Prang!
"Mbak Meka nggak papa?"
"Nggak kok, nggak papa."
"Istirahat aja dulu Mbak. Mumpung lagi longgar."
Ya, sepertinya Meka butuh istirahat. Akhir-akhir ini kedai sedang begitu ramai, mungkin karena hujan yang membuat mereka mampir. Pesanan pun jadi sangat banyak, dan para master dapur harus bergerak cepat, tapi dituntut untuk tetap fokus.
Beda dengan Meka. Dia tidak bisa fokus sejak hari itu. Lelah dan banyak pikiran. Hingga beberapa kali menumpahkan minuman, salah mencampur, dan terakhir, dia memecahkan cangkir. Meka merasa tidak becus dalam bekerja. Harusnya dia sudah cuti, istirahat di rumah, namun berkat kengeyelannya. Meka tetap bekerja. Tinggal menghitung hari. Meka akan memgakhiri masa lajangnya. Tapi, mendadak tahu bahwa seseorang menyukainya. Tidak masalah jika itu pria lain. Yang ini? Sahabatnya sendiri. Tidak bisa, Meka tidak tahu harus bersikap bagaimana pada Jati setelah ini. Dia kini menghindar saat berpapasan dengan Jati. Karena menurutnya, menjauh sebentar lebih baik daripada harus bertatap muka.
"Hah!" Sudah kesekian kalinya yang Meka lakukan hanya menghela napas. Meka tidak bisa selamanya terus-terusan begini. Dulu dirinya punya prinsip, sahabat tidak akan pernah jadi cinta. Namun ternyata, Jati punya rasa lebih padanya. Ini semua membuat Meka bingung dan frustasi. Padahal Jati sendiri belum benar-benar mengakui. Apa Meka yang kegeeran? Merasa Jati sungguh menyukainya?
"Me," Berjengit kala mendengar sebuah suara. Dia ikut duduk di sebelah meka. Kursi kayu panjang yang memang di letakkan di atap. Karena ada pot-pot kecil, sedang sampai besar berisi tanaman, jadinya tidak terlalu panas disana. Meka hampir saja berdiri, namun genggaman tangan pria yang sedang Meka hindari itu menahannya untuk kembali duduk.
"Jat, plis."
"Gue mau bicara sama lo, Me." Tuturnya. "Gue nggak bisa diem terus, sedangkan lo udah tahu kebenarannya." Serius? Jati suka Meka?
"Kenapa Jat? Kenapa?" Meka memberanikan diri menatap Jati. Setelah mereka sama sekali tidak bicara untuk beberapa hari. Walaupun satu tempat bekerja.
"Gue nggak tahu. Tapi yang gue tahu, gue suka sama lo." Jati menahan Meka yang ingin bicara. "Gue nggak berharap buat lo nerima gue, gue nggak pernah berharap. Yang gue harepin, gue masih bisa jadi sahabat lo."
Meka menggeleng, dia tak bisa menahan tangisnya. "Gue nggak yakin, kalau kita bisa sahabatan kayak dulu lagi. Ini semua udah beda Jat."
"Me, plis! Jangan benci Jati." Meka memutar kepalanya, mengalihkan atensinya pada pemilik suara husky di belakangnya. "Jangan pernah benci Jati."
"Apa maksud kalian, sih!? Aku nggak ngerti lagi udah," Meka memilih kembali masuk lagi ke dalam. Kesal, apa mereka tengah mempermainkan perasaannya? Apa Meka sedang di prank sebenarnya. Sekarang kan sedang musim begituan? Tapi kalau dipikir kembali, Jati bukan orang yang iseng seperti itu.
Jati menatap kesal Chandra. "Kenapa lo jadi ikut-ikutan?"
"Ya, gue bantuin lo, lah, Jat, meskipun Meka udah jadi milik gue, sesuai perkataan lo waktu itu. Tapi seenggaknya gue mau ikut nyelametin hubungan persahabatan lo Jat." Jati menunduk, tak tahu lagi berbuat apa. Kembali memandang Chandra yang masih berdiri di ambang pintu atap. Dia tahu Chandra berniat baik, hanya saja, kurang tepat waktu saja.
"Lo nggak ngebantu Chan. Ini malah bisa jadi perkara buat lo sama Meka. Harusnya lo biarin gue, selesein sendiri." Membahayakan hubungan mereka yang sesungguhnya. "Meka bakal salah paham sama lo." Kelihatan sangat gusar sekarang, Chandra dilanda kepanikan. Dia berputar, masuk ke dalam, menyusul Meka, guna membicarakan ini semua. Komunikasi, mereka hanya butuh itu untuk meredakan suasana.
-SHELTER-
"Meka, aku mau bicara."
"Tinggal bicara aja."
"Nggak disini. Kita cari tempat lain."
"Tinggal bicara aja, apa susahnya?!" Raut wajah Meka berubah sendu, kondisi hati dan otaknya sedang tidak karuan. Dia bahkan berucap dalam nada tinggi. Meka mengalah, dia mengikuti Chandra. Di perjalanan pun, mereka masih diam. Pokoknya, Chandra ingin semuanya clear dalam satu waktu. Dia tidak mau nanti malah mengacaukan pernikahan mereka.
Taman, menjadi opsi yang Chandra pilih. Selain terbuka, sejuk karena angin. Dia juga ingin, suasana yang santai untuk berbicara hal yang cukup serius dan pelik ini. Menyangkut perasaan dan masa depan. Hal ini tak mungkin di abaikan.
"Pertama, gue mau lo jangan benci Jati. Apapun alesannya." Meka mendengus sebal mendengar penuturan Chandra.
"Lo harus tetep jaga hubungan lo sama Jati. Jangan berubah. Jangan pernah." Meka semakin tidak mengerti apa yang Chandra bicarakan dan inginkan.
"Kenapa Chan? Kamu sekeukeuh itu, buat aku sama Jati. Aku penasaran sekarang, kamu nggak cemburu saat ada pria yang bahkan kamu kenal, menyukai calon istri kamu? Kamu biasa aja, dan malah nyuruh tetep berhubungan sama dia. Yang mana malah bisa makin numbuhin rasa sukanya. Kamu beneran, serius cinta nggak, sih, sama aku?"
"Banget Me, kamu nggak perlu raguin itu." Meka bisa lihat di mata Chandra. Tatapannya penuh makna. Tapi Meka cuma tak habis pikir sama Chandra yang berusaha sekeras itu demi ikatannya sama Jati agar tak lepas begitu saja.
"Terus kenapa kamu lakuin ini? Kamu sadar nggak, sih? Itu nyakitin aku. Rasanya, kayak kamu relain aku buat orang lain, walaupun itu Jati, sahabat aku sendiri."
"Karena Jati sespesial itu Me, buat kita." Mau saja Chandra teruskan, karena Jati sudah berkorban Me, buat banyak orang. Dia menepis segala perasaannya demi kita, Me. Aku nggak mau pengorbanan Jati sia-sia gitu aja, Me. Dan banyak alasan lain. Mungkin, Jati adalah seseorang paling berharga, Me, buat kamu. Aku nggak mau kamusampai menyesal suatu saat nanti, Me. Namun dia hanya bisa katakan itu semua dalam hatinya. Dia sudah berjanji untuk diam. Jangan pernah memberitahu Meka.
Tertawa sinis, "Aku capek, aku mau pulang, terserahlah kamu mau bilang apa tentang Jati, aku masih nggak suka." Meka beranjak dari kursi taman, dan berlalu, meninggalkan Chandra yang tak ikut bergerak.
Kemudian, langkah Meka mengambang saat Chandra dengan sangat tenang, mengatakan, "Apa jatuh cinta itu dosa, Me? Apa itu sebuah kesalahan besar? Sampai kamu segitu nggak sukanya kalau Jati suka sama kamu. Nggak perlu dijawab, cukup pikirkan dan rasakan saja. Ayo, kuantar."
Meka mematung memahami kalimat Chandra yang barusan dia lontarkan. Sungguh, seperti serangan mematikan. Meka tak mampu berucap satu katapun. Pertanyaan itu terngiang dalam kepalanya. Terekam jelas, seakan tertulis, dan tercetak beribu-ribu copy. Seperti tertulis sangat besar dengan huruf kapital dan tebal, membuatnya hafal dan khatam dalam sekejap.
Diam-diam, Chandra tersenyum walau tak terlihat oleh Meka. Ini semua dia lakukan demi Jati. Mungkin hanya ini yang bisa Chandra berikan. Bukan emas permata, intan berlian, namun ketulusan seorang teman. Kalaupun Jati tak melihat, biarlah. Biar ini menjadi kenangan baginya. Kenangan terindah? Boleh jadi salah satunya.
-SHELTER-
Salam hangat,
HOIWonosobo, 06 Januari 2020.
![](https://img.wattpad.com/cover/162346842-288-k264432.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Shelter ✔
RomanceTAMAT Sampai kapanpun, gue cuma jadi tempat penampungan keluh kesah lo. Nggak kurang, nggak lebih - Jati. -ShelterByHOI- ©2018