Meka memandang Jati yang masih terlelap di sofa, tentu saja, baru memasuki waktu subuh. Lengan Jati digunakannya sebagai bantal. Jas hitamnya dia pakai buat selimut. Meka ambil bed cover warna putih di atas kasur. Menyelimuti Jati sampai leher, setelah jas milik Jati dia singkirkan dan menyusupkan bantal dengan mengangkat kepala Jati lebih dulu. Jati tak bakal keganggu, kalau Meka tidak ubek-ubek seperti apa yang terakhir kali dia lakukan.
"Thanks," gumam Meka. Semalam, Meka tak berhenti nangis dan akhirnya, tidur dipelukan Jati. Jati pasti membawa Meka ke kamarnya tadi malam. Biasanya Meka bakal bangun kalau ditidurkan di kasur orang lain. Entah karena hapal sama bau kamar Jati. Dia merasa nyenyak-nyenyak saja disana. "Dan juga maaf, buat ambil alih kasur lo." Dengar tak dengar, yang penting Meka ngomong.
"Lucu banget sih kalau lagi tidur." Meka masih betah memandangi Jati, mukanya polos, bibirnya dower. Meka sadar, Jati adalah obat paling ampuh buat lupain semua kenangan pahit yang Meka alami. Dan dia belum bisa membalas apapun buat Jati. "Apa gue cariin dia cewek ya?"
-SHELTER-
"Dek, nggak kerja?" bunda-Arawinda, masuk kamar Jati, begitu tahu tidak dikunci. Karena sudah mendekati jam berangkat kerja dan Jati belum kelihatan batang hidungnya. Matanya menyapu kamar Jati. Dan menangkap si empunya kamar tidur di sofa.
"Dek, kok tidur disini?" Ara mencoba membangunkan Jati pelan.
Ara merasa aneh, karena Jati yang tak kunjung bangun. Jati kelihatan mengernyitkan dahinya, seperti menahan sakit. Tangan Ara bergerak menyibak poni yang menutupi dahi Jati. Ekspresi wajahnya berubah, kemudian Ara bergegas keluar kamar. Dan kembali dengan sedikit berlari. Lalu mengeluarkan alat pengukur panas. Ara segera mengukur suhu tubuh Jati lewat telinga. Setelah termometer tersebut telah menampilkan sederet angka, dia melihat hasilnya. 39,5 derajat.
"Ayah!"
-SHELTER-
"Dek, ganti bajunya dulu ya?" ayah segera membuka kancing kemeja putih yang Jati gunain kemarin, Jati sama sekali tak ganti baju.
"Pusing?" Jati manggut-manggut.
"Lemes ya, dek?" Jati tidak menjawab. Lagi-lagi dia cuma mengangguk.
Jati itu anak yang paling dimanja oleh Ansel-ayahnya, tapi masih dalam batas wajar. Ansel juga selalu siaga saat anak-anak atau istrinya sakit. Ayah satu ini memang pantas di juluki superhero.
"Ini yah," Ara memberi kaos pendek warna putih yang longgar. Ansel segera memakaikan kaos itu pada Jati.
"Bisa jalan nggak?"
"Bisa," tidak yakin sebetulnya. Kepalanya pusing berputar-putar. Membuatnya mual tak keruan. Dengan dipapah sang ayah, Jati mulai berdiri dan berjalan. Belum saja selangkah, tubuhnya ambruk. Hampir saja menghantam lantai, kalau Ara dan Ansel tidak menjadi tadah.
"Dek!" Ara menepuk-nepuk pipi Jati yang tak sadarkan diri.
Ansel bertindak cepat, "naikkin ke punggung aku." Tanpa ba-bi-bu Ansel menggendong Jati dipunggungnya.
"Adek kenapa, yah?" tanya Gani yang baru saja keluar kamar. Mau berangkat kerja, malah disuguhi adegan gendong-gendongan. Seketika, Gani masuk ke kamar Ranti dan menariknya keluar. Mengikuti ayah, bundanya yang sudah masuk mobil.
-SHELTER-
"Jati baik-baik aja kok mas, dia kena gejala tifus." Salman, seorang dokter yang menangani Jati, yang juga ponakan Ansel, menutup jurnal yang dia bawa. Jati masih belum sadar, namun dia sudah berada di kamar rawat.
"Alhamdulillah. Nggak ada masalah lain kan?"
"Nggak, mas. Tenang aja." Salman paham, dengan kekhawatiran Ansel. Salman memang dokter kepercayaan keluarga, dia juga yang memonitoring kondisi Jati dari dulu hingga kini.
"Terima kasih,"
Salman pamit, undur diri. Melanjutkan kewajibannya pada pasien lain.
"Ya ampun, adek bikin gue jantungan." Ranti sengaja nyenggol lengan Gani yang bicara sesukanya. Sungguh tidak tahu situasi.
-SHELTER-
"Kamu pacaran sama dia? Jujur sama ibuk." Anjani diam seribu bahasa. Dia terus saja menundukkan wajahnya guna menghindari tatapan sang ibu.
"Jani, jawab nak!""Diam berarti kamu mengakuinya." Ibu menjeda kalimatnya. Sebelum bicara kembali. "Sudah berapa lama?"
"Aku cuma pengin bahagia buk, sama orang yang aku suka." Pipi Anjani sudah basah dengan air mata, dengan berani dia menatap sang ibu. "Apa nggak boleh?"
"Bapak kamu sudah menentukan siapa yang akan menikahi kamu nanti."
"Kalian egois!" Anjani berlari ke kamarnya, membanting pintu, masa bodoh dengan ibunya yang berkoar-koar di luar sana. Anjani menutup telingannya, berteriak melepaskan emosi yang meluap-luap. Hubungan backstreetnya dengan seseorang sudah ketahuan. Bapak dan ibu ternyata punya mata-mata yang mengawasi gerak-geriknya selama ini. Sialan.
"Aaaaaa!"-SHELTER-
Ara terus menggenggam tangan Jati yang terbebas dari infus. Ansel, Gani dan Ranti. Dia suruh pergi ke kantor. Karena keadaan Jati sudah lebih baik. Jadi tak apa, jika dia dan Jati ditinggal. Lagipula mereka di rumah sakit.
"Dek," panggil Ara pelan, sembari mengusap-usap lembut pucuk kepala Jati yang masih terpejam. "Jangan sakit, sayang. Bunda nggak mau adek kayak gini. Bunda nggak suka." Air mata Ara menetes perlahan. Ara hanya takut, terjadi sesuatu yang lebih buruk dari ini.
Ara mulai terisak. "Bunda takut, dek," Ara menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangan. Dengan tangannya yang masih setia menggenggam jemari Jati.
"Bun," suara parau Jati, membuat Ara segera bangun. Tahu kalau Ara menangis, tangannya terulur, mengusap pipi bundanya itu. Menyeka pelan sisa likuid bening disana. "Maafin adek, udah buat bunda nangis," ada jeda sebelum Jati menyelesaikan kalimatnya. "Lagi."
"Nggak sayang, bunda aja yang cengeng." Ara tersenyum, agak dipaksakan sebenarnya. Agar Jati merasa, kalau bundanya baik-baik saja. Tapi, Jati itu peka. Dia tidak bisa begitu saja mengabaikan, perasaan takut serta cemas yang selalu ada dalam diri orang tua sekaligus dua kakaknya, mengenai Jati. Terkait, hidupnya yang seolah-olah selalu dibuntuti dan dibayangi, oleh kematian.
"Adek nggak kemana-mana, kok. Adek disini, di samping bunda."
-SHELTER-
Ekhem, Jat, jangan gitu Jat. Bikin emakmu ini pengin ndusel tahu nggak...
*btw, poto lama..tapi malah semakin asik dipandang, wkwkw.Terima kasih sudah membaca..
Mulmed bukan milik saya..Salam hangat,
HOIWonosobo, 03 Desember 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shelter ✔
RomanceTAMAT Sampai kapanpun, gue cuma jadi tempat penampungan keluh kesah lo. Nggak kurang, nggak lebih - Jati. -ShelterByHOI- ©2018