Bali, November 2016
Gemercik air mulai terdengar mengalun merdu di langit bali sore hari ini. Bulan November, bulan yang dilalui dengan hujan walau kadang tak menentu seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Apalagi, kalau bukan soal pengaruh globalisasi yang menyebabkan keadaan bumi tidak stabil? Seorang remaja perempuan yang baru saja menginjak umur 21 tahun sedang duduk sendirian di halte menunggu bis yang akan membawanya pulang ke kost-kostan. Dia adalah Haura, dia sedang melakukan magang kerja di salah satu perusahaan yang cukup terkenal di sana.
Sebenarnya ada 3 teman kampusnya yang juga magang bersama, tapi sayang mereka sudah pulang duluan karena tadi Haura dimintai bantuan untuk mengerjakan pekerjaan yang lainnya. Haura yang memiliki kemampuan cukup baik dibanding dengan teman-temannya, banyak mendapatkan tugas tambahan di luar jam kerjanya sebagai mahasiswa magang. Meskipun begitu, akan ada pemasukan yang cukup membantunya bertahan di kota orang lain tanpa meminta kepada Ibunya.
Hari semakin sore, tapi bus belum juga datang. Padahal bus biasa datang sejak 10 menit yang lalu. Gerimis masih membasahi aspal jalanan, ujung sepatu Haura juga basah karena percikan air dari trotoar jalan. Haura menghela nafas gusar, lagi-lagi ia lalai untuk membawa payung. Andai saja ia ingat pesan dari Anita, teman se almamaternya yang juga magang di sini untuk selalu membawa payung saat musim hujan, tapi ah itu hanya andai.
Jarak tempat tinggal dengan kantor memang tak terlalu jauh, tapi tetap saja jika jalan kaki akan terasa lama dan bisa membuat kaki pegal-pegal semalaman.
"Huh, sepertinya memang tak ada bus yang akan lewat lagi" Haura berdiri kemudian melirik ke arah jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Jam 17.40, bismillah semoga di depan ada ojeg" kemudian dia mulai berjalan dan meninggalkan kursi tunggi di halte. Haura berjalan dengan sisa-sisa air hujan yang mulai berhenti, hawa dingin menusuk lewat angin senja yang kian berterbangan ke sana ke mari apalagi di depan sana adalah pantai meski tak begitu terlihat dari jalanan yang sedang Haura pijaki.
Sudah 10 menit berjalan, tapi tak ada kendaraan yang Haura temukan, benar-benar sore yang sepi. Haura sadar, sekarang sudah waktunya sholat maghrib. Perempuan itu bingung hendak melaksanakan sholat dulu atau berjalan pulang saja karena waktu sudah memasuki malam, ia takut saat menunaikan sholat nanti perjalanannya menjadi semakin lama.
Di sinilah keimanan mulai diuji.
Haura tetap melangkah, ia yakin beberapa menit lagi ia akan sampai tempat tinggalnya dan berjanji akan menunaikan sholat magrib di sana.
Cahaya matahari yang sejak tadi sore memang telah redup, kini saat malam tiba diganti dengan cahaya lampu kuning yang berpendar dari lampu-lampu jalanan yang sepi. Suara kodok juga menemani perjalannya kali ini, Haura bergidig ngeri baru kali ini ia merasakan hal sedemikian rupa, perasaannya juga mulai gelisah.
Haura masih berjalan di trotoar sambil mempercepat langkahnya, tapi tiba-tiba ada mobil yang berhenti mendadak tepat di lima langkah pijakak kaki depan Haura. Untung tak menabrak.
"Astaghfirulloh" kata Haura sambil memegangi dadanya. Ia benar-benar kaget dan takut. Buru-buru ia langkahkan lagi kakinya, tapi sayang dari belakang ada seseorang yanh menarik pergelanga tangannya.
"Akh" rintih Haura. "Anda siapa? Tolong lepaskan saya" kata Haura sambil memandangi tangannya, sungguh ia tak berani memandang wajah orang di depannya.
Haura terus berusaha menyentakan tangan orang itu untuk melepas tangannya, tapi sepertinya usahanya gagal. Kekuatan orang itu 2x lipat dibanding Haura.
"Don't leave me, baby" Haura terperanjat, spontan ia melihat wajah di depannya. Seorang laki-laki bule dengan wajah yang cukup kusut, pakaian acak-acakan, dan nafas berbau alkohol.
"Masya Allah, tolong aku" jerit batin Haura. Lagi-lagi Haura berusaha melepas cengkeraman tangannya, dan kabur. Baru beberapa langkah, tangannya sudah berada di tangan orang itu lagi. Dan sekarang juga tubuhnya, orang itu memeluk Haura dan kemudian membawanya ke mobil.
"Tolong....tolong" teriak Haura kencang sebelum orang itu membekap mulut Haura dengan sapu tangan, dan hilang kesadaran.
