01

2K 111 12
                                    

"Ai'Tee ..."
"Tee ..."
"Dimana kamu, Tee?"

Tae POV

Hidupku tentu tidak begitu mewah, hidup kami istimewah. Sangat istimewah, karena aku memiliki satu harta saja di dunia ini yaitu Tee.

Tee adalah adikku, adik satu-satunya yang ku miliki. Aku di telantarkan oleh ayahku dua tahun setelah ibu kami meninggal 2 tahun yang lalu. Kala itu aku masih duduk dibangku SMA.

"Ai'Tee!!" Aku menemukam adikku itu tengah menceburkan diri ke kolam renang di rumahku.

*Byuuuurr ...*

Tee sama sekali tidak bisa berenang, untuk itulah aku segera berlari disana untuk mengelamatkannya.

"P'Tae!! Tolong!!" Aku langsung berlari dan menceburkan diri kesana. Didalam kolam, aku berenang meraih tubuhnya itu dan lantas membopongnya ketepi. Sesampai di tepi kolam, ku naikam dia dan selepas itu aku keluar dari kolam.

Ia batuk-batuk karena tersedak air kolam hingga hidungnya memerah seperti orang yang terserang flu.

Aku tidak tahu mengapa ia melakukan hal itu, melakukan sesuatu yang bisa membunuh dirinya sendiri. Selama ini Ai'Tee tidak seperti ini, ia selalu bercerita jika ia memiliki masalah.

"Ada apa denganmu, huh? Mengapa kamu melakukan ini? Kamu sendiri tahu kan kalau kamu tidak bisa berenang. Jika kau melakukan itu, aku tidak akan memaafkanmu, ingat itu." kecam kerasku.

Tapi ia mengabaikanku dan bahkan tidak mau melihat kearahku. Wajahnya itu terlihat begitu marah, emosional, sedangkan aku bingung dan tidak bisa menebak perasaannya itu.

"Kenapa kamu melakukan ini, huh?" Tanyaku sekali lagi, tapi dia tetap mengabaikanku.

"Tee, jawab phi sekarang. Kenapa kamu melakukan ini? Huh? Kenapa? Kenapa Tee." Lanjutku yang masih menanyai adikku itu.

"Karena kamu." Sahut Tee berteriak dengan keras.

Tee bernafas berat karena sudah berteriak kepadaku, bibirnya berkelut sedih dan hampir menangis. Aku hanya memandanginya saja untuk mencari tau sebab ia bersikap bodoh seperti tadi.

"Karena P'Tae tidak mau bermain dengan Tee lagi, P'Tae tidak mau bersama Tee lagi. Tee benci pada P'Tae. Tee tidak suka pada P'Tar. Tee marah kepada P'Tae
P'Tae sudah tidak menyayangi Tee lagi, P'Tae sudah menelantarkan Tee lagi. P'Tae jahat. Tee tidak suka. Tee benci pada P'Tae." Tee mengomel emosional tidak dapat tertahankan.

"Tee!!" Sahutku berteriak mendiamkan Tee.

Adikku itu lantas pergi meninggalkanku sendirian di tepi kolam karena ia marah padaku.

Emosinya memang seperti anak kecil, ia menderita spectrum autis sejak kecil karena kami pernah mengalami kecelakaan saat Tee masih berada didalam kandungan ibuku dan saat itu aku berumur setahun.

Jadi aku menyayangkan betul bila aku berpisah dengannya, untung saja 2 tahun lalu ketika ayahku sudah menikah dengan wanita lain Tee memutuskan untuk ikut denganku. Tetapi kini aku justru memgecewakan dan mengingkari janjiku sendiri untuk tetap bersamanya. Dia sudah melakukan terapi selama bertahun-tahun sejak ia menginjak Taman Kanak-kanak, tetapi ia tetap tidak ada perubahan sama sekali.

Lalu aku bangkit dari dudukku untuk menyusulnya dan berbicara mengenai hal ini

Aku masuk kedalam kamar milik Tee, dan disana aku melihat sedang duduk di sudut dinding dekat dengan jendela sembari membelakangi pintu. Dia meringkup duduk disana, mendengar pintu kamarnya terbuka ia sempat menengok tetapi ia membuang muka lagi dariku.

Lalu aku dekati dia, dan begitu sampai di belakangnya aku masih tetap berdiri disana.

"Tee." Ucapku menyebut namanya dengan perasaan menyesal sendiri karena sudah memgingkari janjiku.

Ma babyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang