Slide 26

760 84 33
                                    

Kepanikan, panik, gangguan panik atau serangan panik (panic, panic disorder, atau panic attack) adalah semacam kecemasan dengan ciri diserang rasa takut yang luar biasa selama beberapa menit, timbulnya perasaan bahwa suatu bencana akan terjadi, atau adanya ketidakmampuan untuk mengendalikan diri sekalipun sebenarnya tidak ada sesuatu yang buruk yang benar-benar terjadi. Seseorang dapat merasakan sensasi fisik yang kuat selama serangan panik berlangsung. Sensasi fisik itu mungkin terasa seperti mengalami serangan jantung. Serangan panik dapat terjadi kapanpun, dan mereka yang mengalami serangan seperti ini dapat menjadi khawatir dan ketakutan jika hal tersebut sewaktu-waktu dapat terulang kembali.*

Itulah yang tengah dirasakan Ara, dia begitu histeris. Hingga Ansel menyeretnya, menjauh dari hal yang menyebabkan itu. Lalu menenggelamkan kepala Ara di dadanya, menenangkan sang istri, ibu dari anak-anaknya. Agar situasi lebih kondusif. Tidak lucu, jika Ara malah lebih membuat keadaan makin rusuh, dan tidak membantu apapun. Biar Ranti yang mengurus Jati untuk sekarang ini.

"Tarik napas, pelan-pelan aja, Dek."

Terjadi baru saja, bahkan mereka tengah menyelesaikan sarapannya. Jati hampir kolaps. Dia masih di ruangan makan. Namun sudah di lantai, Galih menyangganya agar Jati dalam posisi setengah duduk. Ranti juga sigap. Memberi kompresan air hangat di dada Jati.

"Mas, siapin mobil." Galih mengangguk, lalu berganti posisi dengan istrinya itu. Meskipun sudah mendingan, Jati tetap harus, kudu ke rumah sakit. Guna pemeriksaan.

-SHELTER-

"Aku nggak apa-apa Bun."

"Nggak apa-apa kamu bilang? Terus kenapa kamu mendadak sesak napas?"

"Ya, tapi aku udah lebih baik Bun."

Sedari tadi Ara tak berhenti mengomel pada Jati. Maklumlah, tapi tak seperti itu juga. Pasalnya di ruangan itu bukan hanya ada dirinya, tapi juga dokter beserta timnya. "Kalau kamu begini terus, Bunda nggak mau tahu. Kamu harus secepatnya ganti alat, Dek."

"Bun,"

"Salman, jadwalkan segera." Jati mengubah arah pandangnya, beralih menatap Salman. Raut cemas begitu kentara di wajah Salman, juga Jati. Keputusan berat, sangat berat. Mengingat obrolan mereka berdua, yang bahkan tidak ada yang tahu, kecuali mereka dan Tuhan.

"Aku tidak bisa tanpa persetujuan Jati." Pernyataan Salman mengejutkan semua orang disana. Tak ada reaksi yang berarti juga dari Jati. Dia membisu. Meremas selimutnya. Berharap sesuatu.

"Apa maksud kamu, hah?" Ansel berusaha menenangkan istrinya yang hampir di luar kendali emosinya. "Ini masalah hidup dan mati Adek! Kenapa buat mainan?!" Pecah tangis Ara. Dia bahkan sudah mencengkeram kerah snelli Salmanㅡyang hanya diam menerima semua itu. Memukuli dadanya berulang kali dengan brutal. Salman masih bergeming, sampai Ansel lagi-lagi menarik Ara. Keluar dari ruangan itu. Lagi, menyeretnya kembali. Namun kali ini berbeda. Ansel rupanya mengajak bicara Ara.

"Cukup, jangan buat Adek seolah-olah akan mati kalau alatnya nggak diganti." Runtuh sudah pertahanan Ansel. Air mata yang dari tadi mendesak, keluar juga pada akhirnya. "Aku tahu kamu takut. Aku juga!"

"Disaat seperti ini, Adek cuma perlu support. Dia malah akan tertekan kalau kamu kayak gini. Kamu juga harus kuat, supaya Adek makin kuat. Aku juga nggak mau kehilangan Adek." Tak ada satu patah katapun dari Ara. Tergugu, hanya itu yang dia lakukan. Otaknya tak mampu berpikir jernih. Ketakutan seorang Ibu, yang ingin selalu putranya tetap berada disisinya. Ansel lagi-lagi cuma bisa mendekap erat sang istri. Diapun merasa sangat putus asa dengan keadaan ini. Seolah dunianya berakhir. Putra mereka satu-satunya, harus berjuang, atau terbuang oleh waktu yang takkan pernah bisa terulang. Tetap bertahan, atau berada pada ujung penantian.

Shelter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang