Slide 15

569 80 41
                                    

Yaga memasang wajah datar, saat seseorang muncul di hadapan dan duduk di depan dirinya. Gadis itu tersenyum sumringah, beda sekali dengan raut Yaga saat ini.

"Udah lama?" Yaga menggeleng. Gadis di depannya mengulungkan sebuah kotak hadiah berwarna cokelat dan berpita hitam pada tutupnya.

"Bukalah," pintanya lembut, dengan senyum terpatri diwajahnya. Yaga mendesah berat.

"Kamu pergi sama siapa, kemarin?" si gadis masih diam menatap kekasihnya yang terlihat, marah? Kalau di luar ketemuan, mereka memang akan berbicara dengan bahasa lo-gue. Tapi mereka akan beraku-kamuan kala bertatap muka. "Jani, jawab aku."

Ya, Jani adalah pacar Yaga selama ini. Sudah tiga tahun lamanya. Ibunya sudah tahu dan tak merestui hubungan mereka. Maka dari itu mereka menjalani backstreet. Mereka akan bertemu kalau Jani pergi mengajar les piano anak-anak sd.

"Teman, dia hanya teman."

"Lalu, kalian berkencan?" tanya Yaga masih dengan kesan dingin. Suasana mendadak tegang. Jani tidak tahu kalau Yaga tahu, kemarin dia pergi dengan Jati.

"Kami tidak berkencan."

'Klutak!'

Jani mengambil ponsel milik Yaga. Memandang sebuah foto. Itu memang dirinya, saat Jati menggandenganya untuk membeli topi. Lalu jarinya perlahan menggeser layarnya. Disana Jati, yang sedang memakaikan topi di kepalanya. Sayang, muka Jati memang tidak terlihat.

Jani menggeleng lemah seraya meletakkan kembali ponsel itu di meja milik sebuah restoran, "Nggak, itu bukan kencan."

"Kalau bukan kencan, namanya apa?"

"Kamu nggak percaya sama aku?" tanya Jani menatap nanar, matanya sudah berair, membuat penglihatannya memburam.

"Kalau kamu bisa buktiin bahwa kamu nggak kencan sama cowok itu, aku percaya. Bawa dia kehadapan aku. Aku tunggu besok di kafe."

"Yaga, Yaga, plis dengerin aku!" Jani berdiri, mencekal tangan Yaga, namun Yaga menepisnya pelan dan pergi dari sana. "Kamu salah paham." Jani kembali duduk dengan tangis dalam diamnya. Beruntung itu sebuah ruangan yang sudah di pesan. Jadi tak menjadi perhatian umum.

Jani memandang pias kotak hadiah berisi parfum yang dia beli dengan Jati kemarin. Jati, ya, dia harus menghubungi Jati, untuk membantunya menjelaskan semua salah sangka ini.

-SHELTER-

"Jani cantik, ya?"

"Dari tadi ngomongin Jani mulu. Nggak ada yang lain apa?"

Meka menggeleng, "Kalian itu cocok tahu nggak."

"Me, dia bukan pacar aku. Kita cuma temen." Jelas Jati yang sudah kesuh, karena Meka terus-terusan menggodanya sedari kemarin.

"Ya, siapa tahu ntar jadi pacar, trus nikah."

"Me, diem ngg ㅡ ,"

'Brak!'

Keduanya berjengit kala Yaga membanting pintu kantor, dia berjalan cepat lalu duduk di kursi kerjanya, kasar. Jati sedikit meringis, kala ada rasa nyeri yang muncul didadanya. Apa karena kaget? Biasanya juga baik.

"Mas, baik-baik aja kan?" Meka membuka mulutnya, bertanya pada Yaga, yang duduk membelakangi mereka.

"Diem lo, Me," Jati menggeleng lemah, tahu Yaga dalam keadaan tidak baik. Dia memang pergi keluar tadi, dari rautnya yang sudah tidak sedap dipandang. Menyeramkan.

"Kita keluar, aja." Jati menarik pergelangan tangan Meka. Keluar dari sana. Daripada menganggu singa ngamuk. Mending pergi sebelum kena terkam.

"Mas Yaga kenapa, sih?" Meka menjatuhkan pantatnya kasar di kursi pelanggan, hari ini sedang sedikit lengang, jadi banyak kursi nganggur. Jati cuma mengedikkan bahu. Selanjutnya, getaran ponsel membuat fokus Jati teralih. Dan segera mengangkatnya.

Shelter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang