BEKERJA

201 7 0
                                    

Meski terik matahari siang ini tidak bersahabat, Putra tidak meng- urungkan niatnya untuk mendatangi Dasha. Putra khawatir akan keadaan Dasha yang baru saja pindah, meski ia sendiri turut andil menemani Dasha mencari tempat tinggal. Sesekali Putra meringis dan mengusah peluh keringat kecil yang membasahi dahinya.

"Gila. Panas bener ya Jakarta?" eluh Putra sambil terus berjalan. Kakinya agak berwarna abu-abu karena debu di jalan.

Kali ini Putra tidak mengendarai motornya. Mencoba untuk naik kendaraan umum, alias angkot, untuk mengetahui akses menuju tempat tinggal Dasha. Agar ketika ia tidak bisa mengantarkan Dasha kemana-mana, Dasha bisa sendiri berpergian  menggunakan angkot. Lewat informasi yang ia berikan.

Ternyata agak jauh untuk bisa sampai di tempat kost Dasha. Karena angkot yang di naiki Putra, aksesnya tidak sampai masuk ke dalam gang kostan Dasha.

Kosong. Sepi. Itulah pemandangan yang di lihat Putra sewaktu tiba di kostan Dasha. Kemana anak itu?

"Mas, cari siapa?" tanya seorang Ibu tiba-tiba menyapa Putra yang nampak kebingungan.

Putra tertegun. "Ng anu, Bu.. Saya cari cewek yang kemarin baru pindah kost disini," ucap Putra berusaha sopan. Ia tau Ibu ini sedang menyelidiki, terlihat dari pandangan matanya.

"Ooohh.. Dasha ya? Dia keluar. Mas ini siapanya ya?" tanya Ibu ini tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Saya temannya Dasha, Bu. Teman main, teman akrab," jelas Putra.

"Oohh.. bukan teman tapi mesra?"

Lha?

"Bukan, Bu," jawab Putra di akhiri senyuman. Senyum yang tidak hilang sejak berbicara dengan Ibu ini. "Kalau boleh tau, Dasha keluar kemana ya, Bu?" kini Putra balik bertanya. Kali ini tanpa senyuman, melainkan dengan wajah bingung.

"Waduh.. kurang tahu sih. Tadi bilangnya mau keluar sebentar. Gitu aja," jawab si Ibu dengan tatapan menerawang. Seperti mengingat kejadian tadi. Beberapa detik terdiam, Ibu ini berbicara lagi, "Ohya. Nama Masnya siapa?"

"Putra, Bu,"

"Oh Putra. Kalau begitu tunggu sebentar ya," ucap si Ibu meninggalkan Putra yang kebingungan, menuju rumahnya. Tak lama kemudian, Ibu ini kembali lagi dengan kunci di tangannya.

"Tadi Dasha nitip kunci kostnya ke Ibu. Bilang kalau ada temannya yang namanya Putra, suruh kasihkan aja kuncinya," kata Ibu ini sambil memberikan kunci.

Putra menerimanya meski dengan perasaan bingung, "Terima kasih, Bu..."

"Jamilah. Panggil aja Bu Jamilah," potong Ibu ini yang bernama Jamilah.

"Ya, Bu Jamilah. Makasih ya. Kalau gitu saya masuk aja langsung ke kamarnya Dasha sambil nunggu dia datang," ucap Putra.

"Ohya ya silahkan," ucap Bu Jamilah.

"Mari, Bu," pamit Putra sopan di sertai anggukan yang di balas anggukan juga oleh Bu Jamilah, dan segera ke kamar kost Dasha. Sementara Bu Jamilah kembali ke kostannya, melanjutkan aktifitas.

Menunggu beberapa jam membuat Putra mengantuk dan memilih memejamkan mata, untuk tertidur di kostan Dasha. Dinginnya AC membuatnya tertidur lelap. Pilihan Dasha yang kemarin di rutukinya karena memilih kostan ini, kini menjadi anugerah tersendiri untuknya. Karena menjadi penolong di kala cuaca panas. Bahkan ketukan pintu dari luar pun tidak terdengar. Terdengar beberapa kali gedoran baru Putra terbangun. Berusaha menyadarkan diri dengan cepat lalu bangun dari tidurnya dan membuka pintu.

"Ya Allah, Put. Lu ngapain? Lama amat buka pintu? Tidur?" ucap Dasha langsung ketika pintu kamar terbuka.

Putra nyengir sambil menggosok-gosok tengkuknya yang tidak gatal. Dasha masuk ke dalam kostnya dan di ikuti Putra di belakangnya, lalu duduk. Pintu kostan sengaja tidak di tutup agar penghuni kost lain tidak berfikiran macam-macam.

Putra menggosok-gosok matanya sambil menguap. Berusaha menahan kantuk. Dipandang jam dinding di kamar Dasha. jam setengah enam sore.

"Heh, cumi! Abis darimana lo! Baru pulang jam segini!" semprot Putra.

"Kerja. Hehehe," jawab Dasha di sertai cengiran.

"Kerja apaan?" tanya Putra bingung. Dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.

Dasha mengeluarkan uang yang lebih banyak berisi koinan daripada uang lembaran. Lalu menaruhnya di lantai. Entah berapa jumlahnya, Dasha tidak tahu.

"Apaan ini?" tanya Putra lagi memandang duit-duit itu.

"Hasil kerja keras gue," jawab Dasha dengan senyum bangga. Seperti menunjukkan bahwa ia sudah bisa bekerja.

"Ya lo kerja apaan?" tanya Putra tak sabaran.

"Ngamen," jawab Dasha enteng.

"Hah?" mata Putra mendelik tiba-tiba karena terkejut.

"Bentar. Belum selesai. Terus bantuin bapak-bapak jual gorengan, terus apalagi tadi ya?"

"Lo sama siapaa??!" tanya Putra menyelidik.

"Tadi sih sendiri. Eh pas sampe sana malah dapet temen. Hehehe,"

"Siapa temennya?"

"Emang lu kenal?"

"Inikan wilayah gue. Cepet siapa?" tekan Putra.

"Darsono,"

"Hah? Darsono?"

"Ya. Ngga kenal kan lu? Terus Ali, sama Ibu-Ibu pengamen, tapi aduh lupa gue siapa namanya. Curhat tadi dia sama gue tentang rumah tangganya," jelas Dasha. Putra diam mendengarkan saksama.

Putra terdiam. "Terus lo ngapain kerja? Duit kemarin mana? Abis?" tanya Putra.

"Ngga kok. Masih ada. Cuma kan tinggal berapa, Put. Gue kan juga harus mikir panjang ke depan kata lu. Lagian duit kemarin kan pasti bakal kepake terus karena buat makan sehari-hari," jelas Dasha yang kini membuat Putra tertegun-tegun.

Ia tak menyangka atas jawab Dasha. Cewek yang baru di kenalnya kemarin menyebalkan, kini sudah berubah berbeda. Dewasa dan berfikir panjang ke depan. Terbesit perasaan haru, tapi juga kasian. Dasha yang biasa tinggal di rumah mewah dengan lingkungan elit, harus tinggal di tempat begini sekarang. Meski terbilang layak, tapi sangat jauh berbanding terbalik dengan kehidupan Dasha dulu.

"Put?" panggil Dasha dengan wajah bingung melihat Putra terdiam lama memandangnya. "Lu... kenapa?" tanya Dasha lagi. Memastikan sahabat dekatnya baik-baik saja.

Putra tertegun, lalu tersenyum dan menggeleng. "Ngga papa, Dash," jawabnya.

Dasha lalu mengeluarkan handphonenya, "Wah ya lupa gue, si mungil lobet. Cas dulu ah," ucapnya sambil menyolokan handphonenya ke casan. Handphone mahalnya yang telah berubah menjadi hape sederhana. Meski berwarna, namun tidak seberapa di banding handphone lamanya. Dasha harus merelakan handphone lamanya demi bertahan hidup di jalanan.

Dash.. seengganya gue tau... lu adalah cewek yang kuat dan siap terima keadaan. Gue percaya itu. batin Putra.




DASHA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang