Jati baru saja memutuskan sambungan telepon, bersamaan dengan masuknya dokter jangkung, teman Jati.
"Ganggu ya?" Chandra menyembulkan kepalanya disela pintu yang belum terbuka sempurna.
Jati menggeleng, "Nggak, masuk aja."
Sekarang, Chandra sudah masuk sepenuhnya bersama tubuh menjulangnya, ke dalam ruangan. "Numpang ngaso." Celoteh Chandra.
"Capek?" tanya Jati.
"Jelas lah. Coba gue jadi lo. Baringan doang disitu." Jati tersenyum masam. Jadi Jati? Apa enaknya jadi dia?
"Nggak enak jadi gue. Gue malah pengin kaya lo, tahu nggak? Bisa sibuk sana-sini. Ngrasain capek karena aktivitas. Gue suka capek, dan itu, karena gue nggak ngapa-ngapain." Cerocos Jati, yang nada bicaranya jadi macam ngomel-ngomel. "Bersyukur dong, dikasih sehat. Malah pengin sakit."
"Iya-iya, bawel dah." Keduanya tertawa bersama setelahnya. Chandra lebih tua dari Jati, tapi tak jadi soal buat Chandra kalau Jati manggil dia pakai nama doang. Tidak dengan embel-embel kak, bang, atau mas. Malah risih kalau ditambahi tittle begitu. Lebih nyaman dengan panggilan biasa. Mereka bertemu juga tidak sengaja. Jati pernah kabur pas jadwal pemeriksaan. Tapi malah ngumpet ditoilet yang dipakai Chandra. Kejadiannya cepat sekali, Chandra baru saja mau keluar, tapi Jati maksa masuk. Jadilah, dua orang itu berada dalam satu bilik. Walhasil, mereka jadi akrab sejak itu.
"Chan, lo masih jomblo kan?"
"Kenapa lo nanya gitu, tiba-tiba?" Chandra merinding, saat ditanya tentang status. "Satu hal yang perlu dicatat, gue single bukan jomblo."
"Aelah, sama aja." Ngeyel kan Jati? Tidak mau kalah. "Gue kenalin sama cewek mau nggak?"
"Cantik nggak?"
"Idih ㅡ "
"Bonus Jat, bonus." Potong Chandra, sebelum Jati menyelesaikan omongannya. Karena tahu yang bakal Jati ucapkan 'cinta nggak mandang fisik'. "Karena cowok suka merhatiin. Mitos kalau cowok nggak ngelihat fisik dulu. Nggak usah munafik lah." Chandra mulai berorasi dengan semangat menggebu-gebu seperti sales sedang menawarkan produknya. "Tapi, hati sama iman itu tetep poin penting Jat. Gue nyari istri bukan nyari pacar. Lo pasti juga gitu. Cuman lo tipe cowok yang nggak mau usaha. Makanya keluar dong, survey cewek." Nah kan? Malah ngeledek. Asem memang.
"Ck!" Jati membuang muka, tertawa atas pernyataan Chandra yang ada benarnya, sedetik kemudian, pandangannya beralih lagi ke Chandra. "Tenang aja, dia cantik, kok. Setipe lagi, suka ngebully." Jati kembali menampilkan senyumnya, membuat matanya hilang dan menunjukkan eye smile menawannya.
-SHELTER-
"Jati udah baikkan kan Me?" suara Dewintaㅡmama Meka terdengar dari dapur. Dia sedang off dari pekerjaannya hari ini. Berniat menjenguk Jati, bersama Lisa yang kebetulan libur sekolah.
"Udah kok ma. Tinggal pemulihan aja."
"Mbak,"
"Hng,"
"Aku mau tanya deh,"
"Tanya apa?"
"Mbak nggak pernah apa jatuh cinta sama mas Jati?"
'Uhuk!'
Meka hampir saja menyembur Lisa dengan jus jeruk yang sedang dia minum. Mama cuma terkikik dari dapur melihat Meka.
