KONTRAKAN PETAKAN 100 RIBU

319 10 0
                                    

Hari sudah menjelang subuh. Dasha nampak merapihkan barang-barangnya. Pakaian dalam, celana dalam, pakaian, baju, handuk, dan alat mandi. Skin care, perawatan rambut, perawatan badan, catokan, dan lain-lain sengaja Dasha tinggal karena ia merasa tidak perlu membawanya. Ia ingin kabur, bukan liburan. Dasha melihat celengan ayamnya yang agak besar, di masukkan tasnya tidak akan muat. Ia pun memasukkan ke dalam plastik hitam. Ketika di rasa selesai, Dasha keluar kamar. Memastikan semua masih tertidur. Aman. Dasha segera mengambil tas dan plastik hitamnya lalu berjinjit ke pintu rumah. Perlahan membuka kunci lalu keluar rumah.

"Njir. Nekat juga lo," ucap Putra melihat Dasha. Dasha meminta tolong Putra untuk menjemputnya menjelang subuh dan mereka pergi ke suatu tempat berboncengan menggunakan motor bebek Astra Putra. Di atas terowongan dekat Masjid Akbar, Jakarta Pusat, mereka berhenti. Tempat yang masih sepi dari jangkauan penglihatan karena masih belum ada orang-orang yang lalu lalang. "Jadi, mana duitnya?" tanya Putra.

"Ini. Masih disini," ucap Dasha mengangkat plastik hitam. Lalu membuka plastik hitam agar Putra dapat melihatnya.

"Lha si bego. Belom lo pecahin celengan lo?" tanya Putra terkejut memandang Dasha lucu.

Dasha menggeleng. "Ngga tega gue mecahinnya," ucapnya kemudian tertawa.

"Lo niat kabur ngga sih?" tanya Putra lalu di sambut anggukan Dasha. Beberapa menit kemudian Dasha membanting celengan ayamnya setelah ia berhasil mengumpulkan keyakinan.

PYAR!

Celengan pecah berurai di atas terowongan. Dasha langsung memunguti uangnya dan memperlihatkan ke Putra.

"Yah, Put.. Masa cuma delapan ratus ribu? Dari jaman gue SMP kelas dua sampe SMA kelas satu sekarang," ucap Dasha agak cemberut.

"Ya mana gua tau. Lo ngapain aja tabungan cuma ada segitu? Ngga papalah. Yang penting ada. Nanti agak siangan aja kita kesana. Sekarang kita muter-muter aja dulu kemana gitu kek," ucap Putra.

"Jangan minta traktir ya. Dompet sama kartu atm gue tinggal dirumah. Kan lo bilang ngga boleh bawa uang dari orang tua gue. Yang gue bawa handphone doang," ucap Dasha.

"Iya. Yaudah ngga papa. Tenang aja, Dash. Kali ini gue yang teraktir. Sebangsa es Nutrisari masih sangguplah gue," seloroh Putra kemudian tertawa. Mereka pun meninggalkan tempat itu setelah merapihkan serpihan celengan ke pojokan. Pergi kemana pun selagi menunggu jam sepuluh pagi.

Jam sepuluh pun tiba. Saat ini mereka sudah bertemu Pak Marto. Pemilik pemancingan juga kontrakan petakan disana.

"Ya. Jadi ini, neng, kontrakan petakannya," ucap Pak Marto saat menunjukkan kontrakan petakan kecilnya kepada Dasha dan Putra.

Dasha melihat ruangan itu dengan seksama. Ia tak bisa menunjukkan keterkejutannya. Ruangan itu kecil, sangat kecil bila di bandingkan kamarnya. Hanya cukup tidur dua orang tanpa bisa memasukkan motor ke dalam andai ada yang memiliki motor. Ruangannya di sekat triplek dengan lampu penerangan berwarna kuning. Cukup terasa remang-remang. Dengan alas semen, membuatnya terasa dingin ketika menginjaknya. Tidak ada perabotan apapun di dalamnya sama sekali. Masih kosong.

"Berapaan, Pak?" tanya Putra.

"Seratus ribu,"

"Hah?" spontan Dasha terkejut lagi. "Murah banget," ucapnya lagi.

"Ya kan di sesuaikan sama kondisi. Tapi belum sama listrik ya. Listrik beda lagi. Paling lima puluh ribuan. Kalo air mah bebas. Kamar mandi ada di luar agak di belakang," jelas Pak Marto.

Dasha ngangguk-ngangguk.

"Kalo boleh tau kenapa eneng ngontrak? Emang udah kerja? Apa kuliah?" tanya Pak Marto.

Dasha terlihat bingung menjelaskan, terlihat dari tatapannya kepada Putra saat Putra melihatnya balik.

"Dia masih sekolah, Pak. Ibu Bapaknya di luar kota ada urusan disana. Jadi dia sendirian disini," Putra buka suara.

"Emang ngga ada rumahnya disini?"

"Ada,"

"Lha? Kalau ada ngapain ngontrak?"

DOENG!

Si Putra goblok dah. Kalau ngasih alesan kagak mikir dulu! umpat Dasha kesal dalam hati.

"Tau tuh anaknya, Pak. Mau mandiri kali," seloroh Putra asal kemudia tertawa menatap Putri. Ketawa yang di paksakan. Dasha tersenyum kecut.

"Lha gimana? Sayang dong ada rumah tapi duitnya di hambur buat ngontrak? Buata biaya hidup lain," introgasi Pak Marto.

"Hahahaha. Ya tau tuh Pak si dia.. saya juga bingung. Hahahaha," ucap Putra. Tawanya garing dan benar-benar di paksakan.

"Hehehe," akhirnya Dasha mau tidak mau menanggapinya dengan cengiran kuda.

Sialan Putra! Jadi gue yang kena! Kesannya gue yang bego! rutuk Dasha dalam hati.

DASHA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang