Slide 8

709 99 37
                                    

Jati mati-matian menahan rasa bosan. Jati mengantuk, capek, mau tidur. Dia pengin pulang. Sumpah, mirip anak kecil, Jati akui itu. Jati tidak betah dengan keramaian. Anak tantenya menikah. Jadi dia beserta keluarga, harus berada disana. Yang di undang cuma kerabat, teman dekat dan kolega perusahaan. Tempatnya jadi tak terlalu penuh memang. Namun, ramai atau tidaknya itu sama saja bagi Jati.

Berkali-kali Jati sudah menguap. Otaknya semakin kekurangan oksigen. Yang bisa dia makan disana juga cuma eskrim. Tapi, tidak boleh banyak-banyak. Karena mengandung susu sapi. Itu termasuk jenis makanan yang harus Jati kurangi jatah konsumsinya.

"Dek," Jati melihat ke arah sumber suara. "Makan dulu, ya? Waktunya minum obat."

"Minum obat aja. Nggak usah makan." jawab Jati malas.

"Nggak boleh, ih! Bunda udah buatin bekel." Ranti duduk disebelah Jati, tempat duduk berbahan kayu, yang ada di teras rumah. Karena halamannya luas, jadi digunakan untuk resepsi dengan tema standing party.

Bunda sengaja membawa bekal khusus untuk Jati. Karena, seringnya, makanan diacara pernikahan itu, berlemak-lemak. Tidak sopan juga jika harus mendadak masak disana. Kebetulan juga, Jati tidak pernah makan, dikondangan.

"Aku ambilin, kamu kudu makan. Ayok!" Ranti menarik paksa Jati, masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Ranti mengambil kotak bento yang ada dalam sebuah tote bag. Pergi sama Jati itu seperti pergi bawa bayi. Banyak keperluan yang harus dibawa.

"Makan." Perintah Ranti, setelah menyuguhkan kotak bekal, berisi nasi merah, ikan salmon, tak lupa sayur rebus. Dan satu kotak lagi, berisi camilan, kacang kenari tanpa garam. "Aku ambilin minum dulu." Ranti berjalan pelan menuju dapur, karena menggunakan kain jarit. Dia terlihat kesulitan melangkahkan kakinya.

Sepeninggal Ranti, Jati mengerakkan tangannya, mulai memasukan sesuap demi sesuap, makanan minim rasa itu.

"Ih! Jangan diemut adek, dikunyah!" Ranti mulai koar-koar, lantaran Jati terlalu lama menahan nasi dan lauknya itu di dalam mulut.
"Sini, aku suapin."

"Nggak!"

-SHELTER-

"Lo nggak di rumah?"

"Gue lagi pergi sama ibuk, sama bapak."

"Yaudah, minggu depan aja."

"Iya." Anjani menaruh ponselnya dalam tas kembali.

"Telponan sama siapa si?" ibunya menegur. "Nggak sopan ah." Bicara bisik-bisik membuat mereka sedikit tak enak.

"Maaf ya, anak muda."

"Iya, Jani cantik ya? Udah gede."

"Iya tante, makasih." Pipi Anjani berhasil dibuat merona. Dia tersipu malu dan menunduk.

"Oh iya, kamu punya anak cowok kan, Ra?"

-SHELTER-

Akhirnya, kelar juga. Setelah bersalam-salaman Jati sekeluarga pamit. Tak lupa berfoto sebagai kenang-kenangan. Jati bahkan buru-buru masuk ketika mobil sudah tidak dikunci. Mapan di jok belakang. Merebahkan diri disana. Punggungnya terasa panas.

"Dek, jangan disitu ah. Badanmu sakit nanti." Ucapan Bunda sudah tak Jati gubris.

"Udahlah Bun, biarin." Gani yang duduk di samping bapak menyahut. Cuma sekitar empatpuluhan menit. Jati sekeluarga sampai di rumah.

"Dek, bangun." Bunda menyentuh bahu Jati yang masih tidur itu. Jati bergerak walau setengah merem. Dia keluar dari mobil, karena sudah ditinggal masuk rumah oleh semua orang.

'Hiks hiks hiks.'

Jati celingukan, mungkin dia salah dengar.

'Hiks hiks hiks.'

Lelucon macam apa itu? Kenapa ada suara tangisan. Bulu kuduk Jati otomatis merinding. Rasa ngantuk yang datang kembali hilang. Pintu garasi sudah ditutup, dikunci rapat. Terus barusan siapa?

"Jati!" Jati hampir saja meloncat saat tahu ada yang memeluknya dari belakang. Ternyata, Meka. Dia nangis sesenggukan, lagi. "Jatiii,"

Jati balik memeluk Meka, menepuk punggungnya, sengaja tak bertanya, biar nanti dia cerita sendiri. Menyalurkan kekuatan buat Meka. Lagian, kenapa juga dia harus nangis di garasi, tak terlihat pula. Hampir satu jam, Meka nangis. Meka melepaskan pelukannya dari Jati.

"Duduk yuk, daritadi berdiri mulu. Capek." Jati menggiring Meka buat duduk di kursi plastik yang ada di garasi. Kebetulan ada banyak.

"Jat, gue," Meka mengelap ingus dengan sapu tangan yang Jati kasih. "Gue di php-in coba."

"Makanya jan baperan." Celoteh Jati.

"Ih, lo mah. Gentle dikit kek. 'Mana tu cowok, biar gue hajar!' gitu dong Jat."

"Gue nggak mau dan nggak bisa brantem Meka,"

"Payah lo." Jati memang payah luar dalam. Dia meringis mengingat hal itu. Mungkin tak cocok, buat jadi pria sejati. "Masa gue dimanfaatin si Dean coba. Gue cuma dibuat alat pendeteksi kecemburuan, mantan ceweknya."

"Mereka tuh balikan lagi di depan gue langsung Jat, sakit banget hati gue." Jati cuma tersenyum dengar Meka curhat. Meka ngeyel, tidak mau manut sama Jati. Dia terlalu percaya sama cowok. Jadinya gini, kan? Meka memang terlalu naif buat dapat pacar. Jadi, semuanya terbutakan sama yang namanya paras tampan, semua dinilai dari fisik. Padahal, tampan, kaya, tenar, mapan bukan talak ukur sebuah hubungan akan awet. Tapi, itulah, mungkin Meka cuma kagum sesaat dan nyatanya, bukan cinta yang datang menghampirinya.

"Yaudah si, semoga Dean dapet hidayah."

"Ih nggak, semoga dia dapet karma. Langkahnya dikutuk sama Tuhan." Ucap Meka bersungut-sungut.

"Nggak boleh gitu."

"Sabodo, Jat. Sabodooo!"

"Cep-cep! Air mata lo itu terlalu berharga, buat cowok macam gitu, Me. Nggak baik buat kesehatan."

-SHELTER-

Pernah di php-in?
Kalau aku, mungkin di php-in temen. Katanya mau jalan. Udah siap-siap. Katanya kagak jadi.
*ngek gubrak..
Tapi ya nggak bakal marah si... :D tetep sayang kok... :*
dwiyuliani530

Terima kasih sudah membaca,

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 01 Desember 2018.

Shelter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang