Slide 12

645 84 55
                                    

"Dek, bangun." Gani menggoyangkan bahu Jati pelan. Tapi sang adik langsung terbangun.
"Sarapan, trus minum obat."

"Pancing," Jati mengangkat kedua tangannya, meminta untuk ditarik. Gani menurut, mengabulkan permohonan Jati. Lalu mengacak surainya yang masih acak-acakan itu.

"Buruan turun." Ucap Gani lagi, sembari menyibak gorden pintu balkon dan jendela kamar Jati. Membuat si empunya kamar, menyipitkan matanya yang sipit, karena silau.

Jati turun dari ranjang dengan malas. Kakinya melangkah, mengekori Gani. Setibanya di bawah, Jati auto duduk di tempat biasa, berhadapan dengan bunda, dekat dengan sang ayah diujung meja. Dan disebelah kirinya ada Ranti. Apalagi menu sarapannya yang beda sendiri. Sudah menjadi tanda baginya.

Jati menatap semangkuk oats dihadapannya. "Ini kebanyakan, bun."

"Oh, kurang?" Jati mendelik. "Gan, ambilin lagi."

"Oke, bun, siap." Gani sudah akan beranjak dari duduknya. Sebelum Jati menginterupsi.

"Nggak, ih!" Gani kembali membenarkan posisi duduknya. "Bun!"

Semua orang disana terkikik geli. Kecuali Jati yang sedang menggerutu tak jelas.

"Udah, sarapan dulu." Ansel menengahi, walau masih ada sisa tawa disana.

Tak ada pembicaraan yang berarti saat ini. Hanya obrolan biasa antara dua kakaknya dan Ansel. Yang Jati tidak tahu apa, yang pasti urusan kantor. Setelah Jati menghabiskan makanan dan meminum obatnya. Ansel beralih ke Jati.

"Dek," Jati memfokuskan diri, menghadap Ansel. Roman-romannya mulai serius, nih. "Ayah, mau ngomong. Mumpung lagi ngumpul."

Jati manggut-manggut. "Besok weekend, adek ikut bunda ya?"

"Kemana?" manik mata berwarna onyx itu melihat ke arah Ara. Lalu kembali ke Ansel.

"Ketemu anak temen bunda." Jati sudah mencium bau-bau tak sedap. "Sebentar aja, ketemu doang, kok."

"Ayah nggak ngejodohin, kan?" hanya itu yang ada dipikiran Jati. Sama sekali, tidak ada yang terlintas selain itu. "Aku nggak mau."

Jati beranjak dari kursi, dia sudah mangambil beberapa langkah menjauh dari meja makan. Sebelum dia menghentikkan gerakannya, karena panggilan dingin, sarat akan tekanan dari Ansel.

"Jati Herbanu Arung Kamunggul, duduk. Ayah belum selesai bicara." Pasrah, Jati kembali mendaratkan bokongnya pada kursi.
"Ayah cuma pengin kamu ketemu. Nggak ada yang lain. Hanya kenalan." Jati hanya diam, menunduk.

"Ayah nggak mau maksa kok, itu pilihan kamu."

"Nah, itu namanya apa?" gumam Jati, tapi masih bisa di dengar yang lain. Ansel menghela napasnya. "Masih musim kayak gitu?"

"Dek, ayah nggak ada maksud ngejodohin. Niatnya silaturahmi. Bunda cuma minta temenin. Mau, ya?" Ara turun tangan. Butuh kesabaran untuk meyakinkan Jati.

-SHELTER-

"Tahu nggak? Gue dijodohin."

"Serius?"

"Iya,"

"Ya ampun!" Meka teriak-teriak dari balkon sambil jingkrak-jingkrak, mirip ikan kurang air. Sehabis mandi, Jati telponan sama Meka. Mereka juga saling bertatap muka, biasa lah, lewat balkon.

"Brarti ayah lo, sehati sama gue." Acung Meka pada dirinya sendiri.

"Maksud lo?"

"Gue juga rencananya mau nyomblangin lo sama cewek. Abisnya, lo kayak nggak nafsu gitu nyari cewek." Celoteh Meka, dengan tampang tak berdosa.

Shelter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang