"Mau kemana?"
"Jalan lah, sama Ncan."
"Ncan?"
"Chandra,"
"Kenapa harus Ncan?"
"Nggak papa, lucu aja."
Jati geli sendiri, mendengar Meka menggunakan panggilan Ncan. Dia sibuk bermake up, tipis-tipis biar terlihat natural. Padahal, di depan Jati, Meka selalu apa adanya. Tidak pernah menggunakan yang namanya lipstick. Mereka berdua ternyata serius, secepat itu, kah?
Apa? Kenapa? Apa Jati cemburu? Ah! Tidak. Jangan katakan itu. "Udah ya? Ncan udah di depan."
Jati mengangguk, "Ti-ati." Meka berlari keluar dengan hedonisme tingkat tinggi, hampir saja menubruk Yaga yang baru saja membuka pintu.
"Sori!" Yaga cuma geleng-geleng kepala.
"Kenapa?" tanya Yaga.
"Nggak papa." Jawab Jati singkat. Yaga berdecak sebal.
"Bilang aja kenapa? Lo suka sama Meka." Jati menggeleng lemah. Yaga duduk di depan Jati, punggungnya dia senderkan di sandaran sofa, mereka berhadapan sekarang. "Mata lo, udah ngejawab semuanya. Jat," Jati menunduk. Tak berani bertatapan langsung dengan Yaga, dia seperti punya indera keenam. "Persahabatan yang murni itu mitos. Hoax banget kalau diantara kalian nggak ada yang suka. Lo cowok, dia cewek. Udah sama-sama gede. Lagian, lo juga nggak pernah deket sama cewek manapun, selain Meka."
Jati tersenyum kecut, "Ternyata lo bisa ngomong panjang ya, mas?" Yaga melotot, tapi tidak bisa dikatakan melotot, karena matanya sipit macam milik Jati.
"Gue timpuk, lo."
"Jangan dong," Jati mendesah berat. "Gue nggak bisa lakuin itu, gue punya alesan."
"Terserah alesan lo apa, yang gue lihat, lo bukan pria." Yaga berbicara seakan dia berbicara pada diri sendiri. Dia juga bukan pria. "Dah, sono. Pulang aja, lo. Nggak ngapa-ngapain juga. Bikin sumpek mata."
"Asem lo ya, ngusir gue."
"Dah pergi sono!"
"Iya tuan!"
-SHELTER-
Jati pergi, tapi tidak untuk pulang. Entahlah, dia cuma muter-muter aja, gabut. Namun maniknya menangkap seseorang yang dia kenal baru-baru ini. Jati memilih menepikan mobilnya tepat di halte tempat Jani berdiri. Jati menurunkan kaca mobilnya. Dan memanggil Jani.
"Nungguin siapa?"
"Taksi,"
"Masuklah." Jati membukakan pintu mobilnya dari dalam. Jani terlihat ragu, tapi akhirnya masuk juga. Ngirit ongkos, pikirnya. "Lo mau kemana?"
"Mau ㅡ ke toko parfum." Jati tersenyum, karena Jani pasti masih merasa kikuk dengannya.
"Gue anterin, mau ya? Gue tahu tempat parfum yang bagus di daerah sini." Jani mengangguk kaku. Rada bimbang mau nolak. Bukan, Jani tidak suka Jati sebagai lelaki, tapi sebagai teman. Cewek yang mendapatkan Jati akan sangat beruntung nanti.
Sepanjang jalan, tidak ada yang mengeluarkan satu patah katapun. Jati diam, Jani diam. Jati juga tidak tahu harus gimana membuka obrolan. Biasanya kalau bareng Meka, Meka paling ribut sendiri. Jadi kadar kebosanannya berkurang. Kenapa jadi ke Meka? Jati mulai oleng.
"Oh itu dia." Jati masuk ke pelataran toko, dibantu tukang parkir yang membantunya memilih area parkir yang masih kosong. Mereka keluar secara bersamaan, Jani bukan tipe perempuan yang harus dibukakan pintunya sebelum keluar. Dia malah benci di perlakukan seperti itu. Keduanya berjalan beriringan, masuk ke toko. Bau harum berbagai macam parfum, menyeruak melalui indera penciuman mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shelter ✔
RomanceTAMAT Sampai kapanpun, gue cuma jadi tempat penampungan keluh kesah lo. Nggak kurang, nggak lebih - Jati. -ShelterByHOI- ©2018