika bukan ia yang dipilih, tak apa. Mungkin bukan Karang yang Tuhan pilihkan untuknya, hanya saja sesuatu terkadang perlu benar-benar disesali, malam itu.

Aktivitas normal di dalam kampus kembali terjadi, di dalam kantin seperti biasa pagi-pagi keempat gadis itu sudah menyeruput masing-masing kopi mereka. Ada yang membaca majalah, ada pula yang berurusan dengan ponsel kesayangan. Sedangkan Pelita sibuk berpikir, akan bagaimana hari ini, akan bagaimana akhirnya nanti.

Gadis itu mengaduk kopi miliknya, lalu ia teguk sedikit sembari menatap pintu masuk kantin. Kenapa sosok yang ia tunggu tak kunjung datang.

Setelah Pelita meletakan gelas kopinya, ia merogoh ponsel dari saku jaket, membuka room chat dengan Karang lalu mengetik sesuatu.

Pelita :

Harus datang!

Lantas send, tapi hanya centang satu. Pelita berdecak menatap layar ponselnya, kenapa nomor itu harus tidak aktif.

Ketika matanya menatap ke arah pintu, ia menemukan Valerie dan teman-temannya yang justru masuk ke dalam kantin, tanpa Karang. Ke mana laki-laki itu?

"Eh, Ta. Lo udah dengar belum, gosipnya Karang sama Valerie yang lagi booming banget itu," celetuk Anggi.

Ucapan itu jelas menyita perhatian Pelita, "Gosip booming, apaan yah? Kemarin-kemarin kan gue nggak masuk."

"Soalnya lo sibuk kencan sama Raksa sih," sambar Chintya lalu terkekeh geli. Pelita mengerucutkan bibirnya.

"Iya, gosip yang lagi booming kalau bulan depan mereka mau menikah itu lho," balas Anggi.

Deg!

Kabar itu seperti sebuah sambaran petir yang menghunjam tubuhnya, ia merasa seseorang baru saja menusuk punggungnya bertubi-tubi hingga sesuatu miliknya yang terluka makin tersayat, begitu sembilu. Bibir Pelita bergetar, ia tengah berusaha menahan agar air mata itu tak jatuh di depan teman-temannya saat ini. Ia berusaha mengukir senyum sebagai manusia yang pura-pura bahagia, menyedihkan sekali.

"Masa sih, cepat banget ya," sahut Pelita pura-pura senang. Kedua tangannya di bawah meja sudah mengepal erat.

"Iya, kita semua aja berharap bakal diundang. Siapa tahu lo juga entar, suruh nyanyi," ujar Kamila enteng.

Andai mereka tahu apa yang Pelita rasakan sekarang, tersambar kereta yang melaju cepat rasanya lebih baik. Agar ia tak hanya mati rasa, tapi juga lenyap dari muka bumi ini, agar tak ada yang melukainya lagi hingga sedalam itu.

Pelita tak pernah menyangka, putus dari Ardo dan memulai kisah baru bersama Karang justru mengakibatkan kesakitan sedalam-dalamnya, hingga ke akar. Ia ingin tahu, apa salahnya?

"Gue ke toilet sebentar ya," izin Pelita.

"Jangan lupa balik," sahut Chintya tanpa melepas fokusnya dari layar ponsel.

Danke (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang