Slide 23

610 92 15
                                    

Lorong tanpa pencahayaan penuh adalah tempat favorit untuk para dokter bersantai sambil menikmati kopi, selain kasur pastinya.

"Bagaimana keadaan ponakanmu. Siapa? Jati?"

Mendesah berat, ingin Salman tidak menjawab pertanyaan rekan kerjanya itu. "Dia masih bisa bertahan dengan itu."

"Berapa lama?"

"Satu bulan."

"Kau yakin?"

Salman belum menjawab, dia hanya menyesap kopi dari gelas kertasnya. "Aku tahu, kita, dokter bisa memprediksi sesuatu dari sisi medis. Tapi alat itu tetap buatan manusia. Kalau kehendak Tuhan berbeda. Kita bisa apa?"

"Apa maksud kamu, hah!" Salman mencengkeram kuat kerah jas dokter berlengan panjang milik temannya. Hingga terpojok di dinding.

"Bukan masalah pada pacu jantungnya harus diganti atau tidak. Tapi ketahanan jantungnya." Dengan tenang pria itu menjawab. "Aku melihat grafiknya."

Perlahan, cengkaraman itu lepas. Tatapan Salman menyendu. "Itu yang aku katakan pada Ansel dan keluarganya. Terkecuali Jati. Tapi dia yang punya tubuh. Pasti dia merasakannya bukan?"

Salman menenggak habis sisa kopi dan dalam sekali remas, gelas itu sudah penyok. "Kenapa harus dengan alasan memuakkan itu."

"Maksudmu?"

"Sahabat, apa itu masuk akal untuk sebuah alasan, kalau Jati tak mau dirawat sementara?" Si partner terdiam, belum mengerti apa yang Salman bicarakan. "Demi sahabat yang dia suka. Mau bertahan sampai si sahabat menikah."

"Ah! Seperti mantanmu dulu?"

"Diam kau!" Pria itu hanya tertawa. Ya, dulu Salman mengalami hal serupa. Dia punya teman, dia sakit, katanya, mau melihat Salman menikah. Dengan alasan dia akan bahagia setelah Salman menikah. Namun, bahkan sebelum Salman melaksanakan segala sesuatu untuk pernikahannya. Temannya itu meninggal dunia.

Kenapa jadi membayangkan itu? Salman hanya tidak mau itu terjadi pada Jati. Itu saja harapannya.

-SHELTER-

Jati menyingkap selimutnya kala benda pipih di mejanya bernyanyi. Sayup-sayup netranya terbuka. Menilik siapa gerangan yang tengah menghubunginya.

"Halo Me,"

Suara sesenggukkan disana. Namun tidak terlalu jelas karena hujan deras cukup meredam suaranya. "Lo dimana sekarang? Gue kesana."

Segera meninggalkan ranjang. Dengan muka bantal. Hanya dengan celana training dan kaos biru panjangnya. Mendengar Meka menangis, Jati mendadak cemas. Dalam tangisnya, Meka seperti sedang menggumam.

"Chandra pergi sama cewek, Jat."

Tidak percaya, sih. Mengingat, Meka suka menyimpulkan sendiri. Mungkin saja, wanita itu saudaranya, atau apapun itu. Tapi, Meka. Yang berkali-kali disakiti sama cowok. Jadi Jati paham dan maklum. Namun, Jati juga tak tega.

"Mau kemana Dek?" Ranti bertanya, Galih juga penasaran. Suami dari Ranti dua minggu yang lalu menikahi Kakak dari Jati itu, ikut bertanya juga.

"Diluar hujan." Penging Galih.

"Tadi ada tukang ronde lewat. Mau beli." Segera menyambar payung, Jati langsung keluar rumah. Menyusul Meka ditaman dekat komplek. Namun lumayan jauh kalau jalan kaki, mana hujan lagi. Payung besar yang Jati gunakan saja, tak cukup melindungi tubuhnya. Tubuhnya sudah ikut basah, akibat tangannya tak becus memegang benda itu.

Cepat. Hanya itu yang ada di pikirannya. Namun, tak jauh dari tempat Meka berdiri. Jati berhenti.

Bodohnya dia. Kenapa harus ikut campur masalah Meka dan Chandra. Apa karena terbiasa selalu berada dekat dengan Meka? Makanya respon otaknya begitu siaga. Meka sudah punya Chandra. Mereka bisa menyelesaikannya berdua.

Shelter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang