Slide 30 (TAMAT)

1.2K 85 26
                                    

Indahnya berbagi. Mungkin ini yang terlintas di balik senyum-senyum itu. Yaga, Meka dan yang lain mempunyai ide untuk membantu sesama. Mereka juga mengadakan bazaar di depan kedai, maupun di dalam.

Jadi, siapapun yang membeli kopi dan teman-temannya. Mereka berarti ikut berdonasi. Lalu donasi akan mereka sumbangkan untuk anak-anak penderita penyakit berat, seperti kanker, kelainan jantung dan lainnya. Yang utama adalah mereka yang kurang mampu.

"Silahkan dinikmati." Meka sampai harus ikut melayani saking ramai. Yaga dan Jani pun ikutan, Chandra? Dia akan menyusul nanti. Tugasnya juga menyelamatkan orang.

Meregangkan otot-ototnya setelah meletakkan pesanan terakhir dan sibuk mondar-mandir. Belum ada lagi yang datang. Akhirnya, Meka bisa meletakkan bokongnya sekejap.

"Capek?" Ledek Meka ke Yaga yang berjalan lunglai ke arahnya. Menyusul untuk duduk. Dia jarang jadi pelayan soalnya.

Yaga mengiyakan, memang capek. "Tapi menyenangkan."

"Pe-ermu tinggal menghitung ini semua." Meka menunjuk dengan jarinya, memutar membuat lingkaran. "Jati pasti sangat senang melihat ini. Bisnisnya makin lancar."

"Pasti, dia bahkan tidak pernah bisa mencicipi rasa kopi di sini." Meka menilik raut wajah Yaga, kelihatan galau. Sangat galau kalau tengah membicarakan Jati. Malah, kelihatan lebih tangguh Meka sekarang.

"Udahlah, disana, dia bisa minum apa aja semaunya dia." Tak dipungkiri, Meka juga memikirkan Jati. Tapi, dia sudah menerima dengan lapang dada, meskipun beratnya minta ampun. Tapi lambat laun, dia mulai rela.

"Mbak!"

"Ya!"

"Mau lagi dong!"

"Ayok, kerja lagi dan pelanggan makin banyak, nih. Ini buat Jati." Meka mengepalkan tangannya. Minta Yaga buat melakukannya juga. "Tos!"

"Tos!"

"Jangan loyo dong Mas. Semangaaat!"

-SHELTER-

"Sachi! Kebiasaan, deh."

Menjelang makan siang. Bocah lima tahun itu selalu main petak umpet. Dan tempat sembunyinya selalu di tempat biasanya. Siapa lagi, kalau bukan kamar Unclenya.

"Sachi, dimana kamu?" Gani hampir saja tertawa akibat bunyi cekikikan Sachi. Dia pasti lagi ngumpet di lemari baju. "Dimana, ya?"

"Waaa!" Keduanya sama-sama teriak. Sachi yang mengejutkan Gani. Dan Gani yang pura-pura terkejut.

"Ayok! Makan dulu."

"Ma, Uncle kapan pulang?" Gani menghentikan langkahnya. Tangannya meremat gagang pintu. Mendadak sesak mendera dadanya. Yang Sachi tahu, Jati pergi dan pulang nanti. Dia belum paham arti dari semua ini.

Butuh waktu setahun untuk recovery mental Ara. Dia bahkan hampir gila setelah detik terakhir itu.

Satu tahun lalu

Ada yang tidak beres dengan EKG milik Jati, pagi itu. Segera saja, Ara menekan tombol emergency. Hampir saja pingsan seperti halnya Ranti waktu itu, karena saking syoknya. Tapi Ara bisa bertahan, dengan sisa kekuatan hanya untuk berdiri.

Setengah jam, Salman berkutat dengan Jati, sampai seluruh keluarga berkumpul dan menyaksikan dari luar bagaimana Jati tengah diselamatkan. Terus memberinya CPR. Namun, rekan sejawatnya, menarik Salman.

"Cukup, ponakanmu udah pergi." Melanjutkan, dan terus saja melanjutkan tanpa menghiraukan. Yang ada dalam otaknya adalah, Jati harus bangun. Dan lagi-lagi, temannya itu menarik lengannya. "Salman!"