***
"Asatghfirulloh" Haura bangun, ia memijat keningnya kasar. Kenangan buruk itu, kenangan 2 tahun silam datang mengusik hidupnya lagi.
Haura melirik jam dindingnya, baru jam 2 pagi. Dengan badan yang masih gemetar, ia langkahkan kakinya menuju tempat wudhu dan kemudian menggelar sajadah panjang untuk bersimpuh dan bersujud memohon ampun kepada Sang Penguasa Alam Semesta.
Terlalu banyak dosa yang telah ia perbuat, ia hanya ingin membenahi hidupnya agar lebih baik. Ia tak ingin selamanya menjadi seorang hamba yang kotor. Ia ingin di sisa-sisa hidupnya ada sedikit hal baik yang ia lakukan agar di akhirat nanti tidak hanya keburukan yang akan diperlihatkan oleh Allah.
***
Pagi kembali menyapa, saat Haura hendak bekerja seperti biasa, Haura melihat Nenek Aminah yang sudah berada di teras rumah sambil menyesap secangkir teh hangat. Ia hampiri Nenek Aminah untuk berbincang sesaat, Haura benar-benar tidak tahu kalau Nenek Aminah telah kembali dari Rumah Sakit.
"Assalamu'alaikum Nek" sapa Haura sambil mencium tangan Nenek Aminah.
"Wa'alaikumsalam salihah, pagi-pagi sudah cantik sekali" Nenek Aminah tersenyum, kerutan di wajahnya nampak begitu jelas tapi tak mengurangi kadar keramahannya.
"Memang Haura cantik setiap hari nek" canda Haura. "Nenek kapan pulang dari Rumah Sakit? Haura kira nenek akan di rawat inap, oh ya maaf juga ya nek, kemarin sore Haura tak mengunjungi nenek"
"Tak apa nak, nenek pulang sesaat setelah diperiksa dokter, hanya mual biasa tak perlu dirawat. Nenek pulang bersama seorang yang baik hati yang mau mengantarkan nenek sampai depan pintu" pandangan Nenek Aminah menerawang jauh, seakan melihat hari kemarin saat ia diantar pulang oleh seorang yang baik hati.
"Subhanallah, semoga Allah membalas kebaikan orang itu" doa Haura.
"Aamiin" jawab Nenek Aminah.
"Haura permisi dulu ya nek, Insya Allah nanti sore Haura mampir lagi" katanya sambil mencium tangan Nenek Aminah dan mengucap salam untuk pergi.
Kembali ia menapaki anak tangga dengan tidak begitu tergesa-gesa, karena waktu bekerjanya masih 30 menit lagi. Ia ingat perkataan Elif untuk sesekali menikmati pemandangan yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Ah ya, Haura baru tahu ternyata bunga Lily di sudut pekarangan flat lantai bawah telah berbunga dengan begitu cantiknya. Haura berjalan ke arah bunga itu, ia mengeluarkan ponselnya untuk membidik gambar pada bunga itu. Hah, sangat indah.
"Haura" perempuan berkerudung ungu itu nenoleh, mencari sumber suara yang telah memanggilnya.
"Elizha, sedang apa kau di sini?" Tanya Haura setelah ia menemukan Elizha yang baru keluar dari salah satu pintu flat lantai bawah.
"Aku baru saja mengunjungi Lydia, kau kenal kan?" Tanya Elizha sambil mendekat ke arah Haura.
"Bukankah Lydia sedang pergi ke LA beberapa hari yang lalu sebelum musim panas tiba?"
"Ya benar, aku baru tahu dan akhirnya aku ngobrol dengan adiknya. Itu si Alex, dia laki-laki yang cukup mengasyikan dan dia mengajakku untuk berkencan nanti malam" Haura melihat roba merah di wajah ayu Elizah, Haura tak perlu ambil pusing. Ia tahu, ini dunia barat dunia yang bebas dan jauh dari ajaran agamanya.
"Tapi kenapa kau mengunjungi Lydia sangat pagi? Apa ada masalah penting?" Tanya Haura, kini mereka telah berjalan beriringan menuju tempat kerja.
"Tidak, hanya saja teman kami akan menikah dan aku disuruh mengantar undangan, kalau sore aku merasa lelah jadi aku antar pagi saja" Haura hanya diam tak lagi menanggapi omongan Elizha lagi.
Ya Allah, hanya kepada-Mu lah aku beeserah diri dan meminta perlindungan. Jauhkanlah aku dari hal-hal yang dapat membuatku jauh dari-Mu.
***
Zakiya ZS
KAMU SEDANG MEMBACA
[ZSS 3] Cinta di Langit Amerika (On Going)
General Fiction⚠Warning 15+ Cerita ke tiga dari Zakiya ZS InsyaAllah update setiap Rabu dan Ahad #penikmataksara Hidup di Kota Massacuttes, di negeri Paman Sam membuat seorang Haura Saida Zahira mengalami fase jatuh cinta selama 4 musim berlalu. Wanita itu terus m...