"Apaan si dek?" setelah mengusap bibirnya yang basah dengan tissue yang Meka ambil di atas meja makan. Dia melanjutkan cuitannya. "Gini ya dek, dikamus mbak, itu nggak ada ya, yang namanya sahabat jadi cinta. Nggak boleh dan nggak bisa. Persahabatan kita bisa renggang, ancur lah kalau salah satu dari kita saling suka. Trus kalaupun kita pacaran, itu nggak menjamin bakalan awet. Kalau putus gimana? Pasti bakalan beda lah dek. Hubungan jadi nggak sehat. Malah bikin canggung doang. Mending nggak usah sama sekali." Lisa manggut-manggut. Dewinta yang mendengar celotehan Meka, tersenyum miris. Karena dirinya dengan Rioㅡpapa mereka juga berawal dari persahabatan. Dan itu juga tidak berhasil membuat mereka tetap bersatu. Ya, memang tidak semua seperti itu, tapi tidak semua juga bakal happy ending.
"Mbak kayak pernah pacaran aja," ejek Lisa yang langsung dihadiahi pelototan oleh Meka. Si empunya malah meletin lidah. Heran saja dengan kakaknya satu ini, kalau Lisa jadi Meka, mah, sudah jatuh hati duluan dengan Jati. Gimana mau nolak? Jati adalah orang paling care dengan makhluk Tuhan bernama wanita.
"Udah ayok, berangkat. Keburu siang."
-SHELTER-
Saat Meka, Dewinta dan Lisa tiba di rs. Jati tengah terlelap dengan nyenyaknya. Ada Ara yang menjaga seorang diri.
"Oh, Winta, Meka, Lisa." Ara berdiri dari duduknya. Arah pandang Ara pergi ke arah Jati, niatnya mau membangunkan, tapi sudah kena tahan Meka yang sepertinya bisa membaca pikiran Ara.
"Nggak usah tante. Biarin Jati istirahat." Diangguki Winta dan Lisa.
"Oh yasudah, silahkan duduk." Ara mempersilahkan ketiganya duduk di sofa tunggu. "Ih, Winta nggak perlu repot-repot gini." Ucap Ara, ketika Winta meletakkan sekeranjang buah di meja.
"Jati juga anak aku," ungkap Winta. "Aku terlalu sibuk sampai baru bisa jenguk."
"Nggak papa, Jati udah baikkan. Besok udah boleh pulang."
"Alhamdulillah."
Meka beranjak dari duduknya, meninggalkan dua wanita yang Meka sayang itu terus mengobrol. Beralih duduk di kursi plastik yang tersedia di sebelah ranjang Jati. Lisa juga ikutan, tapi dia duduk di tepian ranjang Jati. Mereka berdua menatap dalam Jati yang masih tertidur dalam.
"Jangan sakit lagi, Jat."
-SHELTER-
Mau di rumah sakit ataupun di rumah sendiri. Jati tetaplah seorang pasien, yang butuh banyak istirahat. Seperti malam ini. Ara sedang sibuk membenarkan selimut, hingga menutupi dada Jati.
"Tidur ya sayang." Ara mengusap lembut pucuk rambut Jati. Lalu mengecup kening Jati. Jati sangat suka perlakuan Ara semacam ini. Dia hanya takut, tidak bisa merasakan ini semua lagi, suatu hari nanti.
"Bun," Jati menangkap jemari Ara cepat, sebelum bundanya itu pergi.
"Hng,"
"Temenin." Ara tersenyum. Lalu dia naik ke tempat tidur Jati. Cowok besarnya ini minta dikeloni rupanya. Ara memposisikan dirinya senyaman mungkin, ikut memasukkan dirinya ke dalam selimut. Memeluk Jati, seraya mengusap-usap kepalanya pelan.
'Cklek!'
Ara langsung menempelkan jari telunjuknya dibibir saat tahu, suaminya masuk, menilik Jati yang baru saja memejam. Tanpa disuruh, Ansel langsung masuk kesana. Malam ini dia libur lagi, tidur bareng istri. Sudahlah, daripada menggerutu tak jelas dalam hati. Ansel pun ikut nimbrung, tidur disisi kosong, sebelah kiri Jati. Tidur bertiga malam ini sepertinya seru.
-SHELTER-
Bunda, ayah, tungguin maknya Jati ini, mau ikut nyempil.
Dadah!!Mulmed bukan punya ana.
Terima kasih sudah membaca.Salam hangat,
HOIWonosobo, 31 Desember 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shelter ✔
RomansaTAMAT Sampai kapanpun, gue cuma jadi tempat penampungan keluh kesah lo. Nggak kurang, nggak lebih - Jati. -ShelterByHOI- ©2018