"Jati, dia udah nggak ada. Kamu harus mengumumkan kematiannya." Berlinang cairan asin, bahu Salman naik-turun. Tak sampai hati untuk mengatakannya. Tubuhnya merosot, kakinya lemas. Salman begitu frustasi. Tampangnya sudah berantakan.

"Dia udah pada batas waktunya. Relakan, dia udah nggak sakit lagi. Bangun Salman. Kamu harusnya paham, bagaimana sakitnya Jati ketika dia masih ada. Kamu, kita nggak ngrasain." Ya benar, tidak ada yang pernah bisa merasakan sakitnya Jati seperti apa. Harusnya Salman tidak begini.

Mencoba berdiri, memandang Jati sebentar, lalu beralih pada mereka yang berada di luar. Wajah berharap, yang sudah kehilangan harapan. Barulah, Salman melangkahkan kakinya gontai. Bersama tim dibelakangnya.

"Gimana?" Salman menegakkan kepalanya. Semburat kesedihan langsung terpancar disana. Semua bisa menebak, hanya saja mereka tak ingin secepat itu mengakuinya.

"Jati Herbanu Arung Kamunggul. Waktu kematian pukul tujuh lebih tiga menit."

Histeris, Setelah Salman dan lainnya memberi jalan. Mereka langsung menerobos begitu saja. Ara segera mendekap jenazah putranya itu. Mengguncang-guncangkan tubuh yang perlahan mulai mendingin. Memegang wajah pucat pasi itu dan menciuminya. "Bangun sayang. Kumohon jangan tinggalin, Bunda." Segala alat sudah dilepas. Mata itu terpejam rapat, bak Jati yang hanya tertidur lelap. Hanya saja, sudh tak bernyawa.

"Adek!"

Saat ini

Tak ada yang tahu kapan maut menjemput. Namun, akan tiba saatnya nanti. Semua akan mendapat giliran. Hanya harus siapkan hati bagi orang yang ditinggalkan.

Seperti Ara dan keluarga, Meka, Yaga, Chandra, Jani. Orang-orang yang begitu dekat dengan Jati. Mereka dituntut untuk menerima apapun keputusan Tuhan. Meskipun tak ada yang siap dengan yang namanya kehilangan. Berat, sangat berat, walau sekedar dipaksa terus untuk menerima.

Jati pernah mengatakan, 'jangan tangisi aku, aku nggak suka, cukup beri aku senyuman'. Tapi apa daya Jat? Mereka semua hanya manusia. Yang akan menunjukkan sedihnya dengan sebuah bahasa, yaitu menangis. Tak selamanya memang menangis itu untuk perkara sedih.

Semua butuh waktu. Bahkan sangat lama, guna menyembuhkan luka yang sepertinya tak pernah kelihatan. Bahkan Ara harus menemui psikiater, dan guru spiritual kalau tidak mau sampai menjerumus ke arah gila. Dampak yang begitu besar harus dirasakan Ara. Rasa kehilangan yang membuatnya begitu. Seperti sangat sulit, hanya diminta untuk mengikhlaskan.

Namun sekarang, semua sudah kembali seperti semula. Menganggap Jati tidak pernah pergi. Hanya raganya yang memang tidak ada. Namun, kehangatannya masih terasa. Mereka hanya tidak mau terus terjebak dalam sumur kepedihan.

Satu

Dua

Tiga

Lupakan sakitnya. Di depan sana ada hari yang lebih indah menunggu. Kesedihan itu sudah berhasil di tangani. Senyum akan selalu menghiasi hidup mulai kini. Saling menggenggam tangan, saling merasakan derita masing-masing. Agar semua semakin mengerti dan menghargai torehan luka yang tercetak di jiwa.

Dunia bukan hanya penuh dengan perkara kesenangan belaka. Tak apa, merasakan pahit, ketika nanti mendapatkan manis. Meskipun nyatanya memang sulit.

TAMAT

Super duper tararengkyu!
Yang sudah sudi membaca ini cerita dan rela menggerakkan jempolnya untuk menyentuh tombol bintang.
Maap ya! Aneh ceritanya.
Tapi itu sebuah dukungan bagi aku.
Mirip Kal Ho Naa Ho lagi.
Iyalah! Terinsfaiyer dari sono.
Ehe!
Okelah cukup sampai disini. Saya ucapkan,
TERIMA KASIH BANYAK!

Big Luv and Big Hug!
💜💜💜

2020/04/19
Wonosobo

Shelter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang